Fimela.com, Jakarta Punya pengalaman suka duka dalam perjalanan kariermu? Memiliki tips-tips atau kisah jatuh bangun demi mencapai kesuksesan dalam bidang pekerjaan yang dipilih? Baik sebagai pegawai atau pekerja lepas, kita pasti punya berbagai cerita tak terlupakan dalam usaha kita merintis dan membangun karier. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis April Fimela: Ceritakan Suka Duka Perjalanan Kariermu ini.
***
Oleh: Finn - Surabaya
Bagiku, Pekerjaan Ini adalah Pekerjaan Terkeren
Saat itu aku yang masih berusia empat tahun bernyanyi dengan riang gembira di boncengan sepeda ontel ibuku. Hari itu, aku masih sangat mengingatnya, bagaimana hari itu aku menemukan mimpi pertamaku, hal paling keren yang ingin kulakukan di masa depan.
Hari itu, ibu mengajakku ke tempat kerjanya untuk kali pertama. Biasanya aku ditinggal di rumah, dititipkan pada bibi, adik ibu paling muda. Saat itu bibi sedang ada urusan penting yang harus dikerjakan sehingga tidak bisa menjagaku. Terpaksa ibu pun mengajakku turut serta ke Taman Kanak-Kanak tempat ibu mengajar. Ya, ibuku adalah seorang guru TK. Ibu sempat berhenti bekerja untuk merawatku. Saat aku sudah lumayan besar dan dapat ditinggal, ibu memutuskan untuk kembali mengajar.
Setiap hari, ia pergi pulang dengan mengendarai sepeda ontel tua miliknya. Saat itu, keluargaku hanya memiliki satu sepeda motor yang harus digunakan ayahku karena jarak ia bekerja cukup jauh. Jarak rumah kami ke TK tempat ibu mengajar memerlukan waktu sekitar 15 menit dengan menggunakan sepeda ontel. Sesampainya di TK, ibu disambut dengan pelukan hangat murid-muridnya.
Aku yang kala itu tidak memiliki adik, merasa cemburu dan seolah tak rela ibuku dikelilingi murid-muridnya. Apalagi saat itu ibu tersenyum bahagia menyambut mereka. Di kelas, ibu memperkenalkan aku pada murid-muridnya. Beliau memintaku duduk di kursi paling belakang di kelas dan memintaku untuk mendengarkannya selama kelas berlangsung bersama-sama dengan murid yang lain. Hari itu, aku menjadi murid ibu, bukan anak ibu yang biasanya mendapatkan semua perhatian ibu. Aku pun mengikuti dengan seksama semua yang dijelaskan ibu selama di kelas.
Hari itu, pelajaran menulis dan menggambar. Aku melihat bagaimana ibuku dengan sabar mengajari satu persatu muridnya cara memegang pensil yang benar. Ibu tersenyum dan memberikan pujian pada setiap muridnya yang dapat memegang pensil dengan benar, termasuk padaku. Hari itu, dalam benakku, pekerjaan ibuku adalah pekerjaan yang paling keren bagiku. Dan sejak saat itu, setiap kali ditanya, “Mau jadi apa jika sudah besar nanti?” Aku selalu menjawabnya dengan bangga. Aku ingin menjadi ibu guru yang baik seperti ibuku.
Kuliah di Jurusan PGSD
Keinginanku menjadi guru sepertinya bukan sekadar keinginan anak kecil berusia empat tahun yang berlangsung sementara saja. Saat itu, jika teman-temanku yang lain bermain dengan stetoskop mainan, aku lebih memilih untuk dibelikan papan tulis kecil lengkap beserta kapur warna warni yang setiap harinya kugunakan untuk bermain bersama adik sepupuku. Aku yang jadi gurunya dan adikku menjadi muridnya. Aku bahkan tidak pernah bosan bermain seperti itu setiap harinya.
