Fimela.com, Jakarta Punya pengalaman suka duka dalam perjalanan kariermu? Memiliki tips-tips atau kisah jatuh bangun demi mencapai kesuksesan dalam bidang pekerjaan yang dipilih? Baik sebagai pegawai atau pekerja lepas, kita pasti punya berbagai cerita tak terlupakan dalam usaha kita merintis dan membangun karier. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis April Fimela: Ceritakan Suka Duka Perjalanan Kariermu ini.
***
Oleh: Elita Sitorini - Jember
Dulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar, saya sangat menyukai drama serial The Adventure of Tintin, karya Herge. Setiap serial drama itu diputar, saya selalu menontonnya dengan tumakninah. Hal itulah yang mendasari awal mulanya saya jatuh cinta dengan dunia jurnalistik.
Saya pikir menjadi jurnalis sangat menantang dan penuh dengan kejutan. Hidup akan menjadi lebih dinamis dan atraktif. Apalagi saya sangat suka bicara dan bertemu dengan berbagai macam orang. Akhirnya saat lulus SMA saya memberanikan diri mendaftar di jurusan komunikasi sebuah universitas negeri ternama. Ya lebih ke nekat sih sebenarnya, karena passing grade jurusan itu sangat tinggi dan pasti pesaingnya sangat banyak dari seluruh Indonesia. Dan memang saya nggak bisa masuk ke sana. Sempat down sih, karena merasa cita-cita menjadi jurnalis lepas begitu saja.
Almarhum mama saya tak ingin saya down begitu saja. Beliau terus memotivasi dan membuat saya semangat kembali mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, kali ini saya memilih jurusan kesehatan masyarakat, setidaknya meski tidak menjadi jurnalis saya masih bisa berbagi dengan orang lain atau masyarakat. Ilmu di jurusan kesehatan masyarakat memang erat dengan pemberian edukasi dan informasi tentang kesehatan kepada masyarakat. Sangat cocok dengan saya yang memang ingin berhubungan dengan orang, menjalin komunikasi dengan orang.
Menjalani kuliah selama tepat 4 tahun akhirnya saya dinyatakan lulus dan diwisuda dengan nilai yang memuaskan. Lalu tibalah saat penuh ketidakpastian, ya namanya baru lulus ya, jadi mikirnya, mau kerja apa, dan pastinya ada galau-galaunya juga, bagaimana kalau nggak dapat kerjaan, dan sebagainya.
Untuk mengisi kekosongan itu, saya menambah skill dengan les komputer dan bahasa Inggris. Saat itulah, sekitar sebulan setelah saya wisuda, ada lowongan pekerjaan sebagai jurnalis di sebuah media lokal (anak media besar ). Lagi-lagi berbekal nekad tapi tetap diiringi usaha dan restu almarhum mama, saya melamar ke media tersebut. Dan wow ternyata ujiannya sangat berat. Apalagi saya saat itu belum memiliki kendaraan pribadi.
Suka Duka Membangun Karier
Zaman tahun 2000-an, sepeda motor masih barang mahal. Dan saya pun memakai angkot, padahal saya harus mewawancarai berbagai narasumber. Saat itu ada sepuluh orang yang dites, dan semuanya adalah alumni pers kampus. Betapa saya merasa minder dan nggak yakin kalau bisa lolos tes. Tapi lagi-lagi almarhum mama mengingatkan bahwa ini adalah pilihan saya, jadi saya harus kerjakan dengan penuh kesungguhan dan total.
Setelah perjuangan yang melelahkan hampir dua minggu, saya bersama dua orang pelamar dinyatakan lulus tes. Alhamdulillah bahagia banget saat itu. Rasanya mimpi yang sudah bertahun-tahun dikhayalkan jadi nyata dan ada digenggaman. Tapi itu bukan akhir dari segalanya. Justru awal segalanya.
Saya sama sekali nggak menyangka saya akan ditempatkan di kantor pusat. Sedangkan dua teman lain, di daerah atau kabupaten lain. Bagai anak ayam masuk ke kandang singa deh, rasanya saat itu. Saya jurnalis junior satu-satunya perempuan berada di tengah-tengah jurnalis laki-laki. Tahu sendiri, kan? Body shamming, diskriminatif, dan lebih parahnya itu juga dilakukan oleh jajaran bos. Aneh banget kan, ada karyawan baru yang sudah diterima dengan sah, lulus tes, tapi dianggap musuh. Bahkan saya nggak dapat job desc yang jelas. Dan itu meruntuhkan pandangan saya tentang sebuah dunia jurnalis. Padahal ini media yang bonafide lho, anak media besar yang udah dikenal dimana-mana.
Dan mereka nggak peduli saya perempuan, mau menstruasi atau sakit karena karyawan baru saya harus kerja full seminggu selama dua bulan dengan gaji hanya separuhnya. Belum lagi kalau salah sedikit, dengan dingin si bos mengeluarkan kata-kata yang menusuk. Ada satu kalimat yang sampai saat ini melekat di benak saya, “Posisimu ini sebenarnya milik orang lain, tapi karena dia belum lulus kuliah akhirnya kami terpaksa membuka lowongan kerja."
Saat itu saya hanya diam, tapi saya berjanji akan mengalahkan ujian-ujian ini. Tekad saya hanya satu, menunjukkan bahwa mereka tidak salah memilih saya sebagai karyawan. Lelah, capek, stress, kecewa campur aduk. Namun di saat itu, saya justru mendapat kawan-kawan sejati. Mereka adalah beberapa orang yang menerima saya di kantor dengan tangan terbuka dan hangat. Mereka mengajak saya hang out bareng, membesarkan hati dan semangat saya, membuat saya mulai merasa nyaman dengan kondisi kantor yang penuh tekanan dan drama.
Membuktikan Kemampuan
Untunglah masa-masa itu cepat berlalu, pelan tapi pasti saya mampu menunjukkan kinerja yang optimal. Sedikit demi sedikit penghargaan kepada saya, jurnalis perempuan satu-satunya saat itu, mereka tunjukkan. Rekan kerja mulai menerima dan mengapresiasi kinerja saya. Tanpa terasa saya bergabung dengan mereka selama lima tahun.
Sungguh pengalaman yang sangat berharga betapa dunia kerja masih memandang remeh para wanita. Khususnya yang didominasi pria. Butuh perjuangan keras bagi wanita untuk menunjukkan prestasi dan kemampuan. Belum lagi adanya candaan yang kadang mengarah ke body shamming dan bulliying. Namun, saya bersyukur berkat tempaan itu saya bisa menjadi seperti sekarang.
Saat ini saya sudah bekerja di tempat lain. Dan alhamdulillah di tempat baru saya merasa lebih nyaman dan pastinya berkat tempaan tersebut saya bisa menjadi karyawan yang tetap tenang dalam kondisi apapun.