Kebutuhan Hidup Kadang Menuntut Kita Harus Bertahan meski Pekerjaan Tak Sesuai Harapan

Endah Wijayanti diperbarui 06 Mei 2019, 16:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Punya pengalaman suka duka dalam perjalanan kariermu? Memiliki tips-tips atau kisah jatuh bangun demi mencapai kesuksesan dalam bidang pekerjaan yang dipilih? Baik sebagai pegawai atau pekerja lepas, kita pasti punya berbagai cerita tak terlupakan dalam usaha kita merintis dan membangun karier. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis April Fimela: Ceritakan Suka Duka Perjalanan Kariermu ini.

***

Oleh: Laila Nurjannah - Banjarnegara

Menjadi Buruh dari Satu Pabrik ke Pabrik Lainnya

Tak seperti teman-temanku yang lain, yang setelah lulus SMA bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi yang mereka impikan, aku harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Dan jika ingin melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi, aku harus bekerja lebih keras lagi. Aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri, untuk membantu bapak, ibu dan adikku di kampung dan juga untuk membiayai uang kuliahku. Sama seperti teman-teman yang lain, dulu, aku juga punya mimpi untuk masuk ptn ternama, bisa belajar dengan tenang, tanpa memikirkan biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari. Namun, sekarang, jika bisa kuliah saja aku sudah sangat bersyukur. Entah kelas karyawan, kelas malam ataupun di universitas terbuka sekalipun, asalkan aku bisa sambil bekerja.

Setelah lulus SMA, aku berusaha mendaftar ke perguruan tinggi negeri melalui beasiswa Bidikmisi. Nilaiku juga masih terbilang tinggi, jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. Namun sayang sekali, keberuntungan belum berpihak padaku. Aku gagal dan jujur aku sangat kecewa pada saat itu. Selama sekitar 6 bulan, aku terpuruk dan mulai merenungkan diriku sendiri. Aku mulai menyusun rencana apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Apakah aku hanya akan berdiam diri di tempatku saat ini? Spakah aku akan menyesalinya seumur hidupku?

Aku memutuskan untuk bangkit dan mulai menyusun masa depanku. Aku memutuskan untuk merantau dan mencari pekerjaan di Tangerang. Aku numpang di rumah bibi dan pamanku. Kenapa aku memilih merantau? Mencari pekerjaan di kotaku benar-benar sulit, apalagi bagi lulusan SMA sepertiku. Di Tangerang, ternyata juga sama-sama sulit, tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Apalagi, aku sama sekali tidak memiliki pengalaman ataupun ketrampilan khusus. Aku sempat menganggur dua bulan. Dalam dua bulan itu, aku memutuskan untuk belajar menjahit. Kebetulan, paman dan bibiku adalah seorang penjahit dan di rumahnya terdapat mesin jahit dan mesin obras yang bisa aku gunakan untuk latihan menjahit secara gratis. Hingga akhirnya aku bisa bekerja di sebuah pabrik pakaian alias garmen, melalui rekan kerja pamanku dulu.

Aku bekerja di sebuah pabrik pakaian yang jam kerjanya luar bisa gila. Kenapa bisa dikatakan gila? Karena aku bekerja hampir 13 jam, mulai dari pukul 7 pagi hingga pukul 8 malam. Rasanya subhanalloh luar biasa allohuakbar bagiku, yang baru pertama kali kerja. Sebagian besar pekerja di situ adalah ibu rumah tangga dan juga ada beberapa remaja yang baru lulus sekolah sepertiku. 

2 dari 4 halaman

Dari Satu Pabrik ke Pabrik Lainnya

Ilustrasi./copyright shutterstock

Hanya satu bulan aku bertahan bekerja di pabrik pakaian itu. Mengapa aku memutuskan untuk keluar? Pertama, jam kerja yang luar biasa. Kedua, gaji yang masih di bawah UMR dan tidak sesuai dengan tenaga yang aku keluarkan. Dan yang ketiga adalah rekan kerja yang menurutku luar biasa menganggu. Karena masih baru dan belum terlalu mahir menjahit, aku sering mendapat omelan dari ibu-ibu yang bekerja di situ. Satu bulan saat itu berasa satu tahun bagiku. Tiap pulang kerja aku nangis. Rasanya sungguh sedih, namun bermakna, dan akan menjadi pengalaman berharga yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

