Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.
***
Oleh: Novita Prima - Surabaya
Tumbuh dengan dominasi perempuan tidak begitu saja membuatku tumbuh menjadi sosok yang lemah dan berpasrah pada keadaan begitu saja. Kehilangan ayah dalam usia remaja tidak pernah ada dalam bayanganku sebelumnya. Begitu juga dengan ibuku, tidak akan terpikir olehnya untuk bertahan dan berjuang sendiri dalam gilasan roda kehidupan di saat usianya baru berkepala tiga. Bagaimana bisa mencukupkan makan, melayakkan pendidikan, dan mematutkan pakaian untuk tiga orang anak yang masih butuh bimbingan dan dukungan hanya mengandalkan dirinya sendirian? Tekad, keyakinan, dan kerja keras. Ya, tiga hal itulah yang dilakukan berulang-ulang, berkelanjutan, sampai semua hal yang harus dilalui tidak lagi menjadi beban.
Aku sulung dari tiga bersaudara. Usiaku 13 tahun saat almarhum ayahku terkena serangan stroke yang pertama. Adikku yang tengah selisih tujuh tahun usianya denganku dan si bungsu berjarak sebelas tahun di bawahku. Almarhum ayah selamat dari strokenya yang pertama dan bertahan hidup dengan keterbatasan fisiknya. Stroke itu telah membuat tubuhnya mati separuh. Semua hal harus dilakukannya dengan bantuan, tidak terkecuali urusan mandi dan buang kotoran. Otomatis ibuku seperti merawat empat anak, jumlah anaknya bertambah, sebab suami yang seharusnya mendampinginya mengarungi bahtera rumah tangga dan membimbing anak-anaknya justru harus dibimbing dan ditolongnya pula dengan segala kebutuhannya.
Kami tetap bersyukur dengan kondisi seburuk apapun dan selalu percaya bahwa semua ada masanya. Kata ibuku, “Yakinlah dan jangan putus berdoa setiap cobaan yang Allah berikan pasti ada jalan keluarnya, seberat apapun cobaan itu.”
Merantau sejak usia remaja, menikah muda, dan terbiasa bekerja membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga cukup menjadi bekal bagi ibuku untuk tidak terlalu jatuh saat diberikan cobaan lewat stroke ayah yang datang tanpa aba-aba. Ibu tetap tegar berdiri. Menyokong segala kondisi dengan berjualan nasi di depan rumah kami dan menitipkan beberapa bungkus nasi di warung kopi tak jauh dari tempat kami.
What's On Fimela
powered by
Setiap pagi, kami selalu bangun sebelum mentari menyapa bumi. Ibu mempersiapkan masakan yang akan didagangkan untuk menu sarapan sedangkan aku sibuk menata meja tempat segala hidangan di depan sambil bolak-balik keluar masuk rumah untuk mengambil wadah mana saja yang sudah terisi di dalamnya. Biasanya, sekitar pukul 5.20 pagi semua persiapan telah selesai. Rawon daging sapi, kari ayam dan telur, bandeng dan telur bumbu bali (bumbu merah), serundeng kelapa, kering tempe, bihun goreng, rempeyek, sayuran rebus, sambal bajak, dan sambal pecel sudah tersaji rapi siap dipilih pembeli.
Selepas semua itu, ibu akan menyiapkan beberapa bungkusan yang akan dititipkan di warung kopi sambil sesekali melayani pembeli. Karena sekolahku masuk siang, jadi aku bisa menyibukkan diri dengan membantu ibu berdagang nasi. Pukul 5.30 pagi aku siap ke pasar untuk berbelanja keperluan berdagang hari berikutnya, kegiatan belanja ini biasanya akan memakan waktu satu jam lamanya. Pulang berbelanja aku siap mengantar adik yang akan berangkat sekolah sambil membawa bungkusan nasi yang dititipkan di warung kopi. Semua kegiatan itu kulakukan dengan berjalan kaki.
