Karier Baruku sebagai Pejuang Kanker

Endah Wijayanti diperbarui 06 Mei 2019, 12:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Punya pengalaman suka duka dalam perjalanan kariermu? Memiliki tips-tips atau kisah jatuh bangun demi mencapai kesuksesan dalam bidang pekerjaan yang dipilih? Baik sebagai pegawai atau pekerja lepas, kita pasti punya berbagai cerita tak terlupakan dalam usaha kita merintis dan membangun karier. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis April Fimela: Ceritakan Suka Duka Perjalanan Kariermu ini.

***

Oleh: Elly Nurida Silalahi - Pematang Siantar

Lulus kuliah tepat waktu dengan nilai memuaskan, diterima di tempat kerja yang sesuai jurusan dan passion merupakan impian para mahasiswa termasuk aku. Namun impian tak semanis kenyataan, pekerjaan pertamaku sangat tidak berkaitan dengan jurusanku, Teknik Pertanian. Aku bersyukur diberi kesempatan untuk bergabung oleh perusahaan tersebut. Aku merupakan tipe orang yang butuh waktu agak lama untuk menganalisa suatu informasi yang baru. Namun, apabila sudah paham prinsip dan alur berpikirnya maka aku segera bisa mengejar ketertinggalan, melakukan akselerasi bahkan melahirkan inovasi.

Singkat cerita, aku ingat banget momen di mana aku mengikuti training selama 2 minggu sebelum penempatan. Selama 2 minggu itu aku kesulitan mengikuti dan memahami materi yang disampaikan trainer terkait alur kerja yang akan menjadi jobdesc-ku nanti. Sampai akhirnya si trainer menjadi sangat kesal dan marah dan setengah berteriak ke aku, "Kamu bodoh banget, begini aja tidak bisa.” Perasaanku nano-nano pada saat itu, sedih dan malu setengah mati dipermalukan di depan teman-teman sesama peserta training. Tangisku setengah mati kutahan dan sampai di kos tangisku tak terbendung lagi, aku tak ingin menginjakkan kaki ke kantor lagi.

Setelah agak tenang aku ambil telepon dan satu-satunya suara yang ingin kudengar saat itu adalah suara orangtuaku. Nasihat bijak dan doa merekalah kekuatan yang memulihkan semangatku. Aku kembali mengingat visi awalku untuk bekerja utamanya supaya tidak membebani orangtua lagi. Istirahat malam yang cukup dan pagi hari aku bangun serta mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dalam hati aku berkomitmen dan menguatkan hati dengan pernyataan jika temanku bisa akupun pasti bisa. Setiap ada waktu luang aku tidak malu bertanya kepada teman-teman yang sudah paham, jam istirahat aku gunakan untuk membaca lagi materi training dan praktik langsung di komputer. Untungnya aku tinggal di kos yang diisi oleh teman-teman dan senior sekantor jadi proses belajar masih bisa terus berlangsung bahkan di luar kantor.

Percaya diri dan memiliki kemauan belajar serta tekad kuat merupakan kunci utamaku untuk bisa mengejar ketertinggalan. Seiring waktu berjalan, banyak ide-ide kreatif yang dapat aku sampaikan kepada leader yang membuat proses kerja lebih efektif dan efisien. Sampai suatu waktu, aku ditawari untuk ikut tes sebagai leader. Senang dan bangga rasanya hasil perjuanganku diapresiasi dengan baik. Akhirnya aku bisa naik level bukan karena faktor lain melainkan murni karena kompetensi dan kontribusi positif yang kuberikan kepada perusahaan.

 

 

2 dari 4 halaman

Menjadi Leader

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Sebagai leader yang dipilih karena potensi yang aku miliki membuatku percaya diri untuk memimpin timku. Jadi ketika aku mengutarakan materi ataupun coaching, timku mendengarkanku dan memperhatikan apa yang aku sampaikan dengan penuh perhatian dan hormat. Itulah pengalaman berhargaku saat terpilih menjadi leader karena kredibilitas bukan cari muka.

