Mengambil Alih Tugas Mencari Nafkah karena Suami Sakit Keras

Endah Wijayanti diperbarui 06 Mei 2019, 10:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Punya pengalaman suka duka dalam perjalanan kariermu? Memiliki tips-tips atau kisah jatuh bangun demi mencapai kesuksesan dalam bidang pekerjaan yang dipilih? Baik sebagai pegawai atau pekerja lepas, kita pasti punya berbagai cerita tak terlupakan dalam usaha kita merintis dan membangun karier. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis April Fimela: Ceritakan Suka Duka Perjalanan Kariermu ini.

***

Oleh: Khadijah Sudjana - Bandung

Suami Sakit keras, Haruskah Aku Tetap Bekerja?

Menginjak usia pernikahan lima tahun, Allah memberiku “hadiah” luar biasa sebagai sarana aku naik kelas jika bisa lulus menerima “hadiah” tersebut dengan baik. Suamiku terdiagnosa suatu penyakit berat yang tidak pernah terlintas sebelumnya dalam pikiranku akan terjadi terhadap orang terdekatku, sirosis hepatitis. Kondisi ini membawaku kepada situasi dilema, selama dua tahun sejak diagnosa tersebut aku bisa bertahan tetap bekerja meski sering izin mengantar suamiku berobat atau terkadang izin karena aku harus meluangkan waktu juga untuk anak anakku. Aku berusaha membagi peran menjadi istri, ibu, dan karyawan pada waktu bersamaan.

Pada tahun ketiga, situasi semakin tidak kondusif, suamiku semakin sering bolak-balik masuk rumah sakit, hampir satu bulan sekali dirawat. Aku harus mengambil keputusan besar, yaitu berhenti bekerja, karena aku sudah tidak mungkin menjalankan peran sebagai karyawan di saat suamiku membutuhkan perhatian dan perawatan ekstra sepanjang waktu. Jika aku memaksakan masih tetap bekerja, maka akan ada yang harus dikorbankan, apakah waktu untuk merawat suamiku menjadi berkurang, atau aku akan semakin sering izin dari kantor.

Hampir sebulan lebih aku pikirkan dengan matang keputusan untuk berhenti bekerja ini, dengan mempertimbangkan berbagai hal. Ada satu bagian dari diriku yang berat harus mengambil keputusan berhenti bekerja, mengingat bukan setahun dua tahun aku bekerja di kantor ini, tapi sudah hampir delapan tahun, bukan waktu yang singkat. Kemudian kondisi suamiku yang sakit dan tidak bisa bekerja, otomatis tugas mencari nafkah aku ambil alih, jika aku berhenti bekerja, lalu akan bagaimana?

Ah, pikiran lemah ini datang dari manusia biasa, siapa aku yang berani berpikir bahwa nafkah itu datang dari hasil aku bekerja? Nafkah atau rezeki itu bukan datang dari kemampuanku bekerja, dari kepiawaianku bekerja, atau karena aku berkerja keras, rezeki itu datang dari Allah, karena kasih sayang Allah. 

 

2 dari 3 halaman

Mencoba Mengajukan Resign

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Berbekal keyakinan tersebut, dan juga keyakinan bahwa berkhidmat kepada suami lebih utama dibanding aktivitas mencari nafkah, maka pada bulan Februari 2018 aku mantap mengajukan permohonan berhenti kerja kepada HRD kantorku.

Perlu kujelaskan, culture di kantorku sangat kental dengan sikap kekeluargaan. Sebetulnya aku belum pernah menerima keluhan secara resmi tentang seringnya aku izin dari kantor, karena sebagian memahami situasi yang aku hadapi. Namun, tetap di satu sisi aku merasa tidak enak dan berusaha tahu diri perihal sering izin. Sehari setelah aku mengirimkan surat permohonan berhenti kerja, aku dipanggil menghadap kepala HRD untuk menjelaskan perihal permohonan tersebut.

Kusampaikan secara terbuka alasan pengajuan permohonan berhenti kerja tersebut karena aku ingin fokus mengurus suamiku dan juga karena aku tidak ingin membuat “kerugian” untuk kantorku karena kinerjaku tidak bagus, ibaratnya daripada harus tetap menggaji SDM yang tidak baik performanya, lebih baik mencari pengganti SDM yang lebih bagus, sehingga gaji yang dibayarkan tidak sia sia.

Reaksi kepala HRD-ku jujur tidak kuduga sebelumnya, kusangka permohonan ini akan dengan mudah dikabulkan. Well, salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh orang orang HRD adalah melihat hal-hal yang tidak bisa tersampaikan dengan kata kata dalam sesi coaching atau sejenisnya, dan mereka melihat hal tersebut dari pertemuan kala itu. Kepala HRD menyampaikan, aku mengambil keputusan dalam keadaan emosional, sedih dan sebetulnya aku masih berat melepaskan pekerjaanku.

3 dari 3 halaman

Mendapat Win-Win Solution

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Akhirnya, kantor memberiku penawaran win win solution, aku tidak perlu resign, tetapi aku tetap bisa menemani proses perawatan dan pengobatan suamiku. Aku diberikan izin untuk cuti di luar tanggungan selama satu tahun. Masya Allah, aku tidak pernah berpikir ada alternatif ini, dan ternyata Allah memberi jalan demikian.

Akhirnya, aku ambil opsi cuti selama setahun di luar tanggungan, selama cuti perwakilan kantor masih sering bertanya tentang kabarku dan keluargaku, bertanya tentang proses pengobatan suamiku, bahkan atasanku kala itu membantu mencarikan alternatif pengobatan untuk suamiku dan menyambungkan dengan dokter yang bisa melakukan alternatif pengobatan tersebut.

Delapan bulan cuti di luar tanggungan kujalani, hingga takdir membawa suamiku menghadap Allah pada bulan November 2018. Dan sekarang April 2019, aku sudah kembali menjalani hari-hariku di kantor ini, tentu dengan situasi, peran, dan kondisi emosional yang berbeda. Namun satu hal yang tetap, kantorku (dan semua orang di dalamnya) adalah keluarga keduaku.