Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: icyblueaugust - Jakarta Pusat
Menulis kisah ini, membuat saya untuk kesekian kalinya berterima kasih pada almarhum ayah, juga ibu yang mendidik kami, memotivasi serta membebaskan kami untuk menjadi apa saja yang kami inginkan.
Saya besar di keluarga yang dibilang cukup. Cukup di sini maksudnya adalah cukup pangan, sandang, papan dan pendidikan. Standar dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, hanya saja kehidupan kami tidak cukup untuk membayar hal-hal yang mewah dan berlebihan. Kami tidak punya mobil untuk bepergian bersama, kami tidak pernah bermimpi untuk ke luar negeri, bahkan naik pesawat pun pada masa itu merupakan sesuatu yang jauh dari jangkauan kami. Naik pesawat terbang adalah salah satu obsesi saya, waktu itu karena saya ingin tahu bagaimana rasanya kita berada di ketinggian 30 ribu kaki di atas muka bumi.
Pekerjaan ayah saya tidak tetap, apa saja yang bisa dilakukan saat itu dikerjakannya, ia pernah berjualan SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial berhadiah), yang terus akhirnya dihentikan karena terkait judi, menjadi makelar rumah dan mobil, yang hasilnya kadang ada kadang nihil. Ibu juga membantu ayah dengan membuka toko kelontong kecil, yang hasilnya tidak seberapa. Tapi ada satu usaha yang ditekuni ayah sejak remaja hingga anak-anaknya remaja pula, yaitu persewaan buku.
Persewaan buku itu tidak selalu untung, bahkan sering merugi dan membuat ayah menghabiskan warisan orang tuanya, dari yang hanya menyewakan buku-buku cerita lawas seperti Kho Ping Hoo, komik silat dan novel zaman remaja ayah, hingga merambah ke aneka majalah dan manga Jepang pada masa remaja saya. Waktu itu ayah tidak terlalu mempersalahkan untung rugi, karena dari persewaan buku itu, dapat membuatnya bersosialisasi dengan tetangga-tetangga yang datang untuk menyewa buku. Persewaan buku itu dapat bertahan hingga 20 tahun usia saya untuk kemudian akhirnya benar-benar ditutup karena ayah sudah tidak sanggup lagi menanggung biaya dan modalnya.
Persewaan buku ayah yang hanya dibuka jam 5 sore hingga 10 malam itu menjadi istana saya di waktu siang. Saya tidak banyak bermain keluar bersama teman atau anak lainnya, tapi saya lebih terpesona mengunci diri di dalam ruang buku, membaca apa saja. Saya terpesona pada berbagai cerpen-cerpen di majalah remaja, seperti Gadis, Aneka, Kawanku, Anita dan sebagainya. Saya juga dengan rasa ingin tahu menyimak rubrik-rubrik curhat dan konsultasi wanita di majalah-majalah wanita ternama seperti Femina, Kartini, Dewi, Cosmopolitan dan yang lain. Terkadang juga iseng membaca serial Wiro Sableng, Kho Ping Hoo, atau bahkan horornya Abdullah harahap. Membaca tulisan kriminal dan politik di majalah Detik, Fakta, Tempo, Gatra hingga cerita-cerita gaib di Liberty dan Misteri. Tidak lupa juga aneka komik barat seperti Nina, Smurf, Donal Bebek, dan manga Jepang.
Terbiasa melahap segala topik bacaan membuat saya waktu itu makin haus dan makin ingin tahu, tidak cukup buku dari rental ayah, tapi kemudian segala fasilitas gratis dan murah untuk bisa mengakses buku, saya manfaatkan. Saya anggota perpustaakaan sekolah yang cukup berdedikasi karena rajin pinjam buku setiap minggu, pada waktu itu saya terutama jatuh cinta pada novel-novel fiksi sains dan detektif. Beberapa penulis idola saya adalah Enid Blyton, Agatha Christie, John grisham, Sidney Sheldon hingga Michael Crichton.
Selain membaca buku, saya juga suka nonton film, saya rela tidak menghabiskan uang jajan saya di sekolah, tapi saya kumpulkan untuk ditabung dan nonton setiap ada film bagus, film-film yang kisahnya diangkat dari novel terutama bertema science fiction adalah jenis film yang selalu saya kejar. Kalau saat itu ditanya juga apa cita-cita saya ketika dewasa, cita-cita itu selalu berubah senada dengan buku yang saya baca, atau film yang saya tonton. Tapi saya berpikir bahwa saya nyaman dengan dunia ilmu pengetahuan dan penulisan. Selain itu buku-buku yang saya baca membuat saya selalu ingin merasakan berada di belahan dunia lain atau paling tidak di bagian lain dari negara saya, merasakan budaya dan lingkungan yang berbeda dari kota kelahiran saya.
