Fimela.com, Jakarta Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan foto penyu berdarah karena tertusuk sedotan plastik, ikan hiu mati dengan ratusan kilogram pastik di perutnya, menjadi viral. Hal ini pun menyadarkan sebagian orang betapa “jahatnya” plastik.
Timbunan limbah plastik di laut tersebut membuktikan, kita sebagai penghuni bumi belum bisa mengelola sampah dengan baik. Ketua Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Ir. Sri Bebassari, M.Si pun mengatakan budaya membuang sampah di Indonesia masih memprihatinkan.
“Kita baru memiliki undang-undang pengelolaan sampah tahun 2008, bandingkan dengan Jepang yang sudah memilikinya sejak 100 tahun lalu, dan Singapura 40 tahun lalu,” jelas Sri. Undang-Undang No 18. tahun 2018, tentang Pengelolaan Sampah, menurut Sri, itupun belum cukup menyelesaikan persoalan sampah di Indonesia.
Dijelaskan Sri, setidaknya ada 5 aspek pengelolaan sampah yang harus dipenuhi, termasuk sampah plastik:
1. Aspek Hukum
Meskipun terlambat, Indonesia akhirnya memiliki Undang-Undang No 18. tahun 2018, tentang Pengelolaan Sampah
2. Aspek kelembagaan
Ini adalah langkah konkret pelaksanaan undang-undang pengelolaan sampah mulai dari kementerian hingga tingkat RT, yang sayangnya, belum berjalan baik.
3.Aspek pendanaan
Mengelola sampah tidak murah. Menurut Sri, ada biaya yang bisa dihitung berapa rupiah seharusnya APBN dan APBD menganggarkan dana untuk pengelolaan sampah, termasuk biaya yang harus dikeluarkan setiap rumah tangga. “Di Singapura, satu rumah tangga membayar 200 ribu setiap bulan, maka tidak heran sampah bisa dikelola dengan sangat baik,” jelas Sri yang sudah meneliti tentang pengelolaan sampah selama 39 tahun.
4. Aspek sosial budaya
Budaya bersih harus dimulai sejak dini. Kata Sri, “Membuat orang sadar bersih cukup 1 jam. Coba kirim orang Indonesia ke Singapura. Di sana mereka langsung patuh membuang sampah, tetapi begitu kembali ke Indonesia kebiasan membuang sampah sembarangan kembali lagi. Artinya, sistem yang harus didahulukan sebelum mengubah perilaku dan menjadikannya budaya.”
5. Aspek teknologi
Aspek teknologi ini bisa dibagi menjadi teknologi pengelolaan sampah jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki tempat pengolahan sampah modern seperti di negara maju lainnya. Insenerataor (pengelolaah sampah untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang akan dikembangkan di TPA Bantar Gebang, menurut Erny, masih jauh dari kapasitas yang dibutuhkan. Maka aspek teknologi ini harus dikembangkan mulai hulu hingga hilir. Caranya memperbanyak TPSA (tempat pembuangan sampah sementara) yang dikelola secara modern.
What's On Fimela
powered by
Lantas, Haruskan Plastik Diganti?
Permasalahan sampah plastik yang kompleks, membuat akhirnya muncul kampanye untuk mulai mengurangi penggunaan plastik. Mungkinkah?
“Apakah kita harus mundur lagi ke belakang dengan kembali menggunakan logam, kayu, atau kertas? Ingat, kertas juga tidak ramah lingkungan karena sama saja menebang banyak pohon. Yang harus kita lakukan adalah bijak menggunakan plastik dengan menerapkan apa yang sudah kita hapalkan bersama, yaitu reduce, reuse dan recycle,” jelas Kepala Balai Teknologi Polimer BPPT, Ir. F. M Erny S. Soekotjo M.Sc.
Keunggulan plastik bagaimanapun sulit tergantikan, setidaknya sampai ada material yang bisa menggantikannya. Memang ada beberapa peneliti muda tanah air yang mencoba menemukan alternatif pengganti plastik. Sayangnya, menurut Erny, produk-produk alternatif pengganti plastik belum diserap industri dalam skala besar.
“Sebagian bahkan menimbulkan isu baru yaitu mikroplastik, yaitu komponen plastik yang mudah terurai dan mencemari tanah,” jelasnya. Kevin Kumala, pendiri Avani Eco, salah satu produsen plastik biodegradable, sependapat. Menurutnya, produk pengganti plastik tidak akan menyelesaikan masalah. Selain pasar terbatas, harga plastik biodegradable ini jauh lebih mahal dari plastik pada umumnya.
“Makanya diperlukan kolaborasi massal untuk menyelesaikan masalah plastik ini. Kami hanya berusaha mencari solusi yaitu menambahkan slogan reduce, reuse, dan recycle dengan replace. Replace akan menjadi amunisi baru untuk dapat menyelesaikan limbah plastik,” jelas Kevin. Menurut Kevin, sekecil apapun upaya yang dilakukan, bisa memberikan kontribusi dan diharapkan akan menjadi suatu gerakan besar. “Small action does create big impact. Kita bisa meminimalisir limbah plastik mulai dengan refuse.
Contoh, jika kita pergi ke kafe, kita bisa memulai gerakan diet plastik dengan mengatakan no untuk sedotan plastik. Jika ini terus diterapkan, saya yakin akan memiliki dampak besar. Dari situ kita berharap dapat mengurangi penggunaan plastik sehari-hari dan membantu negara menjadi lebih bersih dan hijau.”