Aku pikir dengan tidak mengusik orang lain aku juga tidak akan diusik, ternyata perkiraanku salah. Momen sedih yang tidak terlupakan sampai saat ini adalah ketika aku baru melahirkan dan mengharuskanku untuk pumping di kantor. Karena kurangnya fasilitas ruang pumping, jadi aku menggunakan sebuah ruang kerja yang sedang tidak dipakai. Aku harus mematikan lampu karena ruangan tersebut tidak berpintu jadi siapa saja bisa masuk kapanpun. Jadi aku pumping di bawah meja dan ruangan yang gelap gulita. Untuk mendapatkan sedikit cahaya aku biasanya bawa handphone sambil melihat lihat foto anak atau dengerin lagu favorit sebagai mood booster yang dapat merangsang produksi ASI lebih banyak. Selang beberapa minggu, tiba- tiba saat aku sedang bekerja atasanku menelpon. "Eboy," (panggilanku di kantor). Kemudian jawabku, “Iya, Kak. Kenapa, Kak?"

"Ada yang bilang kamu bawa handphone ya sewaktu pumping hingga jadi lama. Mulai besok kalau pumping jangan bawa handphone ya!"

"Tapi, Kak… ," belum sempat aku menjelaskan teleponnya sudah diputus. Padahal paling lama durasi pumpingku 15-20 menit dan itu juga kadang tidak sampai selesai karena perasaan tak enak meninggalkan pekerjaan.

Selidik punya selidik, ternyata yang melaporkan adalah rekan kerja pria yang juga baru diangkat menjadi leader karena kelebihannya cari muka dan sering memberikan laporan dan menjelek-jelekkan orang lain kepada atasan. Dan atasanku yang notabene sesama perempuan langsung percaya laporan tersebut tanpa crosscheck dan klarifikasi ke aku.

Suasana kantor semakin tidak menyenangkan bagiku, apalagi kita sesama leader hubungannya tidak sehat karena ada tim yang mau show off dengan cara tidak fair. Dikarenakan gaji suami saja belum mencukupi untuk kebutuhan keluargaku dan akupun masih tinggal di rumah mertua yang mana semua kebutuhan rumah ditanggung oleh aku dan suami, sehingga aku mencoba untuk bertahan bekerja di kantor tersebut yang sudah mulai tidak kondusif.

 

3 dari 4 halaman

Merasa Tak Dianggap

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Setiap memasuki gerbang kantor aku sudah merasa kesal, kecewa dan marah. Tapi aku tetap bekerja dengan profesional. Dikarenakan sikapku yang frontal, kalau tidak setuju bilang tidak kalau iya bilang iya, terkadang hal tersebut membuatku berdebat dengan atasanku yang berkomunikasi cenderung satu arah saja. Hal tersebut membuatku sering tidak dilibatkan. Misalnya, Request OFF ku tidak di-approve, jika ada acara kantor aku dijadwalkan masuk siang sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan kantor karena pulangnya pukul 21.00, belum lagi harus membuat daily report sebagai leader sehingga tak jarang harus pulang pukul 22.00.

Selain itu, tugas menyusun schedule yang harusnya dikerjakan Leader secara bergiliran tapi aku tidak diikutsertakan sampai aku menanyakan langsung kepada atasanku dan dia bilang, "Nanti saja di gelombang berikutnya." Rasanya sedih dan merasa tidak dianggap. Belum lagi banyak junior yang menanyakan, "Kenapa Kak Eboy nggak pernah buat jadwal?" Aku hanya bisa tersenyum simpul.

Sampai akhirnya, ada tes untuk menjadi trainer pun aku tidak diikutsertakan padahal secara kompetensi aku sangat memenuhi persyaratan seperti penguasaan produk, lamanya kerja, dan berpengalaman dalam memberikan training kepada karyawan baru. Malahan pacar dari pria yang melaporkanku saat pumping tersebut yang diprioritaskan.

Perasaan tak dianggap semakin menjadi-jadi kurasakan. Siapapun yang dekat denganku akan ditawari posisi baru oleh atasanku dan biasanya dia menjadi sumber informasi tentang aku dari mereka. Kondisi ini membuatku sulit untuk menjalin hubungan pertemanan dengan siapapun dan jujur itu membuatku sangat tidak nyaman dan bahkan mulai timbul perasaan benci. Jadi aku hanya mau berteman dekat dengan karyawan baru atau yang juga berseberangan dengan atasanku serta punya prinsip serta fokus untuk bekerja dengan tenang tanpa mengejar jabatan. Yang penting datang, kerja dan pulang. Aku sebenarnya sangat menyukai tantangan dan kompetisi. Paling tidak suka melihat ketidakadilan apalagi diperlakukan dengan tidak adil, aku akan berontak.