Entahlah semenjak hari itu, aku sangat ingin menjadi seorang guru. Aku tidak pernah bosan-bosannya mengatakan bahwa nanti saat aku sudah dewasa, aku akan menjadi guru yang lebih keren daripada ibu. Bahkan saat teman-temanku mulai dewasa, banyak dari mereka yang berubah cita-citanya atau bahkan ada yang tidak yakin dengan apa yang akan mereka jalani saat dewasa, namun aku tetap kukuh pada mimpiku untuk menjadi seorang guru.
Aku selalu bangga dengan profesi guru hingga pada saat itu. Saat di mana semua teman-temanku bingung menentukan jurusan apa yang akan mereka ambil di universitas. Saat itu aku bersekolah di sekolah menengah paling favorit di kotaku. Sebagaimana sekolah favorit pada umumnya yang dipenuhi dengan anak-anak berkompeten dan pintar, aku termasuk dalam 10 besar murid yang pandai di kelas. Anak-anak di sekolahku menargetkan kampus bergengsi dengan jurusan yang bergengsi pula, seperti kedokteran, arsitek, insinyur, dan jurusan-jurusan yang terlihat keren bagi anak-anak seusia kami saat itu.
Aku yang saat itu memilih jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar pun membuat mereka kaget dan tak percaya. Pasalnya saat itu jurusanku belum banyak diminati dan terkesan sebagai jurusan yang biasa saja. Beberapa temanku bahkan berulang kali memperingatkanku untuk memikirkan kembali matang-matang jurusan yang akan aku pilih. Katanya, “Sayang sekali dengan nilaimu jika kamu cuma masuk ke jurusan itu,” “Jadi guru, kalau masih honorer nanti gajinya cuma sedikit, nanti kamu yang susah. Pikirkan baik-baik ke depannya,” “Kenapa nggak coba masuk ke kedokteran saja? Aku yakin kamu bisa kok,” dan pernyataan-pernyataan lain yang membuatku sedikit terluka saat itu.
Rasanya seperti pekerjaan yang aku impikan sejak kecil ini bukanlah pekerjaan yang keren dan tidak layak untuk dipilih. Padahal aku sangat ingin menjalani pekerjaan ini. Aku sangat suka mengajar, bahkan setiap ada temanku yang belum memahami pelajaran dengan baik pun, aku dengan senang hati mengajarinya hingga paham. Dan saat orang yang aku ajar menjadi lebih paham, ada perasaan puas tersendiri bagiku. Bukankah itu cukup sebagai alasan bagiku untuk mengambil jurusan ini?
Saat itu aku tidak peduli dengan apa yang dikatakan teman-temanku. Aku yakin pada keputusanku dan aku tahu hal yang baik untuk diriku dan masa depanku dibandingkan mereka. Aku yakin aku akan baik-baik saja karena ini keputusan yang aku ambil karena aku sangat menyukainya. Namun ada beberapa hal yang kadang masih membuatku sakit hati. Saat aku ditanya oleh orang-orang di sekitarku tentang jurusan yang aku ambil, reaksi mereka akan sama dengan teman-temanku.
“Kamu masuk jurusan apa?”
“PGSD”
“Apa itu PGSD?”
“Pendidikan Guru Sekolah Dasar”
“Oh,” (dengan muka yang datar).
Berbeda saat temanku yang masuk kedokteran. Saat ditanya mengenai jurusannya, orang-orang akan bereaksi seolah-olah mereka sangat kagum. “Wow Kedokteran, kamu pasti pinter banget.” “Wah keren ya, jadi Bu Dokter nih nanti.” Dan ekspresi-ekspresi takjub lainnya yang tak pernah kudapat.
Kebahagiaan dari Mendidik
Tapi aku ingat satu hal yang sering ibu katakan padaku “Yang terpenting adalah bukan siapa kamu. Tapi apa yang bisa kamu lakukan.” Aku selalu memegang teguh prinsip itu sehingga aku tetap akan melakukan hal yang baik untukku, bukan hal yang baik untuk dilihat orang lain. Yang terpenting adalah aku menjalani apa yang bermakna dalam hidupku, hal yang bisa aku nikmati saat melakukannya dan tidak merugikan orang lain tentunya.