Setelah keluar dari pabrik itu, aku kembali menganggur. Hampir selama 6 bulan aku menganggur. Beberapa kali ada panggilan kerja, namun sayang sekali aku belum lolos. Bahkan aku sudah sampai pada tahap interview yang terakhir, dan lagi-lagi aku harus mengalami kegagalan. Ada juga yang sempat yang dinyatakan lolos, namun upah yang diberikan sangat minim dan hanya cukup untuk transport pulang pergi.

Setelah 6 bulan menganggur, akhirnya aku bisa kerja lagi di sebuah pabrik lampu yang letaknya dekat dengan rumah bibiku. Memang gaji yang diberikan kecil yaitu Rp65.000 rupiah per hari, dengan jam kerja 9 jam per hari. Tapi tak apa aku tetap menjalaninya. Daripada menganggur dan saat itu aku sedang dalam posisi numpang di rumah bibiku. Tiap bulannya aku bisa mendapatkan gaji Rp1.500.000 hingga Rp1.700.000 jika ada lemburan.

Aku hanya bisa bersyukur saat itu. setidaknya aku masih bisa memberi bibiku uang belanja (walaupun tidak banyak) setiap bulannya. Aku juga masih bisa mengirimi uang untuk ibu bapakku di kampung. Aku hanya bisa bersyukur, dan tentunya berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik di tempat lain. Di pabrik lampu, aku bertahan selama 5 bulan. Bukan karena orang-orangnya sama seperti di pabrik pakaian dulu, tapi karena aku ada panggilan kerja di pabrik lain. Di pabrik lampu inilah, aku bertemu dengan teman-teman baru yang sampai saat ini masih sering berhubungan atau sekedar bertanya kabar. Mungkin karena sebagian besar pekerja di pabrik lampu ini masih seumuran denganku.

Aku mendapat panggilan kerja di pabrik karet elastis dan benang. Gaji di pabrik ini lumayan lebih baik dari pada di pabrik lampu sebelumnya. Pada saat awal bekerja disini, aku mengalami kesulitan yang luar biasa. Pekerja di pabrik ini hanya sekitar 14 orang dan dibagi menjadi dua shift. Pekerjaan di sini juga cukup rumit. Karena harus menunggu mesin benang dan karet, jika ada satu benang ataupun karet yang putus aku harus mencarinya sampai dapat. Padahal jumlah benangnya mencapai ratusan dan karetnya mencapai puluhan. Saat itu, aku benar-benar ingin menyerah. Yang mengajariku bekerja juga hanya satu orang saja. Di mana dia harus mengajariku, menunggu mesin lainnya dan membenarkan mesin yang rusak, sebut saja namanya Teh Ayu, dia dua tahun lebih tua dariku. Terkadang dia galak terkadang juga baik kepadaku. Sedangkan karyawan yang lain mengerjakan tugas lain, di mana karyawan yang lain adalah laki-laki semua dan sebagian besar sudah berkeluarga.

3 dari 4 halaman

Ingin Menyerah tapi Harus Bertahan

Ilustrasi/copyright unsplash.com/@kapnoodels

Saat itu aku benar-benar ingin menyerah. Apalagi pimpinan produksi di pabrik itu, sebut saja namanya Bang Jali, sering marah-marah dan juga sering mengerjai anak baru sepertiku. Dia juga sering mengajak karyawan senior yang lain untuk mengerjai anak baru sepertiku. Dia sering menyuruh-nyuruh anak baru sepertiku untuk mengerjakan pekerjaan ini, pekerjaan itu, yang padahal itu bukan tugas pokokku sebagai karyawan produksi. Bang Jali suka menyuruh orang lain, sementara ia hanya santai-santai bermain game di handphone. Sepertinya bukan aku saja yang merasa tidak enak dengan perilaku bang jali ini, tetapi karyawan yang lain juga merasakan hal yang sama. Tapi, sepertinya mereka sudah kebal dan tidak terlalu ambil pusing.

