Fimela.com, Jakarta Punya pengalaman suka duka dalam perjalanan kariermu? Memiliki tips-tips atau kisah jatuh bangun demi mencapai kesuksesan dalam bidang pekerjaan yang dipilih? Baik sebagai pegawai atau pekerja lepas, kita pasti punya berbagai cerita tak terlupakan dalam usaha kita merintis dan membangun karier. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis April Fimela: Ceritakan Suka Duka Perjalanan Kariermu ini.
***
Oleh: A - Lampung
"Kalau urusan ini tidak ada kemajuan juga, lebih baik saya pergi saja dari sini.”
Saya dengar kalimat itu terucap pada suatu siang yang mendung, di kala rehat kerja. Di lobi merangkap lounge yang sering dijadikan tempat para staf dan dosen muda berkumpul, kami duduk berdua membicarakan hal-hal yang mulanya ringan saja. Waktu itu, saya hampir dua tahun pekerja di Perguruan Tinggi swasta kecil tersebut, sementara dia baru beberapa bulan bergabung. Walau kami ditempatkan di divisi berbeda, tapi ruangan kami berada di lokal yang sama. Itu memberikan banyak kesempatan bertatap muka dan sesekali mengobrol ngalor-ngidul. Sehabis mengatakan itu, saya tatap matanya yang gelap dan jernih. Kami sama-sama terdiam. Hanya pikiran saya yang gesit bergerak ke masa sebelum laki-laki itu ada, lantas hari-hari bekerja setelah dia ada di sini.
Sulit menyangkal kalau segalanya biasa saja. Memang tidak ada yang istimewa dengan pekerjaan saya yang menangani urusan administrasi akademik. Saya punya atasan yang baik, suportif, dan ngemong. Detail-detail pekerjaan saya mengasikkan dan bebannya tidak terlalu berat. Di luar itu, situasi kantor saya kacau balau. Manajemen yang buruk, pegawai tidak punya kompetensi, dan staf yang tidak bertanggung jawab. Kombinasi kondisi-kondisi tersebut sering membuat saya penat dan kehilangan motivasi. Akan tetapi, saya menyemangati diri untuk tetap bekerja sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.
Kedatangan dia tidak menjadikan tempat kerja saya mengalami perubahan signifikan. Akan tetapi, bagi saya sendiri bekerja di kota kecil yang orang-orang saling mengenal, di institusi yang juga mengandalkan kekeluargaan, mendapatkan seseorang dari luar lingkungan perkenalan dan keluarga adalah sesuatu yang menyenangkan. Terlebih, dia juga pribadi yang menarik dan punya segudang pengalaman. Seperti itulah dia mengawali pertemanan kami: lewat kisah-kisah menyelami lautan, memanjat tebing-tebing, mendaki gunung-gunung, menyusuri jeram dan liang bumi. Sejak itu, saya meyakini dia berbeda dengan orang-orang yang ada di sekitar kami.
Setelah kalimat itu terucap, saya menyadari selama ini punya ketertarikan kepada sosoknya. Ia memang bukan yang paling memukau di antara pegawai di sini, tapi semua mengakui kalau dia cerdas dan pekerja keras. Itu juga sedikit dari banyak hal yang membuat saya jatuh kagum. Dan jujur saja, dia seperti karakter yang selama ini saya cari dalam hidup saya. Kalau memang begitu, saya membayangkan betapa menyesalnya saya nanti kalau membiarkan dia lepas begitu saja, tanpa sedikit saja ada jejak saya dalam hidupnya. Dari situ, akhirnya saya memutuskan untuk mengejar dia tanpa pernah saya tahu kalau pilihan itu akan membawa dampak besar terhadap karier saya di sini.
What's On Fimela
powered by
Hari-Hari Kerja Terasa Berbeda
Sejak keputusan besar itu, hari-hari kerja saya menjadi lebih berwarna. Kedatangan saya ke kantor bukan sekadar menyelesaikan tugas dan pekerjaan saja. Saya memiliki misi yang harus dituntaskan. Selama ini, saya mengenal dia sebagai pribadi yang supel dan gampang bergaul, tapi di balik semua itu, saya merasa dia seseorang yang tidak mudah terhubung dekat dengan orang lain dan menyimpan banyak rahasia. Oleh karena itu, saya memutar otak untuk mencari jalan terbaik agar bisa dianggap lebih dari sekadar rekan kerja olehnya.
