Untuk Menaklukkan Krisis Percaya Diri Memang Butuh Proses

Endah Wijayanti diperbarui 01 Apr 2019, 15:23 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan punya kekuatan untuk mengatasi setiap hambatan dan tantangan yang ada. Bahkan dalam setiap pilihan yang dibuat, perempuan bisa menjadi sosok yang istimewa. Perempuan memiliki hak menyuarakan keberaniannya memperjuangkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain. Seperti tulisan dari Sahabat Fimela yang disertakan dalam Lomba My Voice Matters: Setiap Perempuan adalah Agen Perubahan ini.

***

Oleh: Novita Prima - Surabaya

Peran pendidikan memang sangat penting dalam kehidupan manusia, namun jangan lupa ada hal lain yang tak kalah penting sebagai faktor pendukungnya, salah satunya adalah kepercayaan diri dan kemampuan seseorang untuk mengenali diri sendiri. Saat ini, seringkali kita temui seseorang yang secara akademik sangat mumpuni, namun tidak mempunyai kepercayaan diri yang baik pula. Hal tersebut bisa saja berdampak buruk pada perkembangan manusia sebagai individu, mereka akan kesulitan untuk mengaktualisasikan diri di lingkungan sosialnya.

Ilmu akademik secara mudah dapat kita dapatkan melalui pembelajaran di sekolah, sedangkan ilmu untuk mengenali diri sendiri dan meningkatkan kepeercayaan diri hanya dapat kita raih bila manusia sebagai individu memang berniat dan mau untuk berubah ke arah sana. Lingkungan dan orang-orang di sekitar kita hanyalah fasilitator untuk perubahan tersebut. Sebelum tiba di titik ini, saya pun pernah mengalami fase kurang percaya diri atau lebih sering disebut “Krisis PD”.

Melalui masa sekolah dasar di lingkungan sosial yang berbeda gap dengan keseharian saya di rumah sukses membuat tingkat percaya diri yang saya miliki jauh terdegradasi sampai ke urutan terbawah. Hal ini begitu saya rasakan terutama pada saat masa transisi dari usia sekolah dasar ke sekolah menengah pertama, atau sebut saja periode tersebut adalah peralihan masa kanak-kanak menuju ke pubertas. Saya tidak pernah menceritakan perkara kurang percaya diri ini kepada siapapun, tak terkecuali pada ibu. Bukan karena saya merupakan pribadi yang tertutup, hanya saja saya tidak tahu bagaimana cara mengomunikasikannya dan tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan mengenai ini.

Tersiksa kah saya pada saat itu? Ya, tentu saja!

Krisis percaya diri benar-benar menyiksa diri saya, karena rasa percaya diri yang rendah memunculkan perasaan terkucil dan tidak dipandang dalam lingkungan sosial. Hal ini benar-benar berpengaruh buruk untuk proses pengembangan diri saya. Ingin begini, ingin begitu terjebak malu. Mau ini, mau itu terkungkung rasa takut untuk maju. Pada titik itu, saya menjadi lebih banyak diam dan lebih sering mengamati lingkungan di sekitar saya, memperhatikan detail tingkah laku teman-teman saya, membandingkan polah teman satu dengan teman lainnya, dan memperbanyak bacaan artikel saya. Hal tersebut saya lakukan semata-mata karena ingin meningkatkan rasa percaya diri saya. Pengamatan saya pada lingkungan dan orang sekitar bertujuan untuk memahami karakteristik mereka, jadi saya tahu betul bagaimana harus membawa diri.

Artikel-artikel dari majalah remaja pun menemani saya melewati masa krisis percaya diri, pada masa itu bacaan yang terjangkau oleh saya adalah dengan membeli majalah-majalah remaja atau buku-buku cerita lainnya yang saya dapatkan di loakan atau di kios penjual buku dan majalah bekas, tak jarang juga saya mendapatkannya cuma-cuma alias gratis jika ada tetangga yang membuang koleksi mereka.

Saya bersyukur telah dibekali kecintaan untuk membaca, dari artikel-artikel yang saya baca dan kebiasaan mengamati perilaku orang-orang di sekitar saya, saya mencoba untuk mengenal diri saya lebih dalam. Saya sadar setiap orang dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, setiap orang punya potensi diri untuk digali.

 

 

What's On Fimela
Ilustrasi./Copyright unsplash.com

Saat itu saya belum tahu betul apa talenta yang saya punya, yang saya tahu sebagai seorang pelajar saya harus belajar dengan sebaik-baiknya dan berprestasi secara akademik. Saya berusaha sebaik mungkin untuk menjadi baik, lebih baik, hingga menjadi yang terbaik dalam akademik. Seringkali saya sisihkan waktu untuk diri saya sendiri, bertanya pada diri saya apa yang saya cari, apa yang saya ingini, dan berkata pada diri saya bahwa saya mampu seperti mereka yang lainnya bahkan bisa melebihinya jika saya mau, bukan mereka yang akan mengubah saya, saya sendirilah yang berhak memutuskan untuk berubah.

