Aborsi sudah menjadi isu lawas di tengah-tengah jaman yang serba bebas ini. Anak-anak muda sudah tidak bisa lagi dilarang-larang seperti dulu, misalnya tidak pergi ke club malam, tidak mabuk-mabukan, dan tidak berganti-ganti pasangan. Pasalnya, hal ini bisa menjurus ke kehamilan yang tidak diinginkan, yang tak jarang pula berakhir dengan aborsi.
Selama ini aborsi dianggap menjadi hak prerogatif wanita. Pada banyak kehamilan yang tidak diinginkan, dimana si pria memaksa untuk melakukan tindak aborsi, masih ada para wanita yang tidak melakukannya karena takut dosa atau naluri keibuannya terlalu besar. Kecuali pada kasus aborsi yang terjadi karena komplikasi kehamilan seorang istri, pria tidak punya hak untuk menyuruh seorang wanita untuk melakukan aborsi.
Hal ini ternyata membawa dampak psikologis yang buruk pada pria. Pria yang pasangannya melakukan aborsi, baik atas perintahnya atau inisiatif si wanita sendiri, ternyata lambat laun akan mengalami depresi. Menuru lifeissues.org, pria-pria yang terjebak dalam keputusan aborsi atau tidak akan merasa mengalami satu kegagalan besar dalam hidup jika sampai pasangannya melakukan tindak aborsi.
Dampak psikologis yang biasa terjadi adalah terganggunya kinerja si pria di kantor dan hubungan si pria dengan wanita lain di masa yang akan datang. Si pria bisa menjadi sangat workaholic di kantor untuk meminimalisir perasaan bersalah yang mengalahkan logikanya, ataupun dia akan menjadi pengangguran karena merasa apapun yang dia kerjakan toh tidak bisa memperbaiki kesalahannya. Kemudian dia akan sulit untuk menjalin hubungan dengan wanita lain di masa depan karena trauma kesalahan di masa lalu.
Mazhi
(vem/ova)