Satu hal dari kehidupan saya yang selalu coba saya sembunyikan selama bekerja di tempat tersebut adalah keahlian menulis. Demi dia, saya akhirnya membuka diri dan menunjukkan prestasi-prestasi saya selama ini. Dia terkesan. Kemudian, saya menawarkan kepada dia untuk menuliskan pengalaman-pengalaman dia yang banyak itu. Saya sudah siap menerima penolakan, tapi tanpa disangka dia malah menerima ide tersebut dengan tangan terbuka.
Saya menganggap itu sebuah tantangan. Sejak bekerja di sini, kegiatan menulis yang tadinya rutin menjadi jarang dilakukan. Saya harus memulai dan belajar lagi. Di sela-sela waktu bekerja, saya mengerjakan draf tulisan saya, kadang-kadang menyempatkan menemuinya untuk mendengarkan lebih banyak cerita-ceritanya. Pada saat yang sama, kami diberikan tanggung jawab untuk mengurus kegiatan bersama. Kami semakin banyak berinteraksi dan itu mengurangi jarak besar yang tadinya ada. Dia makin terbuka dan nyaman dengan keberadaan saya di dekatnya.
Namun bukan berarti hanya hal-hal baik yang ada, tumpahnya lebih banyak cerita dari dia, membuat saya tahu bahwa saya bukanlah seseorang yang dia cari, bukan seseorang yang dia inginkan. Sebuah kenyataan pahit. Saya butuh waktu untuk mencerna. Di hari-hari itu semangat kerja saya agak turun.
Kemudian, saya menyadari perasaan bukan sesuatu yang dapat dipaksakan. Jika dia tidak bisa mencintai saya, itu bukan akhir dunia, bukan juga bencana untuk pekerjaan saya. Justru saya merasa lega, tidak ada lagi yang memberati hati, tidak ada lagi harapan yang membuat saya melambung, tidak ada lagi niat-niat lain yang membuat saya bekerja karena ingin dia melihat dan mengakui betapa hebatnya saya. Saya juga berjanji ke diri sendiri untuk terus menulis buku yang saya tulis untuknya. Kalau pun saya tidak bisa menyentuh hatinya, setidaknya saya meninggalkan sesuatu yang bisa dia kenang dengan baik.
Hanya Bisa Menatap dalam Diam
Selama bekerja di sini, dia menjadi pengalaman paling mengesankan yang ada. Keberadaannya mengurai kejenuhan yang selama ini saya rasakan di tempat kerja. Dia mengajari saya banyak hal. Dia membukakan saya pintu ke dunia-dunia baru. Dia membuat saya lebih berani mengungkapkan siapa diri saya. Dia memberikan tantangan yang membuat saya merasa hidup lagi. Yang terpenting adalah, dia memotivasi saya menulis lagi.
Suatu hari, saya menyadari sesuatu saat bicara dan menatap matanya: dia tahu, dia pasti sudah tahu saya mencintainya. Namun tidak ada yang berubah. Suasana dan situasi kantor tetap sama. Hampir semua pegawainya masihlah bekerja sesuka hati dan tak memiliki visi. Sementara itu, saya berusaha mencari cara untuk dapat keluar dari sana, mencari sesuatu yang lebih baik dan cocok untuk saya. Dia menjadi salah satu semangat saya.
Sudah lima bulan berlalu dari dia mengucapkan kalimat itu. Dia masih di sini. Saya masih tetap bersemangat masuk ke kantor dan menatapnya diam-diam dari meja saya. Saya masih tetap melaksanakan tugas-tugas yang harus saya kerjakan berdua bersamanya dengan sepenuh hati. Saya masih setia mendengar cerita-ceritanya. Saya masih menulis draf buku untuknya setiap pagi, setiap malam. Kami saling mengucapkan selamat pagi. Kami beradu pandang dan saling tertawa. Kadangkala dia menanyakan sejauh mana kemajuan tulisan saya. Itu cukup bagi saya, saya tahu ia sedang menunggu.