Dildo ternyata sudah menjadi barang yang popular pada abad pertengahan apalagi untuk kalangan para wanita. Banyak wanita yang menggunakan dildo sebagai alat bantu seksual dan hal ini tentunya sangat dilarang keras oleh gereja.
Akhirnya dibuat suatu peraturan bahwa jika ada wanita yang menggunakan dildo sebagai pemuas nafsunya maka wanita tersebut dianggap berdosa dan harus menjalani hukuman penebusan dosa selama 5 tahun yang dilaksanakan pada hari-hari suci.
Dijelaskan melalui laman oddee.com, nama dildo diduga kuat berasal dari nama sebuah roti panjang bertabur tumbuh-tumbuhan beraroma harum yang kemudian dinamakan ‘dilldough’. Kata dildo itu sendiri sebenarnya belum benar-benar digunakan sampai masa Renaissance tiba.
Lain dildo, lain halnya dengan keperawanan pada Abad Pertengahan. Saat itu, kesucian merupakan hal yang dinilai mutlak dimiliki oleh semua wanita.
Gereja pada Abad Pertengahan percaya bahwa dengan kesucianlah mereka bisa menyembah Tuhan yang pada saat itu adalah perwujudan dari Bunda Maria.
Oleh sebab itu, keperawanan merupakan hal yang patut dimiliki oleh setiap wanita bila ingin menyembah Tuhan. Masalahnya, masyarakat awam dan kaum bangsawan juga menyadari bahwa keperawanan hanya 'sekali' dimiliki. Tetapi pada masa tersebut, ada kemungkinan yang terbuka lebar bagi para wanita yang ingin menjadi ‘perawan yang terlahir kembali’.
Caranya? Gereja memungkinkan para wanita yang sudah pernah melakukan hubungan seks, bahkan yang sudah memiliki anak, untuk 'kembali suci' dan menjadi 'perawan kembali' dengan cara mengakui dosa mereka dan tinggal di biara.
Para wanita yang memutuskan mengikuti ritual ini kemudian tergabung dalam salah satu bentuk pemujaan keperawanan, atau kesucian, pada Abad Pertengahan yang terkenal dengan sebutan "The Cult of Virgin".
Oleh: Ardisa Lestari
(vem/riz)