Catatan: Artikel dan saran yang terpapar di sini berdasarkan pengalaman pribadi penulis.
13 Mei 2018 merupakan hari yang menyedihkan. Tiga buah bom meledak di gereja-gereja di Surabaya, dan pagi ini menyusul satu bom bunuh diri kembali terjadi. Otomatis, semua media mengulas hal ini. Stasiun televisi tak henti-hentinya menayangkan berita soal aksi teroris ini, dan secara tidak sengaja, anak saya Kiara, yang kini umurnya 6,5 tahun ikut mendengarkan.
Dengan pikiran lugunya, Kiara bertanya, mengapa ada orang Islam yang menyakiti orang lain. Saya tertegun sesaat, nggak menyangka bahwa pertanyaan seperti ini akan datang dalam waktu dekat. Saya berpikir sesaat, lalu menjawab dengan perlahan.
“Orang jahat itu tetap orang jahat, tidak tergantung dari agama yang mereka anut,” ujar saya.
Lebih lanjut ini penjelasan saya yang saya rangkum dengan poin-poin agar lebih mudah dibaca.
1. Orang jahat tak tergantung dari agamanya
Saya menjelaskan panjang lebar bahwa perilaku jahat, tak memandang agama. Orang jahat bisa datang dari agama mana saja. Mereka hanya menggunakan alasan agama untuk membenarkan tindakan jahat mereka. Namun sesungguhnya tak ada satu agamapun yang mengajarkan orang untuk berbuat jahat. Mengapa saya tidak fokus menjelaskan soal agama Islam saja? Karena anak saya bersekolah di sekolah umum, dan tak sedikit teman-temannya yang memiliki agama berbeda. Fokus saya adalah mengajarkan kebaikan dan toleransi sejak dini pada anak saya, agar dia bisa menghormati mereka yang seagama, juga yang berbeda agama.
2. Mengapa dulu ada kisah perang di Al-Qur’an.
Ini saya jelaskan sebagai tambahan kisah, jika suatu saat anak saya sudah mulai belajar soal sejarah Islam. Saya bukan ahli sejarah, jadi saya hanya memberi penjelasan sesuai dengan kemampuan logika seorang ibu, kepada anaknya. Saya menjelaskan bahwa siapapun akan melawan jika mereka ditekan atau disakiti. Saya menggunakan analogi seperti ini.
"Semut kalau kita injak, dia akan menggigit kan? Tapi kalau kita nggak ganggu, dia gak akan gigit. jadi bukan berarti semut itu jahat. Begitu pula dengan kisah perang."
Saya tak menjelaskan detail soal bagaimana perang bermula dan siapa melawan siapa. Hanya sebagai gambaran saja, bahwa berprasangka buruk pada orang itu tak perlu.
3. Kejahatan yang terjadi tidak mewakili agama apapun
Saya kembali mengingatkan bahwa semua agama tak ada yang mengajarkan umatnya untuk berbuat jahat. Tapi Tuhan, sudah memberi manusia keistimewaan, yaitu otak, untuk mengolah semua informasi yang didapat termasuk dari kitab suci. Kembali untuk menjelaskan ini, saya menggunakan analogi.
‘’Kalau kita minta tolong ke dua mbak, untuk ke pasar beli garam. Mbak yang satu beli garam dengan uang yang kita kasih, mbak yang satu mencuri garam tersebut, lalu uang dari kita disimpan. Itu yang salah bukan kita kan dek, tapi memang mbak yang kedua niatnya jahat, tapi bilangnya disuruh kita,’’ Itu analogi yang saya gunakan.
Setelah mengobrol, Kiara tak lagi mempertanyakan agamanya dan perilaku terorisme. Saya tak tahu apa karena dia sudah lupa, atau benar-benar mendengarkan penjelasan saya. Tapi moms, saya yakin, anak itu menangkap apapun yang kita ajarkan, walau dia belum mengerti 100%. Nah saat ia sudah mengerti, maka hal positif yang kita ajarkan sejak dini, akan menjadi pemandunya nanti.
Semoga anak-anak kita terhindar dari perilaku jahat orang-orang yang mengatasnamakan agama. Amin.
- Meski Tidak Bisa Menyelesaikan Kuliah, Selalu Ada Jalan Wujudkan Mimpi Lain
- Yakin Saja, Setiap Bidang Pekerjaan Punya Ladang Rezekinya Masing-Masing
- Bergelar Sarjana Jadi Ibu Rumah Tangga, Nggak Masalah Kok!
- Pilihan Hidup Itu Terus Bertumbuh, Meski Lebih Memusingkan Saat Kita Dewasa
- Lanjut Kuliah Setelah Menikah Bukan Hal yang Mustahil, Kok!