Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: Heny Purwaningsih - Jakarta
Saya anak perempuan satu-satunya di keluarga dari dua bersaudara. Sejak lulus SMK saya sudah jauh dari orangtua. Mulai dari kuliah sampai kerja pengawasan orangtua terbatas. Saya kuliah di Bandung 5 tahun, sedangkan orangtua saya di Sleman, Yogyakarta. Tiga tahun saya numpang di tempat pakdhe budhe saya di Rancaekek, Bandung dan dua tahun terakhir saya ngekost di kota Bandung karena kuliah sambil kerja. Saat bersama saudara saya merasa tenang karena masih dalam pengawasan budhe pakdhe saya. Namun, setelah tinggal sendiri di kost perasaan orangtua terumata ibu sepertinya was-was.
Seminggu dua kali seperti diagendakan harus menelepon orangtua. Setiap telepon pasti tak lepas dari dua hal, yang pertama jangan lupa shalat dan yang kedua jaga diri baik-baik. Sesulit apapun hidup, kesucian itu harus dijaga. Perempuan itu seperti kaca, sekalinya pecah tak bisa kembali seperti semula meskipun sudah disambung. Orangtua terutama ibu saya lebih protektif kepada saya daripada kepada adik saya yang laki-laki. Meskipun orangtua saya menyadari bahwa anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama susah.
Orangtua sadar pergaulan di zaman sekarang tak seperti pergaulan zaman dahulu. Berita tentang dampak pergaulan bebas ada di mana-mana apalagi pas zaman itu lagi booming kasus penculikan dan pemerkosaan yang berkenalan melalui aplikasi Facebook. Hal itu semakin membuat was-was orangtua saya terutama ibu saya. Karena selalu diberi pesan harus jaga diri, saya berhati-hati dengan penggunaan media sosial.
Tak disangkal ada saja orang yang mungkin berniat jahat dengan modus rayuan melalui media sosial. Selain bermedia sosial tahun 2011-2013 saya aktif di salah satu forum yaitu indowebster. Dis ana saya mengenal banyak orang. Tapi tak semua orang di dunia maya itu tidak baik, karena sampai saat ini saya masih berteman baik dengan teman dunia maya saya.
Setelah diterima kerja di Jakarta saya mulai mengurangi aktivitas saya di dunia maya bahkan tahun 2015 saya udah berhenti total dari dunia forum. Saya mulai menjalani aktivitas normal seperti yang lainnya. Saat saya menyadari usia saya udah 27 tahun sayapun kebingungan dengan pertanyaan pertanyaan yang mulai membuat saya terganggu. Yap, kapan nikah? Jujur saja saya pacaran baru sekali waktu itu, saya takut menjalin hubungan “pacaran”. Karena pesan dari orangtua saya yang harus jaga diri sebagai wanita jangan pacaran dulu, selesaikan kuliahnya. Kalau bisa sama orang yang langsung ajak nikah bukan pacaran.
Saat itu ada laki-laki yang dekat dengan saya, saya kenal dia dari 2013 sampai 2016, dia seperti selalu ada buat saya. Dia selalu membantu saya saat saya kesusahan, wajar sebagai wanita akan merasa nyaman. Bagi saya, perlakuannya seperti lebih dari batasan teman, mungkin saya cuma ge-er saja. Namun status tak kunjung berubah, hanya sebagai teman. Sampai akhirnya saya mulai pasrah dengan hubungan kami yang tidak jelas. Di saat saya pasrah, saya curhat ke ibu saya, ibu saya yang menguatkan saya kembali kalau pasti ada jodoh terbaik buat saya.
Saat pulang kampung tahun 2016, ibu saya bercerita tentang adanya pertanyaan dari saudara tentang kapan saya menikah. Kemudian ibu saya menasihati kembali agar saya jangan salah pilih orang. Cari yang benar-benar sayang yang bisa menerima kekurangan. Dan yang paling penting jaga kehormatanmu, kembali ibu saya berkata kalau perempuan itu seperti kaca kalau pecah ya tak bisa disambung lagi.
Saat kita menikah kita tak cuma menikah dengan suami, tetapi juga harus membaur dengan keluarga suami. Tak semua mertua bisa menerima kekurangan calon menantunya. Jangan sampai keluarga calon suami menjadi malu dengan kelakuan menantunya di masa lalu. Nasihat ini selalu saya pegang, setiap dekat dengan lawan jenis saya tanyakan tujuannya apa, menikah atau sekadar pacaran saja.
Sampai pada akhirnya di akhir tahun 2016 saya tiba-tiba diajak menikah dengan teman kerja saya. Jujur saya bingung, saya harus jawab apa karena saya sama sekali tidak menyangka dengan tegas dia mengajak saya menikah. Saya seperti diberi jawaban atas doa-doa saya dan harapan ibu saya. Sebelum saya menjawabnya saya ceritakan dulu kekurangan saya seperti pesan ibu saya carilah pasangan yang bisa menerima kekurangan. Alhamdulillah sekali semua dilancarkan dan kami pun menikah dan saya mendapatkan mertua yang menyayangi saya serta menerima kekurangan saya.
Saya senang karena bisa menjaga amanah ibu untuk menjaga kehormatan saya sebagai wanita. Dan semakin menyadarkan saya betapa wanita itu harus menghargai dan mencintai dirinya sendiri. Karena wanita itu seperti kaca, kita harus hati-hati dalam menjaganya jangan sampai salah langkah. Kalau salah langkah masa depan yang kita impikan bisa hancur dalam sekejap mata.