Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya kekuatan untuk mengatasi setiap hambatan dan tantangan yang ada. Bahkan dalam setiap pilihan yang dibuat, perempuan bisa menjadi sosok yang istimewa. Perempuan memiliki hak menyuarakan keberaniannya memperjuangkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti tulisan dari Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Voice Matters: Setiap Perempuan adalah Agen Perubahan ini.
***
Oleh: Tri Wijayanti - Malang
Indahnya Berbagi Asa dan Karya dengan Keluarga Kecil di Jantung Kota Malang
“Menurut saya, kita bisa memilih dengan siapa kita berkeluarga. Karena keluarga tidak terbatas hanya pada ikatan darah."
Nama saya Tri Wijayanti, lahir pada Oktober 51 tahun yang lalu. Lahir di jantung kota Malang, kota dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, yang membersamai saya tumbuh dan menyaksikan peristiwa-peristiwa pertumbuhan yang lainnya. Saya adalah seorang istri dari suami yang memiliki visi sosial yang sama dan hal itu membawa saya pada keberanian mengambil keputusan dalam setiap langkah perjalanan yang kami yakini benar.
Saya juga seorang ibu dari dua orang anak lelaki yang memiliki pemahaman atas apa yang saya dan suami lakukan. Dua anak yang alhamdulillah mendukung saya dengan cara mereka. Saya adalah anak dari orang tua yang mewariskan kepedulian berupa rumah untuk membantu orang yang membutuhkan. Rasa syukur atas semua yang telah diberikan-Nya pada saya membawa saya pada perjalanan panjang membersamai orang-orang dan anak-anak yang termarjinalkan. Karena melalui merekalah, saya dapat memaknai hidup dari sudut pandang yang luas, kaya, dan berwarna.
Sedari SMEA saya merasakan menyukai hal-hal yang berhubungan dengan orang, dengan kehidupan sosial, jalanan, termarjinalkan. Saya merasa memiliki kepekaan yang lebih kuat pada kondisi tempat tinggal saya, memiliki empati pada yang tinggal di di dalamnya dan tergerak untuk melakukan hal-hal yang membuat mereka berubah, berdaya. Setiap hari sepulang sekolah, ketika saya melewati panti pijat tuna netra, saya terarik untuk masuk ke dalam, kemudian mengenal dan tenggelam dalam percakapan-percakapan mereka yang suatu hari membawa saya pada tahap yang lebih jauh lagi, menjadi pendamping mereka (pada tahun 2010) di PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) cabang Malang sampai usia saya yang sekarang.
What's On Fimela
powered by
Tahun 2005 ketika saya mengantarkan makan siang untuk suami yang bekerja sebagai petugas kebersihan di alun-alun Kota Malang, saya melihat beberapa orang mahasiswa membawa buku untuk anak-anak jalanan disekitar alun-alun. Pada waktu itu kondisi alun-alun masih sangat kumuh, banyak sampah berserakan, banyak pedagang asongan, tukang becak dan bahkan pekerja malam (dalam hal ini adalah tuna susila) yang tidak tertib. Kondisi ini yang tumbuh bersama anak-anak mereka dan diwariskan sejak dini, sehingga anak-anak kecil tersebut sudah harus bekerja dan membayar setoran pada orang tertentu bahkan orang tuanya sendiri. Mereka inilah yang kemudian menjadi sasaran dari buku bacaan yang dibawa oleh mahasiswa yang saya temui.
Pada saat itu mereka kesulitan membawa buku dari tempat mereka yang cukup jauh menuju alun-alun setiap hari Selasa dan Jumat (kondisi di mana alun-alun tidak ramai pengunjung sehingga anak-anak jalanan dapat mengikuti kegiatan mahasiswa), saya memberanikan diri bertanya dan membantu mereka menyimpan bukunya di rumah agar lebih dekat. Sejak saat itu saya ikut dalam kegiatan yang mereka lakukan untuk anak jalanan di daerah alun-alun, mulai dari menyediakan buku bacaan hingga melakukan pembinaan. Anak-anak pun merasa senang karena mereka dapat memanfaatkan waktu luang mereka ketika menunggu pelanggan.
