Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.
***
Oleh: Q. Ain Nasution - Jakarta
Memaafkan Ibu
Jika ditanya, hal apa yang paling diingat dari ibumu? Dulu, saya akan menjawab, matanya yang melotot dan penuh marah, serta omelan sehariannya yang bisa membuat telinga panas. Ya, dulu saya memiliki kesan buruk pada ibu saya. Karena memang kenyataannya, ia orang yang emosional. Dan perkataannya sering membuat anak-anaknya sakit hati, termasuk saya.
Puncaknya adalah ketika saya baru saja melahirkan. Saya dan suami berusaha keras agar hanya memberikan ASI pada bayi kami, Rere. Tetapi ternyata, Rere terkena infeksi sepsis, yang kemungkinan penularannya berasal dari kerabat yang datang berkunjung. Meski kami sudah menjelaskan apa yang disampaikan oleh dokter, ternyata Ibu tetap memiliki pemikiran lain.
Di rumah, ia menjelekkan saya dan suami, mengatakan bahwa Rere sakit karena tidak mendapatkan ASI yang cukup. Ia tidak habis pikir dengan pilihan kami yang tetap bersikukuh tidak memberikan susu formula pada Rere, padahal saat itu Rere sedang genting. Ia juga mengatakan bahwa kami tidak sayang dengan Rere, ingin membuat Rere meninggal, karena membiarkan Rere tidak minum susu formula. Mendengar perkataan Ibu, saya langsung naik pitam. Maklum, kondisi saya pasca melahirkan sangatlah labil. Saya membalas dengan sengit, mengatakan bahwa Ibu tidak punya logika yang bagus, karena dokter yang merawat Rere saja tidak pernah mengatakan seperti itu. Lalu saya masuk kamar dan menangis.
Hampir pukul 10 malam saat keluar dari kamar, ternyata saya mendapati tidak ada lauk yang disisakan untuk makan malam (padahal biasanya jika ada yang belum makan, pasti Ibu akan menyisihkan lauk). Hanya ada nasi putih. Saya kembali menangis dan merasa sangat sakit hati. Seharusnya sebagai ibu menyusui, saya harus banyak asupan makanan yang bergizi. Akhirnya malam itu saya hanya makan nasi putih. Saya tidak mungkin pesan Go-Fo*d, karena daerah rumah Ibu agak kampung, jarang ada driver ojek online. Besoknya, saya menelepon suami dan memintanya menjemput saya dan Rere. Saya ingin pulang dan tinggal di rumah kami saja, karena saya mendapat perlakuan yang sangat tidak mengenakkan di rumah Ibu. Sejak itu, saya kapok untuk tinggal dan meminta bantuan Ibu.
Beberapa waktu berlalu. Rere tumbuh dengan sehat. Tetapi saya kerap tidak sabar dengan ulahnya. Saya tidak melakukan kekerasan fisik pada Rere, tetapi saya pernah beberapa kali berlaku "jahat" padanya. Karena Rere tak kunjung berhenti menangis, saya mematikan lampu kamar lalu mengurungnya. Tapi tak sampai 5 detik, tiba-tiba saya merasa iba padanya dan membuka kembali pintu kamar.
Saya lalu membaca tentang parenting dari berbagai sumber. Salah satunya mengatakan bahwa seorang ibu marah kepada anaknya, dikarenakan ada amarah masa lalu sang ibu yang terpendam kepada orang tuanya. Istilahnya, inner child. Saya terhenyak. Ya, saya tidak menafikan hal itu. Di lubuk hati terdalam, saya belum memaafkan Ibu sepenuhnya, walaupun kami sudah saling bersikap biasa. Pasalnya, ia tidak pernah meminta maaf pada anaknya, karena ia merasa bahwa orang tua selalu benar, tidak pernah salah. Anak lah yang harus merasa menyesal dan meminta maaf pada orang tua. Dari situ saya menyadari, ternyata memaafkan sepenuh hati itu tidak semudah mengucapkannya. Saya masih menyimpan luka terhadap sikap Ibu sejak saya kecil hingga dewasa.
Berusaha Sekuat Tenaga untuk Memaafkan
Untuk menyembuhkan rasa kesal atau kecewa yang terpendam pada Ibu, saya melakukan self-healing. Salah satunya dengan menulis surat untuk diri sendiri di masa lalu. Kira-kira seperti ini:
"Hai, Ain kecil. Bagaimana kabarmu? Adakah rasa bahagia di dalam dadamu sekarang? Aku tahu dan paham, bahwa masa kecilmu kurang dipenuhi kasih sayang dari orang tuamu. Maklum, kamu anak ke-4 dari 6 bersaudara. Ayahmu sibuk mencari nafkah, sementara Ibumu sibuk mengurusi anaknya yang banyak. Terlebih lagi kamu lahir di luar rencana orang tuamu.
Kakakmu baru berusia 5 bulan, tetapi Ibu sudah mengandung kamu lagi. Jika berada di posisi ibumu, bukankah itu rasanya cukup berat? Ibaratnya, ketiga anaknya masih belum bisa menghapus ingusnya, tapi Ibu masih harus mengandungmu. Jadi, maafkanlah Ibu jika waktu kecilmu, ia belum sanggup membuatmu bahagia. Pun jika ia masih menyakitimu dengan kata-katanya yang pedas itu saat kamu dewasa, maafkanlah. Karena ia tak pernah mengenyam ilmu parenting sebagaimana mayoritas ibu saat ini berbondong-bondong mencari ilmu parenting.
Sebenarnya ibumu tetap menyayangimu. Bukankah ia menangis saat melihatmu terluka parah karena kecelakaan motor? Ia merawatmu dengan telaten saat kamu terkapar di rumah sakit selama satu minggu. Bukankah kamu tahu bahwa ia sering memandangimu saat kamu tidur? Ia tidak benar-benar berniat menelantarimu atau menyakitimu. Ia hanya tidak tahu bagaimana mengungkapkan rasa sayang yang sesungguhnya. Sehingga tak perlu menyimpan luka di dalam hatimu. Aku akan berada di sini untuk membuatmu lebih bahagia, sekarang sampai nanti. Tetapi, tentu kamu harus ingat, bahwa bahagia itu akan didapat jika kita berhasil menanggalkan baju amarah yang telah terlekat bertahun-tahun lamanya."
Saya berulang kali menulis surat untuk Ain kecil, untuk menyembuhkan inner child saya dan memaafkan sepenuhnya Ibu. Perlahan, saya mulai dapat memaafkan Ibu. Dan sekarang jika ditanya, apa kesanmu tentang Ibu? Saya akan menjawab, “Ia adalah wanita yang tangguh, yang sampai sekarang masih terus merawat anak dan cucunya.”
Simak Video di Bawah Ini
#GrowFearless with FIMELA