Ladies, masih ingat kan pada kasus orang-orang yang suka memperlihatkan alat kelaminnya di depan umum secara tiba-tiba? Selain keberadaannya yang menjadi momok bagi kebanyakan orang, fenomena eksibisionism juga sangat sulit sekali didiagnosis mengingat minimnya kesadaran penderita untuk melaporkan kondisi mentalnya yang terganggu tersebut.
Menurut minddisorders.com, ada beberapa faktor yang akhirnya membuat beberapa eksibisionis mau melaporkan atau hanya sekedar memeriksakan kondisi mentalnya yang terganggu itu.
Yang pertama adalah para eksibisionis mengaku takut akan ancaman hukuman yang mungkin didapat sehingga akhirnya memaksa mereka untuk pergi menjalani terapi.
Faktor lain adalah bahwa gangguan mental mereka sudah diketahui oleh beberapa anggota keluarga dan teman mereka, atau keluhan dari pacar atau istri mereka yang akhirnya membuat mereka malu dan akhirnya mau menjalani beberapa pemeriksaan atau terapi.
Beberapa eksibisionis ini terkadang juga akan merasakan perasaan malu dan bersalah apabila akhirnya akibat kebiasaan buruknya itu mereka menjadi dikucilkan dan dijauhi.
Faktor lain yang mengganggu adalah munculnya perlawanan, atau resistansi, dari penderita pada ahli terapi atau dokter yang sedang memeriksanya. Kebanyakan mereka tidak mau bekerja sama dengan dokter yang berusaha mendeteksi penyebab gangguan mental yang dialami, sehingga membuat diagnosa yang akurat sulit didapatkan.
Wah, menyedihkan juga ya Ladies. Apa lagi kalau orang tersayang atau terdekat kita yang menjadi salah satu penderita eksibisionism.
Untungnya, tidak ada kata terlambat kalau kita tetap mau berusaha mencegah dan memberikan semangat orang terdekat kita, karena potensi untuk sembuh masih tetap ada.
Oleh: Ardisa Lestari
(vem/riz)