Disiplin dan tepat waktu adalah kunci dari semua keteraturan hari-hari kami. Pekerjaan ibu sebagai penjual nasi menuntut ketepatan waktu yang tinggi. Kesiangan sedikit saja akan merembet kemana-mana akibatnya. Rentetan pekerjaan jadi keteteran dan penghasilan tentu saja berkurang. Anak-anak sekolah sudah berangkat tanpa membeli nasi bungkusan karena penjualnya kesiangan, begitu juga para pekerja, saat lewat depan rumah kami akan menoleh tanpa berhenti sebab belum ada hidangan yang bisa dibeli untuk mereka nikmati sebagai menu sarapan di pagi hari, dengan begitu berkuranglah penjualan nasi bungkus kami. Selain itu, sudah barang tentu adik-adik akan terlambat pergi ke sekolah sebab aku terlambat bangun juga. Itulah mengapa ibu kerap kali mengingatkan bahwa hidup adalah sebuah bentuk keteraturan dan kedisiplinan, hanya dengan berdisiplin dan hidup teratur semua tujuan yang kami targetkan akan mudah diraih.
Pernah terbesit rasa iri ketika melihat teman sebaya begitu santainya menjalankan hari-hari mereka. Mereka tinggal bersekolah dan bermain di luang waktunya tanpa repot membagi waktu untuk urusan keluarga, atau bagi mereka yang jadwal masuk sekolahnya siang bisa berleha-leha untuk bangun jam berapapun sesuka hati mereka, sebab jam masuk sekolah masih siang nanti datangnya. Meskipun hal ini tak pernah kuutarakan, ibu tentu saja dapat merasakan.
Tanpa bosan beliau selalu menasihatkan, “Bagaimana pun kondisimu saat ini, bersyukurlah! Semua hal yang terjadi padamu adalah sarana untuk belajar dan memperbaiki diri, justru dengan hidup prihatin dan disiplin sedari dini kau akan menghargai setiap pencapaianmu nanti. Yang tak kalah penting adalah jangan pernah memelihara rasa iri, dengki, dan sakit hati, bila yang kau inginkan adalah kedamaian hati.”
Bulan demi bulan berlalu dan tahun berganti, saat aku memasuki tahun pertama bangku SMK, ayah meninggal dunia karena serangan stroke yang kedua membuat pecah pembuluh darah di kepala. Cobaan semakin berat, biaya hidup meningkat, namun hidup harus terus berlanjut tanpa jeda atau sedikit istirahat. Berbekal tekad, keyakinan, semangat menyala, dan tak putus doa kami sekeluarga bersama mengarungi samudera kehidupan ini. Ujian datang kami selesaikan dengan penuh keyakinan. Rintangan menghadang kami lalui dengan asa dan kebersamaan. Saat terjatuh, bahu membahu kami untuk dapat bangkit lagi.
Babak memilukan dan membahagiakan keduanya berselang-seling telah kulalui. Hingga kini masih kutiti hari dan siap kujelang hari nanti. Berbekal semangat, kedisiplinan, dan keteraturan yang ditularkan oleh ibuku, segala hal yang kulakukan menjadi lebih ringan dan tidak ada beban yang mengekang. Target dalam hidup tentu saja ada, namun tidak ada perasaan terbebani dalam mencapainya, mengalir begitu saja dengan kesadaran dan tanggungjawab menjalankannya. Begitu juga bila dihadapkan dengan kesulitan baru, rasa untuk ingin mengeluh sanggup kutepis jauh, sebab ibuku mendidikku untuk tumbuh menjadi pribadi tangguh bukan manusia yang hobinya mengeluh.
Perkara menjadi tangguh bukan tentang apa jenis kelaminmu dan seberapa tinggi kedudukanmu, melainkan bagaimana perjuanganmu dengan segala daya upaya yang kau punya untuk siap dan mampu melalui setiap babak dalam hidup ini.