Jika hari kerja tiba aku mulai merasa tertekan. Aku tidak lagi menikmati pekerjaanku, tidak punya semangat seperti dahulu, semangat untuk menghasilkan ide-ide baru. Kondisi ini berlangsung berbulan-bulan lamanya. Tiba tiba fisikku mulai berubah, mulai kurus, pucat, dan sangat mudah kelelahan. Bahkan ada beberapa orang yang bilang mukaku tampak lebih tua, aku pun tak bersemangat lagi untuk make up karena di rumah pun sudah cukup lelah untuk menyiapkan bekal suami dan makanan untuk anakku.

Terkadang aku merasakan sakit di daerah panggul atau tulang ekor. Kebetulan kantor tempatku bekerja di bidang medis dan dilengkapi dengan klinik sehingga memudahkanku untuk melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan rutin kulakukan dua minggu sekali. X-Ray dan fisioterapi berkali-kali namun tidak mengurangi keluhanku sama sekali. Konsultasi ke dokter umum dan spesialis saraf pun tak membuahkan hasil. Obat-obatan yang diresepkan dokter hanya mampu menghilangkan sakit sesaat saja.

Semakin lama sakitnya semakin menjadi-jadi. Mules yang sangat menyakitkan memaksaku meninggalkan work station lebih sering. Dan memang sesekali aku membawa handphone untuk mengalihkan rasa sakitku. Rasanya sakit banget dan melilit tapi (maaf) tidak ada kotoran yang keluar. Ternyata cobaan itu belum usai, kembali ada yang mengadu ke atasanku dan tiba-tiba keesokan harinya keluar pengumuman, “KE KAMAR MANDI TIDAK DIPERBOLEHKAN MEMBAWA HP.”

Perasaanku semakin tidak karuan, aku tahu bahwa larangan itu pasti ditujukan dan yang menyedihkan lagi-lagi tidak ada kesempatan untuk klarifikasi. Tapi aku tak mau terlalu memusingkan itu karena aku masih diliputi kegalauan akan diagnosa sakitku yang masih belum ketahuan.

Sampai suatu hari, rasa sakit yang tak tertahankan kembali mengharuskanku mengunjungi klinik dan langsung dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam khusus bagian Sp.PD-KGEH (Gastroenterologi). Dan dia mencurigai adanya infeksi atau keganasan di ususku, oleh karena itu harus segera dilakukan Colonoscopy.

 

 

4 dari 4 halaman

Menjadi Pejuang Kanker

Pasca operasi./Copyright Elly Nurida Silalahi

Tepat tanggal 02 Maret 2017, momen yang tidak akan pernah kulupakan, tepatnya hari Kamis dilakukan Colonoscopy dan hasilnya sangat sangat mengejutkanku dan keluargaku. Aku didiagnosa menderita kanker usus stadium 4 yang sudah menyebar ke hati. Syok dan kaget serta tidak percaya sama sekali, ternyata ini jawaban atas keluhanku selama ini, mules yang mengharuskanku bolak balik ke kamar mandi dan perubahan fisikku adalah akibat kanker.

Akhirnya selesai sudah pengabdianku di kantor setelah hampir 5,5 tahun. Keinginanku dari dulu memang resign tapi tak pernah terpikirkan akan begini caranya. Pada akhirnya, setelah pihak kantor mengetahui info terkait penyakitku ini dan setelah cuti satu tahun, aku diminta untuk mengundurkan diri dari pekerjaan.

Selamat tinggal kantorku, semuanya yang telah mengajarkanku banyak hal tentang pekerjaan, tentang kompetisi, tentang persahabatan dan tentang banyak hal. Perjuanganku sudah selesai dengan kalian. Selamat berjuang buat yang masih di sana, semoga sukses dengan jalannya masing-masing.

Aku pun memulai karierku kembali saat ini sebagai PEJUANG KANKER dengan teman-teman sesama pejuang kanker, walaupun tidak gajian tapi kami bahagia karena bernar-benar membina persahabatan dengan tulus, saling menopang, menghibur, menguatkan, dan mendoakan.