Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: Zakiyya Sakhie - Timika
Becik Ketitik Olo Ketoro: Sebuah Pepatah Jawa yang Sarat Makna
“Biarlah, becik ketitik olo ketoro.” Itulah sepenggal kalimat yang selalu diucapkan ibu belasan tahun yang lalu, untuk menenangkan hati kami (anak-anaknya) ketika terluka. Dulu aku kerap diejek oleh orang-orang di lingkungan sekitar rumah dengan sebutan anak nakal, anak malas, anak bodoh, anak dekil, kotor, tak pernah mandi, anak buruk rupa, anak hitam, anak melarat, anak kere, dan lain sebagainya. Hanya satu sebutan yang tidak sampai disematkan terhadap diriku, yakni anak setan!
Kendatipun masih duduk di bangku sekolah dasar namun aku memahami betul makna kalimat-kalimat hinaan yang ditujukan kepadaku tersebut. Perasaan marah pasti ada bahkan dada ini meletup-letup bak minyak yang sedang dipanaskan di atas bara api yang mengangah. Tapi apalah daya jeda usiaku dengan mereka yang suka mengolok-olokku jauh tidak selevel. Tak mungkin aku menang melawan orang-orang dewasa yang jumlahnya lebih dari satu, sedangkan yang hanya seorang saja mustahil aku lawan. Tidak ada keberanian melakukan pembelaan diri. Yang ada hanya diam membisu bak patung penjaga pintu, tanpa ada sepatah katapun keluar dari bibir mungilku.
Aku tahu setiap mendapat laporan dariku, ibu murka dan tidak terima. Lagian mana ada sih orangtua yang rela dan tidak tercubit hatinya mengetahui anak yang dilahirkan, diasuh, dan dibesarkan dengan bersusah payah malah dijadikan ajang cacian oleh orang-orang di luar sana. Sekalipun apa yang diolok-olokkan itu memang benar adanya namun bukan pula menjadi layak untuk diperbincangkan dan dijadikan bahan gunjingan. Setiap manusia yang memiliki hati nurani tentu tak suka diperlakukan tidak manusiawi, meski dalam bentuk kata-kata yang rasa sakitnya justru lebih dahsyat daripada terkena sabetan pisau belati yang tajamnya melebihi isi bumi. Dan akan tetap membekas kendatipun presiden di negeri ini sudah mengalami pergantian sebanyak ribuan kali. Atau sampai pohon rambutan bisa berbuah pisang dan jeruk sekalipun.
What's On Fimela
powered by
Ibu tetap menampakkan wajah tenang di hadapanku, walaupun hatinya tengah bergejolak. Di usia itu sebenarnya aku belum terlalu memahami "istilah" yang sering diucapkan ibu. Hingga di suatu waktu ibu menjelaskan arti pepatah yang selalu ia dengungkan kepadaku dan saudara-saudaraku. Kata ibu, becik ketitik olo ketoro adalah peribahasanya orang-orang tua Jawa tempo dulu yang artinya segala perbuatan yang baik pasti akan menuai kebaikan, sedangkan perbuatan yang tidak baik/jahat pasti akan terkuak di kemudian hari.
"Jadi, kalau kita mendapat perlakuan buruk serupa cacian, hinaan dan semacamnya tidak usahlah diladeni karena akan tiba saatnya nanti yang mencacilah yang akan mendapatkan kehinaan," tutur ibu.
Ibu juga menambahkan bahwasannya di dunia ini memang diciptakan manusia berkelakuan baik dan manusia berkelakuan buruk. Manusia baik tidak mungkin suka menghina manusia lainnya, bagaimanapun buruknya keadaan manusia tersebut. Dan manusia baik akan menjadikan sabar sebagai senjata utama dalam menapaki kehidupan.
"Kita boleh marah, karena marah itu wajar apalagi menyangkut harga diri. Namun demikian, kita harus tetap pada koridor yang benar, menahan amarah untuk tidak balik menghina orang yang merendahkan kita. Serahkan saja pada Sang Pemberi Kehidupan."
Terus terang saja kalau saat itu aku kurang sepenuhnya setuju dengan rentetan nasihat yang dicakapkan Ibu. Maklumlah, usiaku belum matang, penalaran juga masih sangat minim. Tapi tidak lantas aku mengabaikan dan mematahkan nasihat itu begitu saja. Sejalan bertambahnya usia baru kurasakan betapa sangat berfaedahnya pitutur Ibu yang mampu membangkitkan semangatku kembali. Jujur saja jika statement negatif seperti anak jelek, hitam, kere, bodoh dan sebagainya sempat merobohkan kepercayaan diriku hingga beranjak dewasa. Bahkan aku merasa minder, down, dan takut berkawan dengan siapapun, semua orang tidak menyukaiku, semua orang tidak menerimaku. Sangkaan itu terus meracuni alam bawah sadarku. Andaikan tidak ada nasihat ibu, mungkin aku mengalami keterpurukan dan masa depan yang kurang atau tidak baik (suram).
Dan ternyata benar adanya. Puluhan tahun berlalu, ekonomi keluarga kami berangsur membaik. Anak-anak ibu dapat merampungkan pendidikan sesuai yang dicita-citakan dan berhasil mendapatkan pekerjaan yang mapan, termasuk diriku. Biarpun suara-suara sumbang sering hadir mengiringi langkahku dan saudara-saudaraku saat menempuh pendidikan di sekolah. "Buat makan aja susah, kok, sok-sokan nyekolahin anak!" Atau ketika kami meminjam setrika baju di rumah tetangga yang jaraknya agak jauh, ada komentar nylekit dari kanan kiri, "Setrika untuk nggosok baju seragam aja masih pinjam, gaya-gayaan sekolah!"
Sedangkan orang-orang yang dulu pernah menghinaku dan keluargaku justru mengalami nasib yang tidak terduga. Ada yang anak lakinya menghamili anak gadis orang, anak gadisnya hamil di luar nikah, anak-anaknya terjerat narkoba, merokok, pemabuk, putus sekolah, dikeluarkan dari sekolah, sering tidak naik kelas, suaminya/istri selingkuh, keluarga berantakan, tertimpa kebangkrutan yang akhirnya jatuh miskin, sakit parah hingga hartanya habis untuk biaya pengobatan, dan berbagai polemik hidup lainnya.
Sungguh miris memang tapi bukan berarti aku sekeluarga lantas bersorak karena orang-orang yang pernah menghina kami kini sudah menikmati masa pahitnya. Melainkan bagaimana pentingnya kita memetik hikmah dan pengajaran dari setiap peristiwa yang terjadi. Entah, itu terjadi pada diri kita sendiri atau orang lain. Karena pada hakikatnya apa yang tertulis dalam peribahasa bermula dari kisah nyata yang pernah ada. Sebagaimana contoh yang ibuku sampaikan becik ketitik olo ketoro.