Ladies, sering kan anda mendengar berita mengenai pemerkosaan baik melalui media masa maupun media cetak. Dalam kejadian itu, tentunya korban akan mengalami guncangan mental cukup besar serta mengalami trauma yang mendalam.
Situs dancinginthedarkness.com menceritakan bahwa sepanjang tahun 1972-73, Ann Wolbert Burgess dan Lynda Lytle Holstrom melakukan penelitian dengan mewawancara sekitar 600 korban kejahatan pemerkosaan. Mereka menemukan bahwa kebanyakan wanita itu mengalami “rape-trauma syndromes”.
Sindrom trauma pasca-perkosaan ini menyatakan fase akut atas proses reorganisasi jangka panjang yang terjadi karena korban mengalami percobaan pemerkosaan ataupun telah diperkosa. Secara spesifik, sindrom ini merupakan respon dari bentuk ketakutan mendalam terhadap kematian yang kebanyakan dialami oleh para korban pemerkosaan.
Fase dari sindrom ini meliputi reaksi langsung dari dampak yang dialami (baik diungkapkan oleh si korban maupun tidak), reaksi fisik, reaksi emosional terhadap situasi yang mengancam jiwa mereka. Sedangkan, proses jangka panjangnya meliputi perubahan gaya hidup, mimpi buruk berkepanjangan dan gejala fobia.
Trauma ini terdiri dari dua jenis. Pertama, reaksi majemuk yakni si korban tidak hanya mengalami gejala sindrom ini tetapi juga reaktivasi gejala kondisi yang ada sebelumnya. Kedua, reaksi diam yakni berbagai jenis gejala terjadi, tetapi korban tidak pernah menyebutkan sedikit pun tentang kejadian pemerkosaan itu.
Kegiatan konseling bisa cukup membantu para korban pemerkosaan tersebut. Selain itu, bantuan para ahli bisa jadi sangat dibutuhkan bagi korban dengan reaksi majemuk.
Oleh: Austin Miracle Widya Sari
(vem/riz)