Fimela.com, Jakarta Pernahkan sahabat Fimela melontarkan penyataan seperti, “Duh gaptek nih, kamu kan laki-laki, pasti lebih paham.” Sebuah potongan percakapan mengandung stereotipe yang sering kita dengar dari para perempuan.
Perempuan menganggap gaptek (gagap teknologi) adalah hal yang bisa dimaklumi walaupun sebenarnya mereka sama sekali tidak gaptek. Menggunakan smartphone dan menghabiskan waktu yang cukup lama dalam satu hari sudah membuktikan bahwa penggunanya sama sekali tidak gaptek.
Apakah memang tidak ada laki-laki yangtidak fasih dengan teknologi? Tentu saja ada, hanya saja dengan stereotipe yang sama membuat para laki-laki menahan diri untuk tidak mengutarakannya. Tidak hanya soal gaptek penggunaan benda teknologinya, tetapi juga soal game, media sosial, atau pun hal lainnya pada industri teknologi dan digital.
“Perempuan kok main game?” Tidak jarang pasti mendengar pertanyaan seperti ini. Padahal yang namanya bermain tidak ada ketentuan gender dalam aturan penggunaannya.
Hal ini kemudian terbawa ketika menjadi orang tua dan ada pembicaraan mengenai game dengan anak. Si ibu sering sekali bilang, “Duh, ibu nggak ngerti,” atau “Sana, kamu ngomong sama ayah!” Pintu komunikasi antara Ibu dan anakmenjadi tertutup, padahal isi pembicaraan bisa saja dialihkan menjadi soal kegiatan bermainnya, bukansoal teknis game-nya.
Akhirnya hilang lah kesempatan ibu untuk ngobrol dengan anak dan anak menganggap si ibu tidak dapat menjadi lawan bicara yang tepat. Kalau sudah begini apakah orangtua atau seorang ibu perlu memahami semua spesifikasi smartphone, main semua game, dan fasih semua jenis media sosial? Kok tampaknya berat sekali ya? Karena sesungguhnya, bukan seperti itu yang sebaiknya berjalan.
Identifikasi Gender di Industri Digital
Dalam siaran pers Think.Web, menjelaskan salah satu permasalahan terbesar adalah dunia digital lebih sering diidentikkan dengan laki-laki, yang kemudian semakin menjauhkan kesetaraan perempuan dalam dunia digital. Apabila seorang perempuan mempunyai peran besar dalam sebuah keluarga yang sama besarnya dengan peran besar laki-laki, maka sebenarnya perempuan juga bisa punya peran yang sama dengan para laki-laki di dalam industri digital.
Apalagi dengan minimnya talenta pada industri digital di Indonesia, dengan identifikasi gender yang ada, maka akan semakin memperluas lubang pada industri digital Indonesia. Potensi ekonomi digital yang digadang-gadang pemerintah menjadi rapuh dan kalah bersaing dengan negara lainnya, seperti India.
Pembatasan akibat identifikasi gender juga dapat membawa dampak negatif untuk respon inovasi yangbisa banyak dipengaruhi oleh perempuan melalui perannya di dalam masyarakat. Namun kembali lagi,apabila perempuan sendiri yang memberikan batas pemakluman akan kegagapan teknologi, maka bukan salah masyarakat apabila kesetaraan berkarya dalam industri digital tidak maksimal di Indonesia.
Profesi Digital untuk Perempuan
Cita-cita anak sekarang yang ingin menjadi YouTuber, kreator konten, gamer profesional, atau hal lainnyadi dalam industri digital untuk anak laki-laki, apalagi perempuan, seharusnya semakin terbuka dan menjadi topik yang menarik didiskusikan bersama ayah dan ibunya.
Namun apabila komunikasi tidak terbuka hanya karena alasan gaptek atau menjadi skeptis karena industrinya dirasa berbahaya untuk perempuan, maka tidak ada dorongan dari orang tua untuk anaknya, terutama anak perempuannya, untukbekerja di industri digital di kemudian hari.
Apabila hal-hal di atas tidak ada jalan keluarnya, secara matematika, jumlah talenta digital hanya akan terbatas pada laki-laki saja dan keberlangsungan industri digital tidak punya masa depan yang baik, sehingga keberadaan ekonomi digital menjadi semu. Hal-hal ini lah yang membuat bahwa keberadaan perempuan pada ekonomi digital adalah kunci.