Fimela.com, Jakarta Apapun mimpi dan harapanmu tidak seharusnya ada yang menghalanginya karena setiap perempuan itu istimewa. Kita pun pasti punya impian atau target-target yang ingin dicapai di tahun yang baru ini. Seperti kisah Sahabat Fimela ini yang kisahnya ditulis untuk mengikuti Lomba My Goal Matters: Ceritakan Mimpi dan Harapanmu di Tahun yang Baru.
***
Oleh: Ratri Kurnia Wardani - Tangerang
Alhamdulillahirobbil’alamin, aku masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk kembali menghirup udara baru di tahun yang baru pula. Rasanya sungguh nikmat yang begitu luar biasa. Bagaimana tidak? Banyak orang yang mungkin tidak seberuntung diriku. Sebab, kesempatan untuk hidup adalah bonus lebih yang Tuhan berikan untukku. Sekali lagi, aku bersyukur. Meskipun malam tahun baru kemarin dihiasi dengan rerintikan hujan yang tidak kunjung reda, tetap saja aku bahagia.
Memasuki awal tahun yang baru, inilah saatnya aku mengevaluasi segenap daftar impian yang mungkin belum terwujud pada tahun sebelumnya. Bagiku, daftar impian sangatlah penting—khususnya bagi seorang wanita. Seringkali wanita dihalangi untuk bermimpi, hanya karena alasan kodrat. Bagiku, itu sudah tidak berlaku lagi, selama kita masih hidup di zaman emansipasi. Permulaan tahun yang baru juga menjadi langkah awal bagiku untuk menuliskan berlembar-lembar impian, yang aku semogakan akan tercapai satu demi satu selama satu tahun ke depan.
Aku menargetkan 50 impian di tahun 2019 ini—sangat bervariasi—mulai dari karier, percintaan, studi, hingga bisnis. Dari sekian banyak mimpi-mimpi tersebut, salah satunya adalah melanjutkan pendidikan pascasarjanaku. Ya, lagi-lagi aku bersyukur karena Tuhan telah memberi kesempatan kepada gadis desa ini untuk tamat pendidikan sarjana pada Bulan Oktober kemarin. Dan kini, semangatku untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi masih terus membara—seperti membaranya dukungan ibu kepada diriku.
Mengapa aku masih bersemangat untuk belajar? Sebab, ibuku selalu memantikkan asa kepada anak gadisnya agar bersekolah setinggi mungkin—jangan sampai seperti ibunya yang hanya lulusan SD. Harapannya itu seolah adalah sumber mata air di gurun yang mengguyur dahaga para musafir. Inilah hal kedua yang paling aku syukuri—memiliki ibu yang kehadirannya seperti jantung di dalam tubuhku. Ketika ia tiada, maka seketika tubuhku juga akan kaku dan membiru.
What's On Fimela
powered by
Aku ingin melanjutkan pascasarjana pada jurusan yang linear dengan jurusan yang aku ambil ketika Strata-1 kemarin—Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Ya, menjadi guru adalah passionku. Aku cinta mengajar dan aku suka belajar. Oleh karena itu, jika Tuhan memberiku kesempatan untuk kembali duduk di bangku kuliah, aku ingin sekali mengambil jurusan kependidikan. Keinginan menjadi guru juga tak luput dari saran-saran ibuku. “Jadi guru itu baik, Mbak. Selain mendidik anak orang lain, yang paling penting untuk anakmu nanti. Perempuan memang kodratnya adalah jadi Ibu, tapi akan lebih baik yen (re: kalau) jadi Ibu yang berpendidikan tinggi," begitulah nasihatnya.
Melanjutkan kuliah pascasarjana di negeri orang adalah cita-cita terbesarku tahun ini. Ya, aku selalu membayangkan jika kaki-kaki ndeso-ku ini bisa berpijak di negeri yang terkenal dengan Kangurunya itu—Australia. Ada daya tarik tersendiri mengapa aku ingin sekali melanjutkan sekolah disana. Yang pasti, kualitas pendidikan yang bagus adalah alasan pertama mengapa Australia adalah salah satu negara yang masuk ke dalam daftar dreamlist-ku. Selain kampus luar negeri, aku juga memasukkan dua perguruan tinggi negeri di daerah Jakarta dan Bandung. Ibu memang tak begitu mengizinkanku untuk pergi terlalu jauh, apalagi jikalau harus melintasi samudera.
Yah, inilah esensi dari tulisanku ini--mimpi vs restu ibu. Dua pilihan yang begitu sulit. Ibu memang selalu mendukungku untuk melanjutkan pendidikan, namun beliau tak merestui jika aku harus membentuk jarak yang mungkin menyulitkan kami—aku dan ibu—untuk bertemu. Maklum, kedekatan kami sudah terlampau dekat. Satu hari kami tidak bertemu, seperti ada rindu yang membeku. Terdengar berlebihan memang, tapi begitulah kenyataannya.
Melangkah tanpa restu ibu sama seperti berjalan tanpa tahu arah mata angin—membingungkan dan mungkin saja akan tersesat. Sebab, restu ibu bagiku adalah ibarat cahaya di kegelapan malam. Ia akan menuntun, meski hanya lewat kata-kata bahkan kode-kode yang terkadang tidak aku pahami maksudnya.
”Bu, boleh cari beasiswa buat kuliah di luar negeri?” tanyaku.
“Ndak usah. Kalau kamu tega, ibu ndak menjamin pas kamu pulang Ibu masih ada."
Mana mungkin aku kuat mendengar pernyataan seperti itu? Jika benar demikian, untuk apa aku memiliki gelar tinggi dari luar negeri kalau ada “malaikat tak bersayap ciptaan Tuhan” yang tersakiti atau bahkan telah pergi dari dunia ini? Akan tetapi, di sisi lain, mimpiku untuk pergi ke luar negeri terus meronta-ronta, meminta agar aku bisa menggapainya.
Inilah hidup, penuh dengan pilihan dan misteri. Saat ini, aku belum bisa memilih. Keduanya adalah dua hal yang menurutku begitu penting. Ibu adalah jantungku dan melanjutkan pendidikan ke Australia adalah mimpiku. Bukankah kata orang “mimpi” bagi orang yang hidup itu penting? Bukankah hidup tanpa mimpi seperti orang bernyawa tapi tak bergerak? Sungguh membingungkan.
Oh iya, ini adalah tahun baru. Bukan lagi saatnya tentang bingung apalagi galau. Yang perlu aku lakukan saat ini adalah menjalani hidup yang ada dengan ikhtiar, percaya, dan berserah diri kepada Sang Pencipta. Sekuat apapun aku memilih di antara keduanya, jika Tuhan tak berkehendak, keduanya pun akan sirna. Sebaliknya, jika Tuhan berkehendak, sesulit apapun aku berjuang, keduanya akan menjadi hak diriku sepenuhnya. Pilihan yang terjadi kelak, adalah yang terbaik bagiku. Yang jelas, tubuhku yang kecil dan renta ini tidak akan berhenti berusaha.
Selamat datang tahun yang baru di dalam kehidupanku! Mari berjuang bersama dan jangan menyisakan luka.