Waktu berhasil menjawab semuanya, perjuangan saya untuk melewati masa krisis percaya diri berbuah manis. Masa sekolah menengah pertama dan kejuruan saya lewati dengan baik, tidak ada masalah dengan prestasi akademik dan interaksi sosial pun berjalan dengan sama baiknya. Masalah perundungan tidak pernah saya alami, juga perihal gaping di antara teman tidak lagi saya ambil hati. Saya pun banyak mengikuti kegiatan yang bervariasi tanpa merasa rendah diri. Dari mengikuti kursus bahasa hingga belajar berorganisasi sudah saya lakoni, tentu saja dengan rasa percaya diri dan keinginan untuk terus berkembang lagi.

Berbekal pengalaman melewati masa krisis percaya diri tersebut, saya pun lebih mudah untuk memotivasi dan membantu murid-murid saya yang terkendala hal yang sama. Sebelum saya mengajar di lembaga formal (sekolah), saya berkesempatan mengajar dan mengembangkan diri saya di lembaga informal (kursus), di lembaga kursus bahasa ini saya bertemu murid-murid dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tidak hanya dari hal profesi saja yang membedakannya, namun juga usia, tingkat pendidikan, serta lingkungan sosial mereka. Wajar saja bila saya bertemu murid-murid yang aneka rupa latar belakangnya, sebab di lembaga kursus bahasa tempat saya mengajar menerima murid dari kalangan pelajar, mahasiswa, hingga pekerja, bahkan ibu rumah tangga pun bila ia mau mendaftar dan tak enggan untuk belajar kesempatan itu terbuka lebar.

Suatu ketika saya pernah mengajar kelas dewasa yang isinya adalah mahasiswa tingkat ketiga. Murid saya ini mengambil kursus bahasa Inggris karena orang tua yang menyarankannya, agar ketika ia lulus kuliah nanti, tidak hanya ijazah yang ia kantongi, namun juga keterampilan berbahasa asing pun sudah dikuasai. Awal mengikuti kelas, murid saya ini selalu geragapan ketika berbicara, selain itu juga tidak ada kontak mata dengan lawan bicara, seringkali ia menundukkan kepala, kemudian sesekali mengangkatnya dan menatap pada lawan bicara. Bicara yang geragapan sungguh bukan karena kekurangan kosakata, karena bahkan saat berbicara bahasa Indonesia pun ia masih geragapan juga. Sungguh hal ini menyulitkan bagi kami. Saya sebagai pengajar tentu saja ingin mengembangkan kemampuan dirinya, khususnya dalam kelas bahasa yang diambilnya dan sebagai murid tentunya ia ingin berinteraksi tanpa geragapan, tanpa tekanan, dan tanpa ketakutan.

Pada suatu kelas diskusi, murid saya menuturkan bahwa ia mengalami kesulitan berinteraksi di depan umum dan dengan orang-orang baru karena ia tak cukup percaya diri serta tidak yakin dengan potensi yang ia miliki. Ini bukan pekerjaan mudah, tapi dibilang susah juga tidak. Semua ini relatif, bila ia dengan kesadaran dirinya ingin berubah dan mengupayakannya, tentu saja akan mudah bagi saya untuk membantunya, sebab di sini porsi saya hanya sebagai fasilitator saja. Jika ia tidak menginginkan perubahan tersebut, sukar sekali bagi saya untuk membantunya. Sekuat apapun saya berusaha, jika dalam dirinya tidak menginginkan perubahan tersebut, maka semua akan sia-sia.

 

Ilustrasi./(Foto: Unsplash)

Pada kesempatan diskusi lainnya, saya berbagi pengalaman masa krisis percaya diri yang pernah saya alami. Saya tidak pernah mendikte mereka untuk melakukan hal yang persis dengan saya, saya hanya menekankan agar mereka menyisihkan waktu dan bertanya pada diri sendiri hal apa yang diri mereka ingikan, apakah hidup stagnan atau adanya perubahan lebih baik untuk masa depan?

Kerap kali dihadapkan dengan kondisi murid yang demikian, tidak mengikis semangat saya untuk menularkan energi yang sama, agar mereka tertantang untuk menggali potensi diri dan meningkatkan kepercayaan dirinya, dengan begitu selain dapat berinteraksi dan menempatkan diri di lingkungan sosial dengan baik, mereka juga akan mencintai dirinya dengan lebih baik lagi.

Di penghujung kelas kursus bahasa, seorang murid saya berkata, “Ms, saya merasa bahwa di sini tidak sedang belajar bahasa saja, banyak hal lain yang saya pelajari di sini, khususnya dalam pengembangan diri. Dulu pertama masuk sini, saya kan masih malu-malu gitu ya, Ms! Mungkin sampai Ms. Novi bingung harus bagaimana, tapi sekarang kok saya jadi PD aja ya, mau ngobrol di depan umum ok saja, ngobrol dengan orang baru pun tidak geragapan juga. Makasih loh, Ms untuk semuanya.”Mendengar hal yang seperti itu, senangnya melebihi menang lotre saja. Tak ada materi yang mampu menandingi.

Benar adanya bahwa ilmu dan pengalaman tidak akan pernah habis dibagi, yang ada adalah hal tersebut semakin hari malah bertambah lagi dan lagi. Sama halnya dengan kepercayaan diri yang akan terus menular energinya begitu kita mampu meraihnya.

Be confident, Ladies! Confidence is contagious. Catch it. Spread it.