Terlahir Berbeda dan Sering Dipandang Sebelah Mata, Kita Tetaplah Berharga

Endah Wijayanti diperbarui 27 Mei 2019, 16:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Punya cerita mengenai usaha memaafkan? Baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain? Atau mungkin punya pengalaman terkait memaafkan dan dimaafkan? Sebuah maaf kadang bisa memberi perubahan yang besar dalam hidup kita. Sebuah usaha memaafkan pun bisa memberi arti yang begitu dalam bagi kita bahkan bagi orang lain. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Fimela: Sambut Bulan Suci dengan Maaf Tulus dari Hati ini.

***

Oleh: Dewi Yulianti - Indramayu

Di mana keadilan? Di mana Tuhan?

Saya terlahir beda, berbeda dengan orang-orang lainnya. Kenapa saya berbeda? Apa yang salah dalam diri saya? Kenapa saya diciptakan seperti ini? Kenapa Tuhan tidak adil? Di mana Tuhan itu? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu sering terbesit dalam diri ini.

Saya berbeda secara fisik, berbeda dengan mereka yang normal. Terlahir berbeda membuat saya dipandang berbeda oleh orang-orang, dipandang sebelah mata, juga selalu diremehkan. Saat kecil saya tidak merasakan bahwa saya terlahir berbeda bermain seperti biasa dengan anak-anak kecil lainnya tapi seiring berjalannya waktu dan bertambah usia saya mulai menyadari mengapa orang-orang melihat saya aneh, apa yang salah dari diri saya? Mungkin itu pertama kali muncul pertanyaan dalam diri saya.

Ketika saya kelas 6 SD, saya pun mulai memahami apa yang mereka maksud, Fisik saya! Itu yang mereka maksudkan. Tak jarang saya mendapat ejekan-ejekan dari mereka, seperti tidak adil jika hanya saya yang berbeda. Sedari kecil mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari lingkungan setempat, memberikan dampak terhadap psikologi saya menjadikan saya seorang anak yang sangat introvert.

 

2 dari 4 halaman

Menemukan Sudut Pandang Baru

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Sampai di usia remaja kerap kali saya masih mendapat pandangan miring tentang fisik saya, hingga saya duduk di bangku sekolah menengah atas yang pastinya itu bukan usia dini lagi. Saya memahami ketika mereka sedang membicarakan saya, yang pasti di usia remaja seperti itu saya benar-benar merasa dunia seolah tidak adil. Saya masih belum bisa menerima keadaan saya karena saya ingin sekali mempunyai banyak teman, disukai semua orang, memiliki potensi sehingga disukai guru saya ingin sekali hidup normal seperti mereka. Saya sangat membenci sifat introvert yang terjadi dalam diri saya.

Ketika saat itu saya mendapati seorang teman yang sangat spesial, dia benar-benar sangat religius dia tidak memandang sebelah mata tentang saya, dia menerima segala kekurangan saya, dia selalu mengajak saya terhadap kebaikan hingga saya mulai mengenal Allah. Saya bukan orang yang sangat religius karena orang tua saya dan lingkungan tempat tinggal saya pun masih awam tentang agama.

Hingga suatu hari saya diajak dalam sebuah kajian ilmu saya merasa tenang, pikiran positif pun mulai muncul dalam kepala saya, saya menyadari bahwa saya yang kufur nikmat. Padahal sudah jelas Allah SWT menciptakan hamba-Nya dalam bentuk sebaik-baiknya. Setelah saat itu saya berpikir saya harus berubah, semua manusia itu sama dan saya mempunyai hak yang sama.

3 dari 4 halaman

Bersyukur

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Kehidupan saya di sekolah pun mulai berubah saya belajar untuk bersosialisasi dengan teman-teman lainya, saya mulai belajar untuk tidak terlalu menutup diri saya karena saya paling tidak nyaman jika berada dalam keramaian dan orang yang tidak saya kenal. Begitu sulit memang sampai saya jatuh bangun dan sempat ingin menyerah dan selalu saja pertanyaan kenapa saya berbeda? Itu muncul.

Saat saya mulai sering mengikuti kajian ilmu agama, semakin terbuka pikiran saya hati saya tidak lagi sesak. Saya menyadari saya yang terlalu jauh dengan Allah hati saya tidak ada Allah sampai saya tidak mensyukuri apa yang ada dalam diri saya. Sering kali saya berpikir bahwa dunia ini kejam, hidup ini tidak adil. Padahal dari dalam diri saya kurang adanya sikap bersyukur.

Saya pun terus belajar mengubah pola pikir saya yang dominannya terus meratapi keadaan, saya terus belajar tentang apapun baik itu akademis atau non akademis. Hingga saya tidak lagi menjadi seorang yang asosial dan menuai prestasi di kelas. Alhamdulillah sekarang saya merasa hidup saya lebih baik lebih berarti meski terkadang masih dianggap sebelah mata oleh mereka yang baru mengenal saya karena saya beda secara pandangan mata. Tapi itu semua tidak penting karena semua di mata Tuhan adalah sama. Dari semua itu saya belajar arti ikhlas dan sabar.

4 dari 4 halaman

Simak Video di Bawah Ini

#GrowFearless with FIMELA