Setelah 6 bulan bekerja, aku mulai bisa dan lancar dalam mengoperasikan mesin pabrik. Teh Ayu yang mengajariku dulu juga sudah keluar kerja karena akan menikah. Dan sekarang, giliran aku yang mengajari jika ada anak baru yang masuk. Aku sudah tidak terlalu ambil pusing dengan sikap Bang Jali, mentalku sudah mulai kebal. Aku juga memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Karena menumpang di rumah orang lain, walaupun saudara sendiri, rasanya benar-benar tidak enak. Kontrakan seluas 5 x 4 meter ini, sangat dekat dengan tempat kerjaku.

Aku masih ingin melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Jujur, bekerja di pabrik, sebagai operator produksi, bukanlah impianku sama sekali. Terkadang semangatku turun, terkadang rasanya benar-benar ingin berhenti bekerja. Sambil mencari-cari informasi pekerjaan yang lebih baik, di waktu luang setelah bekerja, biasanya aku suka menulis beberapa cerita maupun artikel. Aku ingin suatu saat nanti, aku bisa bekerja di sebuah perusahaan penerbitan buku, surat kabar ataupun majalah.

Setelah hampir satu setengah tahun bekerja, uang di tabunganku sudah mulai terkumpul dan aku berencana untuk melanjutkan studiku tahun ini. Dengan harapan, setelah lulus, aku bisa mengamalkan ilmuku dan juga bisa bekerja di tempat yang lebih baik. Aku ingin adikku dan anak-anakku kelak bisa sukses dan bisa sekolah dengan tenang, bisa memilih sekolah impian mereka, tanpa harus memikirkan biayanya. Keluarga sangat mendukung keputusanku untuk kuliah sambil bekerja ini

4 dari 4 halaman

Ada Pelajaran Berharga

Ilustrasi/copyright unsplash.com/@kotajue1117

Bekerja sebagai buruh di pabrik tidak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya. Aku harus memegang obeng, tang, solder dan teman-temannya. Hal yang menurutku sangat asing dan sama sekali tidak aku pelajari di sekolahku dulu. Pekerjaan yang sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasiku semasa sekolah dulu. Tapi, mau bagaimana lagi aku harus menjalaninya. Aku butuh uang. Tidak semua orang bisa bekerja sesuai dengan bakat dan passion yang dikuasai. Kebutuhan hiduplah yang menuntut kita untuk bekerja.

Selama bekerja dari satu pabrik ke pabrik ke lainnya, aku menemukan banyak teman dan pelajaran hidup yang berharga. Berdasarkan pengalaman pribadiku, banyak dari kami, pekerja pabrik adalah seorang wanita, bahkan banyak pula yang sudah berumah tangga dan memiliki anak. Para ibu rumah tangga ini, memiliki alasan tersendiri untuk bekerja di pabrik. Ada yang karena suaminya meninggal dan harus mencukupi kebutuhan anak-anaknya, ada yang suaminya tidak mau bekerja, ada yang bercerai karena suaminya tidak mau menafkahi, ada yang ingin membantu suaminya untuk mencari uang tambahan dan ada pula yang bosan di rumah dan memilih untuk bekerja di pabrik. Karena tidak membutuhkan ketrampilan khusus inilah, bekerja di pabrik menjadi solusinya.

Para wanita pekerja adalah wanita yang luar biasa. Di hari buruh yang jatuh pada tanggal 1 Mei ini, saya berharap kesejahteraan pekerja di indonesia lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah. Mulai dari jaminan kesehatan, status karyawan, dan juga upah yang diperoleh oleh para pekerja. Masih banyak sekali pabrik yang memberikan upah di bawah UMR. Masih banyak pula pabrik yang tidak memiliki jaminan kesehatan bagi para pekerjaanya, terutama bagi karyawan harian lepas seperti kami. Status karyawan juga kebanyakan masih berupa karyawan harian, karyawan kontrak ataupun karyawan outsourcing yang tidak jelas jaminan masa tuanya. Semoga ke depannya, pemerintah bisa lebih memperhatikan lagi kesejahteraan para pekerja di Indonesia.