Pada beberapa abad yang lalu, masyarakat Hawaii yang berada pada kepulauan Polinesia dianggap sebagai masyarakat tanpa batasan seksual karena seringnya mereka beraktivitas tanpa mengenakan busana yang cukup menutupi tubuh. Tentu saja, persepsi ini muncul karena yang menilai adalah para warga Eropa yang memiliki standar tersendiri pada nilai kesopanan dan pakaian, Ladies.
Padahal, seperti yang telah dijelaskan oleh Hawaii.edu, ada berbagai macam makna yang terkandung dalam tradisi ketelanjangan masyarakat Hawaii kuno pada saat itu. Diantaranya adalah nilai penghormatan, permintaan maaf, dan kekeluargaan.
Masyarakat Hawaii mencatat ketelanjangan sebagai bentuk penghormatan tersebut pada tulisan berjudul Kamehameha Agung (Ka-mehameha en hawaiano) pada tahun 1860an. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Kamehameha tidak hanya menganggap Keopuolani, atau pasangan seksual pertamanya, hanya sebagai pendamping tidurnya.
Lebih dari itu, Keopuolani adalah keponakannya, yang dianggap sebagai tabu yang tinggi, sehingga ia harus menanggalkan malo (cawat) sebelum hadir di hadapan wanita tersebut. Sang wanita ini diperlakukan demikian karena darinya-lah akan lahir anak-anak dari golongan tertinggi.
Selain itu, setiap masyarakat Hawaii juga harus menanggalkan pakaian dan berbaring di tanah ketika mereka bertemu seseorang yang membawa ‘calabash’ air Raja yang dibawa dari sumber air, hingga pembawa bejana kehormatan tersebut pergi. Apalagi, jika mereka bertemu pendeta dan para bangsawan itu sendiri.
Untuk bentuk permintaan maaf, seseorang yang telah menyakiti hati orang lain juga harus menanggalkan pakaiannya dan mengikuti orang yang disakiti tersebut hingga ia memberikan maafnya.
Nah Ladies, memang, kita tidak bisa menilai suatu masyarakat hanya menggunakan ‘kacamata’ budaya kita tanpa mengkaji budaya mereka lebih lanjut, ya.
Oleh: Adienda Dewi S.
(vem/riz)