Kebiasaan membaca buku, artikel, dan beberapa topik juga secara tidak langsung membantu dalam pendidikan, saya tak perlu waktu lama untuk memahami penjelasan guru, karena apa yang diajarkan itu sering sudah saya baca sebelumnya di salah satu majalah. Tanpa banyak kesulitan saya cenderung mendapatkan nilai yang bagus, tanpa ikut pelajaran tambahan atau macam-macam les. Bahkan pada waktu itu ketika masih banyak buku teka-teki silang berhadiah diperjualbelikan, saya sering menang, dan hadiahnya menambah pundi-pundi tabungan saya.
Tidak puas dengan itu, melihat kondisi ekonomi orang tua yang naik turun, saya juga memberanikan diri menulis cerita. Tidak banyak yang dimuat di majalah karena saya tidak terlalu produktif dalam berimajinasi, tapi sempat ada beberapa cerita dimuat, dan jujur sebagai anak sekolah, saya cukup bangga, selain karena honornya lumayan untuk ukuran remaja di masa itu. Di sisi lain, makin memantapkan saya untuk berkarier di dunia kepenulisan.
Sayang ketika harus memilih jurusan kuliah, saya harus rasional. Orang tua saya menekankan saya untuk kuliah di kota tercinta saja, karena kuliah di luar kota akan menghabiskan lebih banyak biaya. Saya akhirnya berhasil diterima di jurusan kedokteran salah satu PTN kota kelahiran saya, dengan biaya murah, plus bisa dilunasi melalui tabungan saya (termasuk hadiah TTS dan honor menulis yang ditabung).
Saya memutuskan untuk tidak mengambil kuliah di bidang sains dan bahasa, karena pada waktu itu, masa depan di kedua bidang itu meragukan, sementara ketika saya lulus kelak, saya berpikir tidak boleh lagi membebani orang tua, justru saya harus bisa menyokong perekonomian mereka. Saya berhasil lulus, hanya saya merasa menjadi dokter yang melayani pasien bukan passion saya. Dengan pikiran itu saya tetap menjalankan wajib kerja profesi di pulau lain dengan motivasi tambahan saya bisa naik pesawat dan merasakan tantangan sebagai perantau, single fighter di desa dan pulau yang sama sekali berbeda dari kota kelahiran saya.
Walaupun sambil bekerja saya tetap memegang mimpi untuk bekerja di dunia sains atau kepenulisan. Puji Tuhan selesai wajib kerja saya diterima di salah satu instansi penelitian, menyelesaikan pendidikan S2 dan mendekati cita-cita saya. Hanya sayang, sesaat sebelum saya wisuda S2, berita duka itu harus saya terima, ayah saya meninggal karena sakit. Tapi memang saya bersyukur, saya pernah memiliki orang tua seperti ayah, walaupun punya anak perempuan seperti saya, beliau selalu mendukung apapun pilihan karir dan cita-cita saya. Ia mendorong saya jadi perempuan yang mandiri, mengajar saya naik motor agar bisa pergi kemana saja tanpa tergantung orang lain, mendukung kesukaan saya pada menulis, ia juga bangga saya bisa menjadi dokter namun ia tidak kecewa ketika saya menyatakan bahwa saya tidak suka menjadi klinisi/spesialis dan justru mengambil jalur penelitian, selain itu ayah tidak pernah meributkan kapan saya akan berkeluarga.
Sayang, ayah saya pergi lebih dulu sebelum saya bisa mengajaknya ikut menjelajah negeri tercinta ini dan naik pesawat yang biasa saya lakukan ketika saya harus bertugas ke seluruh Indonesia dalam rangka mengerjakan proyek penelitian, selain itu juga saya belum berhasil memberikan oleh-oleh dari luar negeri yang saya hadiri ketika berada dalam kegiatan internasional. Terima kasih kepada ayah yang secara tidak langsung memberikan saya banyak mimpi, melalui bilik kecil persewaan bukunya dan mendukung agar semua mimpi itu terwujud pelan-pelan.
Jakarta, 26 Februari 2019