Prostitusi tumbuh subur pada abad pertengahan, baik hal tersebut diterima atau tidak oleh pandangan gereja. Di kota-kota besar, para wanita tuna susila ini bisa bekerja dengan identitas tersembunyi atau tanpa nama dan pekerjaan mereka juga dianggap sebagai pekerjaan yang layak.
Seperti yang terlansir dari laman oddee.com, gereja sempat menyetujui praktek prostisusi ini dan ironisnya praktek prostisusi dianggap sebagai salah satu cara untuk mencegah terjadinya perzinahan dan kasus homoseksualitas pada skala besar. St. Thomas Aquinas, salah satu ahli theologi aliran fundamental bahkan menulis ‘jika prostitusi dilarang, maka nafsu yang tidak bertanggung jawab akan menggulingkan peradaban’.
Wanita tuna susila akan dianggap terhormat apabila mereka bekerja di dalam rumah bordil dan sebagian besar desa abad pertengahan memiliki setidaknya satu rumah bordil. Di beberapa desa, para wanita tuna susila ini harus menandai diri mereka dengan memakai pakaian tertentu, seperti kerudung dengan garis berwarna kuning.
Wanita tuna susila yang bekerja di luar atau di jalan biasanya akan lebih sengsara karena mereka biasanya akan dipenjara, disiksa bahkan dimutilasi.
Disfungsi seks juga merupakan salah satu hal yang diperhatikan pada abad pertengahan. Pria yang dianggap tidak bisa melakukan hubungan seks akan dibawa oleh gereja untuk menghadap ‘private investigators’, yaitu sekumpulan wanita-wanita desa bijak yang akan memeriksa organ seksual pria-pria tersebut dan menentukan apakah pria-pria tersebut bisa memiliki anak atau tidak.
Apabila Mr.P pria tidak sempurna atau bermasalah, maka pria tersebut akan dipisahkan dari pasangannya. Menariknya nih Ladies, ternyata banyak dokter abad pertengahan di Eropa itu yang selalu mengikuti perkembangan dunia pengobatan Islam.
Bahkan, dokter dan ahli obat Muslim menjadi yang pertama menemukan obat untuk merawat pria dengan disfungsi ereksi dan menjadi acuan dokter-dokter Eropa di zaman pertengahan.
Oleh: Ardisa Lestari
(vem/riz)