KPAI Ungkap Angka Kekerasan Fisik di Sekolah Cukup Tinggi Sepanjang Tahun 2018

Anisha Saktian Putri diperbarui 31 Des 2018, 13:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Memasuki penghujung tahun 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejumlah pelanggaran hak-hak anak di bidang pendidikan sepanjang tahun 2018.

Pelanggaran hak anak didominasi oleh kekerasan yang terjadi dilingkungan pendidikan atau sekolah yang terdiri atas kasus-kasus kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan verbal dan bullying.

Kekerasan fisik dan bullying adalah kasus yang terbanyak terjadi dengan pelaku pendidik, kepala sekolah dan peserta didik.

Dari total 445 kasus bidang pendidikan KPAI sepanjang tahun 2018 terdiri dari kasus kekerasan sebanyak 228 kasus atau 51,20 persen, separuh lebih dari kasus pendidikan di KPAI.

Selanjutnya kasus tawuran pelajar mencapai 144 kasus (32,35 persen), kasus tahun 2018 ini cukup mengenaskan karena pelaku tawuran menyiram korban dengan air keras sehingga korban meninggal dunia.

Adapun kasus anak menjadi korban kebijakan mencapai 73 kasus (16.50 persen), angka ini lebih tinggi dari angka tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 52 kasus.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Anak Korban Kekerasan Fisik

Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, mengatakan memberi sanksi atau menghukum siswa dengan kekerasan yang dilakukan pendidik di tahun 2018 cukup tinggi kejadiannya, mulai dari menampar, menjemur, menjilat wc, push-up, sit up, dihukum dengan merokok dan direkam dengan video, dan lain sebagainya.

Hal ini menggambarkan bahwa di lapangan masih banyak pendidik yang mendidik, menertibkan dan mendisiplinkan para siswanya dengan kekerasan, bukan dengan mengedepankan reward, penghargaan, dan kasih sayang, yang bisa kita bisa bahasakan dengan istilah “disiplin positif”.

"Disiplin memang harus ditegakan, tetapi ketika sanksi yang dijatuhkan bersifat merendahkan martabat anak didik, tentu saja hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)," paparnya di Jakarta.

Karena peserta didik masih berusia anak, maka jenis hukuman tersebut berpotensi kuat melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 76C. Banyak pendidik belum memahami UU Perlindungan Anak, sehingga masih banyak pendidik yang kerap melakukan kekerasan atas nama mendidik dan mendisiplinkan.