Rasa Bersalah Seringkali Menahan Kita untuk Memaafkan Diri Sendiri

Endah Wijayanti diperbarui 29 Mei 2019, 14:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.

***

Oleh: Afifah Ramadhani - Jakarta

“Eh tahu nggak tadi si itu marah tahu sama aku, mukanya cemberut gitu.” “Males aku tuh, padahal kan cuma mau minjem motor aja,” ujarku sambil memasang muka sedih. “Eh emang iya? Dia biasa aja kok,” balas temanku cepat. “Enggak ih, kayaknya aku ada salah deh sama dia kayaknya dia tersinggung,” sanggahku lagi. “Orang dia nggak kenapa-kenapa kok, udah ah ayo kita ke kelas," sambil menggenggam tanganku dia mengajakku menuju ruang kelas.

Kejadian itu bukan sekali dua kali, walaupun dengan versi yang lain. Mungkin terlihat sepele, tapi ini tentang sesuatu hal yang lebih jauh lagi. Perkara memaafkan diri sendiri. Setiap kali aku berinteraksi dengan seseorang, aku selalu merasa tidak bisa menjadi versi terbaik dari diriku sendiri. Jika aku diam aku merasa bersalah karena merasa tidak berguna berada dalam lingkaran itu. Sedangkan jika aku banyak bicara aku malah merasa bahwa ada dari kata-kataku yang melukai hati mereka.

Hingga pernah dalam suatu kepanitiaan, aku menjadi penanggung jawab pada hari tersebut. Kemudian ada sebuah keputusan keliru yang aku buat, karena aku memang belum tahu banyak teknisnya. Dan itu juga merupakan momen pertama bagiku. Tapi rasa bersalah itu tak kunjung hilang, meski seluruh bagian dari tim sudah berkata tak apa.

Salah satu hal yang tak bisa kumaafkan adalah peristiwa waktu itu. Singkat saja kejadiannya, tapi mungkin tidak akan pernah kulupakan. Waktu itu sore hari, di sebuah rumah sakit di bilangan kota Jakarta. Aku sedang berada di sebuah ruangan IGD dengan berbagai peralatan yang melengkapinya. Di depanku ada sebuah ranjang, dengan seseorang terbaring diatasnya. Seseorang yang sangat aku sayangi, yang menghiasi masa kecilku dengan sejuta kebahagiaan. Dialah nenekku.

Kemarin sore, sebelum dibawa di rumah sakit nenekku tiba-tiba terjatuh di rumah yang sekaligus kantornya tempat dia bekerja. Bukan hanya terjatuh, tetapi hingga sampai muntah darah. Melihat kondisinya yang semakin tidak baik, beliau pun segera dibawa ke IGD untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Setelah kemarin om dan tanteku menjaga nenek, sekarang giliran ayah dan aku. Namun saat ini tinggal lah aku sendiri, karena ayahku harus pergi untuk menunaikan salat.

Nenekku termasuk orang yang ‘tidak percaya’ dengan dokter, termasuk rumah sakit dan berbagai peralatannya. Oleh karena itu, nenek sangat tidak suka jika harus dibawa ke rumah sakit, terlebih harus dipasang berbagai selang serta peralatan lain ditubuhnya. Sejak awal beliau sudah melawan, dan berusaha untuk melepasnya. Untungnya sekarang nenek sedang tertidur, sehingga aku bisa bernapas lega. Aku pun terdiam, entah bingung ingin berbuat apa.

Kupandangi sebuah alat mirip komputer, yang menampilkan detak jantung nenek. Masih dalam kisaran rendah pikirku, aku sangat berharap bisa melihat nenek kembali pulih. Menit berganti menit terasa lama bagiku. Tiba-tiba nenekku terbangun, dan dia langsung mengerang. Aku pun terkejut dan langsung menghampirinya. Ternyata nenek berusaha melepaskan segala peralatan yang menempel di tubuhnya. Aku segera mencegahnya dan menjelaskan bahwa ini semua agar nenek kembali sehat. Tetapi beliau seperti tidak peduli, terus menerus memberontak dan melawan. Entah kenapa aku pun merasa kesal dan malah membentak nenekku. Tapi tetap seja nenek tidak peduli, aku semakin mengeraskan suaraku sampai akhirnya aku pasrah dan tidak peduli lagi.

Akhirnya aku menelepon ayahku, dan berkata aku mau pulang saja. Ayahku yang telah melaksanakan kewajibannya akhirnya menghampiri ruangan tempat nenekku berada. Setelah menjelaskan kejadian yang sebenarnya, ayahku memanggil perawat dan aku pun pamit pulang karena kebetulan rumah sakit itu tidak berada jauh dari rumah. Selama di perjalanan aku hanya bisa menggerutu, boleh dibilang aku kesal karena nenekku seakan-seakan bersikap tidak mau diobati.

Malam harinya ketika aku sedang menonton televisi di rumah, aku mendengar sebuah kabar mengejutkan. Sebuah kabar duka, ternyata nenekku baru saja meninggal dunia. Kemungkinan ketika waktu magrib, beliau telah berpulang. Tidak terlalu lama setelah aku meninggalkan dirinya. Di situ aku merasa sangat bersalah. Mengapa kenangan terakhir ku bersamanya harus dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Jika saja aku mau bertahan lebih lama lagi, dan lebih bersabar lagi sedikit saja mungkin tidak akan seperti ini jadinya.

 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Yang Berlalu Tak Bisa Kembali

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Tetapi waktu sudah berlalu. Apa yang sudah terlewati tidak bisa terulang lagi. Akhirnya semua hanya akan menjadi pelajaran berharga, untuk di masa yang akan datang. Meskipun seringkali aku masih merasakan penyesalan itu.

Bagiku, memaafkan diri sendiri jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain. Sehingga, kejadian seperti itulah yang terkadang membuatku mengisolasi dari dunia luar. Merasa nyaman dengan diri sendiri tanpa ada orang lain di sekitar. Hanya dengan seperti itu aku yakin bahwa tidak akan ada yang tersakiti sehingga aku tidak perlu merasa bersalah. Namun nyatanya hal itu malah menjadi bumerang, karena teman-temanku jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

Sebagai solusi aku pun akhirnya mencoba menceritakan apa yang menjadi kegelisahanku. Terkadang yang hanya kita butuhkan memang hanya sedikit ‘curhat’ kepada orang yang telah dipercaya. Ada yang seringkali aku renungi dan semoga ini bisa menjadi pelajaran bersama. Jika kita tidak bisa memaafkan diri sendiri, maka itu artinya kita tidak yakin pada diri kita sendiri. Dan jika kita saja sudah tidak yakin pada diri sendiri, bagaimana orang lain bisa yakin dan bahkan memaafkan kita.

Memang terkadang kita perlu melihat lebih jauh, dari sudut pandang yang lain dan mungkin saja kita butuh bantuan orang lain untuk melihat hal tersebut. Terkadang lampu yang bersinar, hanya dapat melihat sekelilingnya yang terang benderang, tetapi tidak tahu bahwa sebenarnya dialah sumber dari cahaya tersebut.

3 dari 3 halaman

Simak Video di Bawah Ini

#GrowFearless with FIMELA