Memasuki dunia kampus, aku tahu bahwa banyak hal yang harus aku pelajari untuk menjadi seorang guru yang baik. Teori-teori pendidikan, teori mengajar, dan psikologi anak yang membingungkan namun juga menarik untukku, serta keterampilan-keterampilan lain yang dibutuhkan oleh seorang guru SD seperti menari, bermain musik, dsb. Aku baru sadar bila menjadi seorang guru SD harus bisa semua hal. Tapi aku sangat menikmatinya, hal-hal baru yang aku pelajari di sini.
Di sini, aku menjadi lebih bisa berpikir dewasa, mengingat seorang guru adalah orangtua bagi anak-anaknya di sekolah. Benar kata ibu, tidak peduli akan jadi apa aku nanti, apakah nanti aku tetap akan jadi guru atau tidak, setidaknya apa yang aku pelajari saat ini akan berguna bagiku saat menjadi orangtua (ibu) nantinya. Aku belajar dengan sungguh-sungguh di sini, tak ada yang tidak berguna untukku.
Selama berkuliah di sini, aku mendapatkan banyak pengalaman menjadi seorang guru yang sesungguhnya melalui kegiatan magang walaupun sementara. Saat itu, aku berkesempatan mengajar di sebuah desa yang jauh dari kota. Sebuah sekolah dasar kecil yang setiap kelasnya hanya berisi 10 hingga 15 siswa. Saat itu, aku beruntung mendapatkan pengalaman yang luar biasa dari seorang guru yang menjadi penanggung-jawabku selama aku magang di sana.
Bangga dan Bahagia Menjadi Guru
bu Supiah, guru paruh baya yang sudah mengajar di sana selama 25 tahun. Gaji yang didapatkannya dari sekolah memang sedikit, hanya Rp300 ribu setiap bulannya. Namun ia bertahan selama itu karena keinginannya untuk mengajar anak-anak di desa tersebut. Di kelas yang ia pegang, ada satu anak yang sedikit istimewa, namanya Asfa, anak laki-laki tuli dari keluarga buruh tani.
Asfa masuk sekolah saat usianya sudah 10 tahun. Ia menjadi murid luar biasa pertama Bu Supiah di SD itu. Orangtua Asfa sebenarnya sudah membawa Asfa ke SLB yang ada di kota. Namun biaya yang cukup mahal ditambah dengan jarak SLB yang jauh membuat keluarganya menyerah untuk menyekolahkan Asfa di sana. Setelah itu Asfa dibiarkan saja di rumah, bermain dengan kelereng-kelereng miliknya sendirian atau menyapu dan membersihkan rumah saat ibu dan bapaknya sedang pergi ke sawah. Bu Supiah yang mengetahui hal tersebut pun ingin mengajak Asfa bersekolah di sini. Namun perlu usaha yang keras untuk meyakinkan kepala sekolah dan orangtua Asfa.
Kepala sekolah tidak yakin untuk menerima Asfa di sekolah ini mengingat tidak adanya tenaga guru pendamping khusus yang dimiliki sekolah. Kalaupun Asfa bersekolah, ia hanya akan duduk-duduk saja sebab tidak mengerti apa diucapkan oleh teman-teman dan gurunya. Namun Bu Supiah berpendapat lain, setidaknya jika Asfa bersekolah, ia bisa bertemu dengan teman-temannya, bermain kelereng bersama, setidaknya dia tidak kesepian sendiri di rumah.