Pada Desember 2006 terbentuklah Rumah Cahaya, yang merupakan cikal bakal terbentuknya Lembaga Pemberdayaan Anak Negri Griya Baca (LPAN GB). Sebelum menjadi Lembaga Pemberdayaan Anak Negeri, namanya adalah Lembaga Pemberdayaan Anak Jalanan. Saya berperan sebagai Dewan Pembina, di mana ketua dan pengurusnya adalah para mahasiswa. Kami melakukan pendampingan belajar di alun-alun, di tempat yang terbuka.
Pada 2007 ketika kami mengikuti lomba festival musik untuk anak jalanan, sangat sulit mengajak anak-anak untuk latihan, karena mereka harus bekerja. Jika mengajak mereka latihan harus menganti uang kompensasi, pada saat itu saya kira tidak memungkinkan mengganti waktu latihan anak-anak dengan uang, jumlahnya terlalu besar. Hingga tibalah waktu lomba di hari Minggu, hari di mana akan lebih sulit mengajak anak-anak keluar, karena hari tersebut ramai pengunjung dan pendapatan tinggi.
Sehingga dengan segala konsekuensi, mereka pergi dan harus kembali ke alun-alun sebelum jam 12 siang. Namun pengumumannya terlambat hingga jam 12 lebih, anak-anak mulai gelisah dan takut, ingin segera kembali, saya berusaha menenangkan mereka. Ketika diumumkan, mereka hampir mendapatkan seluruh juara di hampir semua lomba yang diikuti.
Kami kembali ke alun-alun pada pukul 13.00 dalam keadaan orang tua mereka semua melingkar di alun-alun dan siap untuk marah. Saat mereka marah, saya memberikan piala dan uang pembinaan yang seharusnya untuk Lembaga, dan menjelaskan pada mereka bahwa anak-anak mereka memiliki kemampuan, jika bakat minatnya diasah, insyaallah akan memberikan hasil dan dampak.
Selanjutnya piala itu bergilir dari rumah satu ke rumah lainnya. Dan sejak kejadian itu, para orang tua sangat percaya jika anak-anaknya mengikuti pembinaan. Hal itu adalah momen berharga bagi saya, di mana orang tua sudah percaya dan ikut mendukung pendidikan anaknya, ketika orang tua tidak lagi mempermasalahkan mengenai uang kompensasi saat anaknya dibawa pada hari Minggu. Saya juga belajar bahwa mungkin memang orang tua mereka sebenarnya peduli, hanya saja desakan ekonomi jadi motif kuat, mereka hanya butuh dibantu untuk sadar bahwa anak mereka dapat menjadi lebih dari apa yang selama ini dipikirkan.
Pada tahun yang sama, LPAN GB mulai mengadakan program Ayo Sekolah, yang mengajak anak jalanan untuk sekolah dari jenjang sekolah dasar hingga menengah. Sore harinya anak-anak diasah bakat dan minatnya. Sehingga tidak ada waktu untuk turun lagi ke jalan.
Suatu hari datang anak-anak dari daerah Jagalan, Sukun, dan Muharto yang ingin bergabung dan pada saat itu tidak memungkinkan membatasi keinginan belajar mereka yang rela datang dengan berjalan kaki dan ribut dengan sopir angkot karena uang yang dibayarkan kurang, hanya demi mengikuti pembinaan. Para pengurus memutuskan untuk membina mereka dengan membuka cabang.
Saya kurang setuju karena keputusan ini tanpa mempertimbangkan jumlah relawan yang tidak tetap dan keberlanjutannya, karena pada masanya para mahasiswa pendatang harus kembali pada daerah asal. Pendampingan di cabang hanya dapat bertahan beberapa bulan saja, karena anak-anak apalagi terkhusus anak jalanan, memiliki keunikan sendiri dalam belajar, dalam melakukan pembinaan tidak semudah meminta mereka mencuci piring setelah makan. Pada anak yang unik, kita harus memiliki cara pendampigan yang unik juga ditambah kesabaran dan istiqomah.
