Sempat Ingin Mengakhiri Pernikahan karena Himpitan Ekonomi

Endah Wijayanti diperbarui 15 Jan 2019, 09:08 WIB

Fimela.com, Jakarta Apapun mimpi dan harapanmu tidak seharusnya ada yang menghalanginya karena setiap perempuan itu istimewa. Kita pun pasti punya impian atau target-target yang ingin dicapai di tahun yang baru ini. Seperti kisah Sahabat Fimela ini yang kisahnya ditulis untuk mengikuti Lomba My Goal Matters: Ceritakan Mimpi dan Harapanmu di Tahun yang Baru.

***

Oleh: Pipiet - Jakarta

Assalamu'alaikum Fimela,

Aku setuju banget kalau setiap wanita itu istimewa karena wanita bisa melakukan berbagai peran sekaligus di dalam kesehariannya. Berpatokan itu aku berusaha untuk menjadi lebih istimewa di tahun 2019 ini. Banyak harapan yang ingin aku gapai di tahun baru ini, tidak hanya dalam hal karier tapi juga keluarga. Aku juga ingin benar–benar ingin menjadi ibu yang sabar dalam menghadapi dua anakku yang masih balita dan sabar dalam menghadapi cobaan–cobaan hidup.

Terdengar klise memang ingin menjadi ibu yang sabar menjadi resolusiku di tahun ini. Ketika banyak orang bermimpi ingin ini itu aku hanya ingin punya banyak stok sabar. Karena menurutku menjadi ibu bekerja harus sabar mengahadapi anak–anak yang sedang tumbuh aktif, kritis, dan rasa ingin tahunya besar itu tidak mudah. Ditambah dengan problematika kehidupan yang penuh drama.

Berawal dari kelahiran anak kedua, rasanya banyak sekali cobaan yang menghampiri kehidupan kami. Setelah satu bulan aku cuti hamil aku di-PHK di perusahaan aku bernaung, aku dikhawatirkan tidak bisa professional setelah mempunyai dua anak. Aku menerima pemecatan sepihak itu dengan pahit, dengan berusaha keras aku mencoba mendapatkan pekerjaan lagi dengan statusku yang sudah menjadi ibu dua anak. Butuh waktu 9 bulan untuk aku bisa kembali bekerja, dan akhirnya aku pun bisa kembali bekerja sampai saat ini.

 

 

What's On Fimela
Ilustrasi./copyright: unsplash/omar lopez

Aku pikir cobaan itu cobaan berat yang terakhir aku terima dalam hal ekonomi. Ternyata tidak. Setahun setelah aku kembali bekerja, giliran suamiku yang kena PHK. Lagi–lagi kami pasrah dan menerima itu dengan berlapang dada walaupun ingin sekali hati ini teriak kenapa harus keluarga kami. Hidup di ibukota memang mengharuskan kami suami istri bekerja ekstra. Walaupun sekarang suami tak sepenuhnya menganggur sambil berusaha ke sana-sini untuk melamar pekerjaan suamiku menjadi ojol.

Usaha melamar pekerjaannya bukannya tidak membuahkan hasil, suami pernah diterima kembali di Bank Swasta di bagian marketing. Dua minggu suamiku menjalani di kantor barunyanya cobaan kembali datang, suami jatuh sakit. Sakit nyeri kepala dan dada membuatnya harus istirahat total. Penghasilan murni waktu itu hanya dari gaji aku bekerja. Aku coba kembali berjualan baju sambil ngantor, tetap saja ekonomi keluargaku seperti berjalan dengan satu kaki. Rasanya semuanya tidak membuahkan hasil yang maksimal yang ada terus menumbuhkan utang. Tagihan–tagihan kartu kredit tak dapat bisa aku bayar lagi, bahkan bunga demi bunga kartu kredit mulia menumpuk. Kami seringnya menggali lubang utang tanpa bisa menutupi utang lagi.

Ya Allah aku mulai stres merasa beban berat terasa sekali di pundak, terkadang aku letih apalagi kalau melihat orangtua kami yang benar-benar butuh uang untuk kondisi kesehatannya. Himpitan itu yang terkadang membuatku tak bisa mengontrol emosi, aku sering sekali membentak, menghardik bahkan tangan ini rasanya ingin maju tatkala anak-anakku rewel dan sukar diatur. Astagfirulloh betapa aku merasa berdosa sekali kepada mereka yang tidak tahu apa-apa harus menerima imbas dari pelampiasanku. Aku juga suka sekali ketus dengan suamiku karena aku merasa harusnya punggung dia yang memikul beban ini, harusnya dia yang lebih bertanggung jawab apa yang menimpa kami.

ilustrasi/copyright unsplash.com/priscillia du preez

Hal itu juga yang membuat kami sering sekali bertengkar, ingin sekali pisah dan mengakhiri pernikahan ini, tapi apa ini solusi dari himpitan ekonomi yang sekarang ada? Hampir tiap malam aku berusaha mengadu sama Allah untuk diberi kekuatan, mohon ampun bahwa betapa aku ini tidak pernah bersyukur, betapa aku ini egois dan begitu kufur nikmat. Yang ada dihatiku saat ini memang uang, uang, dan uang.

Aku tersadar dan mencoba menenangkan hati dengan cara pasrah mohon ampun dan introspeksi diri apa yang menjadi jalan hidup dan takdirku. Pasrah yang bisa aku lakukan saat ini dan tentu saja terus berusaha agar ekonomi segera membaik.Kondisi suami pun membaik, dari hasil ojol memang tak seberapa hasilnya setidaknya ada upaya dari suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami, itu yang seharusnya aku syukuri.

Uang bukan segalanya, uang juga bukan tolak ukur dari kebahagiaan. Kesehatan, bisa berkumpul dengan orangtua, dan melihat anak-anak yang lincah, pintar dan menggemaskan itu juga merupakan rezeki dari Allah yang tak terhingga, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari apa akan sama yang kita rasakan saat ini. Aku hanya minta sama Allah agar bisa mengolah emosi untuk bisa terus bersabar lebih banyak lagi dan berprasangka baik sama Allah, sampai Allah mengabulkan doa-doaku yang lain, karena aku yakin Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan umat-Nya.