Bu Supiah tidak ingin menyerah pada Asfa. Untuk mengajari Asfa, ia akan mencari cara sendiri nanti. Karena seorang guru akan menemukan cara untuk membimbing muridnya walau itu tidak ada di buku panduan sekalipun. Kembali Bu Supiah juga berusaha meyakinkan orangtua Asfa untuk mengizinkannya membawa Asfa ke sekolah. Orangtua Asfa khawatir bila Asfa nantinya akan menjadi bahan ejekan teman-temannya di sekolah hanya karena dia sedikit berbeda.
Bu Supiah meyakinkan pada orangtua Asfa bila di kelasnya tidak ada yang boleh mendapat perlakuan berbeda dari siapapun tidak peduli apapun kondisi dan latarbelakangnya. Ia telah mengajarkan pada muridnya bagaimana memperlakukan orang lain sebagai manusia. Hal tersebut jauh lebih penting untuk diajarkan dibandingkan rumus phytagoras ataupun kecepatan fisika sekalipun. Dengan usaha yang kuat, Bu Supiah berhasil membawa Asfa ke sekolah.
Aku masih ingat saat itu bagaimana Asfa terlihat sangat bahagia memakai baju putih merahnya dan untuk kali pertama masuk ke dalam kelas. Dan benar, murid-murid hebat Bu Supiah menyambut Asfa dengan senyum hangat dan memperlakukannya sebagaimana mestinya. Melalui kakak tingkatku yang berada satu komunitas denganku, aku bersama Bu Supiah membawa Asfa ke pusat anak kebutuhan khusus di kampusku setiap minggunya.
Di sana Asfa diajarkan bahasa isyarat dan tulis-menulis. Aku dan Bu Supiah pun belajar bahasa isyarat dan belajar banyak hal bagaimana untuk mengajar anak berkebutuhan khusus. Setiap Senin, sekitar 15 menit sebelum pulang sekolah, kami gunakan untuk mengajari anak-anak di kelas bahasa isyarat sehingga mereka juga dapat berkomunikasi dengan Asfa. Aku belajar banyak hal meski hanya sebagai guru magang saat itu. Kamu tahu? Anak-anak itu istimewa, sangat spesial, masing-masing dari mereka berbeda, tidak ada yang sama. Oleh karena itu perlu perlakuan yang berbeda pula, kita sebagai guru tidak boleh menyamakan anak yang satu dengan yang lain. Memang sistem pendidikan Indonesia belum mendukung untuk perbedaan kemampuan individu. Namun kita sebagai guru bisa mengatasi hal tersebut. Satu prinsipku adalah, “Tidak ada anak yang bodoh. Yang ada hanyalah guru yang malas untuk menemukan dan menggali potensi kecerdasan anak.”
Kini aku telah menjadi guru tetap di sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari desaku. Di sana aku dipercaya untuk membimbing anak kelas IV yang berjumlah 12 orang. Dengan gaji yang hampir sama dengan yang diterima oleh ibuku dan Bu Supiah, dua orang yang menjadi role modelku sebagai guru, aku masih bisa bertahan.
Walau saat reuni sekolah aku bertemu kembali dengan teman-temanku yang kini telah menjadi dokter, arsitek, dan berbagai profesi hebat lainnya, kini aku tak lagi minder. Aku bangga meski aku hanya seorang guru honorer dengan penghasilan pas-pasan. Pekerjaanku juga tak kalah hebatnya dengan mereka. Dan tanpa orang-orang sepertiku, takkan ada profesi-profesi hebat lainnya. Karena sebelum mereka menjadi orang-orang yang hebat, mereka hanyalah anak-anak yang mungkin belum bisa membaca dan menulis, dan bahkan belum tahu betapa hebatnya mereka.
Dan guru sepertiku bertugas untuk tidak pernah menyerah membimbing mereka menjadi orang-orang yang hebat dengan kepribadian yang hebat pula. Karena guru adalah orangtua anak-anak di sekolah. Bukankah orangtua tidak pernah menyerah pada anaknya? Dan aku akan sangat bangga menjadi guru yang tidak pernah menyerah.