Beberapa kendala dialami, setelah mendapat dana hibah pada 2010, para pengurus menyewa sebuah rumah selama masa 2 tahun dan diberi nama Rumah Singgah. Saya memiliki prinsip tidak menyukai pembinaan dalam ruangan tertutup, sehingga saya jarang datang mengunjungi Rumah Singgah, datang hanya ketika rapat. Rumah Singgah, digunakan hanya untuk singgah, pengawasan saya yang minim membuat Rumah Singgah mulai tidak terkontrol.
Saya justru mendapat laporan dari warga setempat Rumah Singgah yang tidak digunakan sebagaimana fungsinya untuk belajar, namun digunakan sebagai tempat bermain yang urakan dan tanpa aturan. Setelah saya meminta agar Rumah Singgah ditutup. Pada waktu yang sama, masa kontrak rumah habis dan ketua harus kembali ke tempat asal karena sudah lulus, sehingga pembinaan di daerah tersebut terpaksa dihentikan. Pada saat mengalami kekosongan posisi ketua, tidak ada yang mau menggantikan, dan saya harus mengambil peran, turun jabatan dari Dewan Pembina menjadi ketua.
Pada saat yang sama, saya mendapat tawaran dari sebuah Lembaga Sosial untuk membuat lembaga baru dan disediakan dana. Namun, dengan tegas saya masih bersikukuh memilih membangun lagi GB, meskipun banyak olokan dari orang-orang bahwa GB sudah tutup, tidak ada pengurusnya lagi dan lain sebagainya. Saya merasa ikut tumbuh bersama dengan GB tidak mau membuatnya hilang sia-sia, karena ini bukan tentang saya, ini tentang anak-anak.
Dengan uang seadanya yang jika dinalar tidak akan cukup mengurus hal-hal administratif kelembagaan, atas kuasa Allah dicukupkan. Pada 2013 dengan keputusan bersama pengurus yang tersisa, saya merubah nama LPAJ menjadi LPAN, dengan merubah kata anak ‘Jalanan’ menjadi anak ‘Negeri’. Karena tujuan dari Griya Baca adalah memberdayakan anak jalanan jangan sampai turun lagi ke jalan atau mengikuti jejak orang tua mereka. Tahun tersebut adalah anugrah bagi saya karena dapat mempertahankan GB, mendapat pembelajaran agar tetap istiqomah dalam melakukan hal yang diyakini benar, hasil nyatanya adalah pada tahun 2017 LPAN Griya Baca Mendapatkan AKREDITASI “B” Dari Kementrian Pusat Jakarta.
Selanjutnya setelah masa-masa yang tidak sesederhana apa yang terlihat, ada kemudahan yang diberikan, kepedulian datang, dari para donator tak terikat yang memberikan bukan hanya materi, melainkan waktu, tenaga dan pengetahuannya untuk anak-anak LPAN GB. Instansi yang memberikan penghargaan, dan lembaga pemerintahan yang mulai peduli dan melihat bahwa fenomena anak jalanan tidak akan selesai hanya dengan pembuatan program dari pusat, melainkan dilakukan pendekatan dan temukan akar masalah dari dalam sistem terdekat mereka.
Pada akhirnya, ini bukanlah cerita mengenai saya, ataupun siapapun yang melakukan kebaikan. Melainkan ini tentang apa yang dapat kita sebagai individu, lembaga, atau bahkan instansi yang bersangkutan lakukan untuk memberdayakan siapapun tidak terbatas pada masyarakat termarjinalkan, tidak terbatas pada kewajiban.
“Saya memilih keluarga saya sendiri, menjadi ibu dari anak-anak yang tidak saya lahirkan, tapi sangat menyayangi mereka dan bahagia saat mereka mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri. Terima kasih atas makna hidup yang diberikan hingga usia setengah abad ini."