Berdamai dengan 'Kapan Nikah', Tak Semua Orang Berhak Tahu Urusan Hati Kita

Fimela diperbarui 14 Mei 2018, 14:30 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

"Kapan nikah?" Kalimat tanya singkat ini menjadi isu sensitif bagi wanita berusia di atas seperempat abad yang masih lajang seperti saya. Bagaimana tidak? Pertanyaan yang seharusnya menjadi urusan pribadi terkadang justru menjadi pertanyaan publik, yang mana sebagian dari mereka adalah yang peduli, sebagian lain sekadar ingin tahu, dan sisanya menjadikannya sebagai bahan bercanda. Apalagi di musim menjelang lebaran seperti ini, biasanya beberapa wanita sudah 'ancang-ancang' untuk menghadapi serangan pertanyaan di momen lebaran nanti, mulai dari merayu pacarnya untuk segera dinikahi (bagi yang punya), atau mungkin segera cari pacar supaya bisa dipamerkan, ada juga yang sudah mempersiapkan jawaban jitu untuk berkelit, ada lagi yang dari jauh hari sudah merencanakan 'jalur evakuasi' dan 'tempat persembunyian' ketika pertanyaan itu dilontarkan.

Maka bersyukurlah jika kalian adalah wanita yang tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Terkadang memang sesuatu yang seharusnya tidak perlu dikhawatirkan malah menjadi hal yang menjadi pikiran, yang kemudian berdampak pada aktivitas sehari-hari, atau bahkan mempengaruhi psikis dan perangai kita. Termasuk pertanyaan tersebut.

Sebenarnya itu hanya pertanyaan biasa, tergantung bagaimana kita menanggapinya. Contohnya saya. Saya bisa menjadi jenaka jika pertanyaan tersebut dilontarkan ketika suasana hati sedang bagus didukung dengan keadaan baik lainnya. Namun saya bisa menjadi manusia yang sensitif ketika pertanyaan itu muncul pada suasana hati saya yang sedang buruk, atau ketika saya sedang banyak pikiran. Suatu ketika saya pernah menangis ketika ‘dimarahi’ oleh saudara karena tidak punya pacar, dan kemudian saya dibandingkan dengan orang lain. Di situ terkadang saya merasa sedih, ketika orang lain hanya menilai apa yang tampak, tapi tidak tahu apa yang telah kita usahakan.

Belum lagi undangan-undangan pernikahan menyerbu di bulan menjelang Ramadan ini, membuat saya sedikit terusik atas pertanyaan yang tiba-tiba muncul terhadap diri saya sendiri sebelum orang lain melakukannya, “Aku kapan?” dan kemudian diikuti dengan penyakit-penyakit hati, seperti perasaan iri dan tidak suka melihat orang lain bahagia. Hal tersebut sedikit banyak berdampak pada sikap dan kehidupan sosial saya, seperti kesal ketika ada orang lain yang menyinggung masalah pribadi saya, mulai malas bergaul dengan orang banyak, jarang bersilaturahim dengan saudara, bahkan ada perasaan malas ketika menghadiri undangan.  

Padahal dulu saya adalah orang yang aktif dan memiliki pergaulan yang cukup luas. Hal tersebut tidak lain adalah karena saya ingin menghindar dari pertanyaan klasik yang menurut saya semakin memuakkan di usia saya yang semakin bertambah ini. Belum lagi kata-kata menyakitkan sering terlontar meskipun hanya sebagai candaan.

Namun akhir-akhir ini saya mencoba berdamai dengan pertanyaan “Kapan nikah?”. Saya lelah menjadi diri saya yang menyedihkan seperti ini, anti-sosial, penyakit hati, dan gejala frustrasi. Berawal dari saya berkenalan dengan seorang teman wanita yang usianya cukup jauh di atas saya, dan dia belum menikah. Dia belum menikah bukan karena tidak laku, tetapi karena dia berprinsip.

Dia tidak peduli dengan cemoohan orang lain, sebutan ‘perawan tua’, dan lain-lain. Dia bertahan karena dia tetap berpegang pada prinsipnya. Menurutnya, pernikahan itu bukan sekadar di usia berapa, tapi dengan siapa ia akan menjalani susah senang kehidupan setelah menikah. Dan kemudian kami saling berbagi cerita dan memberi motivasi. Dia begitu dewasa dan tetap berbaik sangka kepada Sang Pencipta dalam menyikapi apa yang menjadi jalan hidupnya, baik itu kenikmatan maupun cobaan.

Dan ya, kemudian saya sadar. Bahkan saya masih terlalu kekanakan untuk menghadapi permasalahan sepele yang saya alami sekarang. Sering merasa frustrasi karena masih sendiri. Sudah waktunya saya mengoreksi pertanyaan, “Kenapa sampai saat ini belum ada yang mengajakku menikah?” menjadi “Apa yang membuatku belum pantas untuk menikah?” Pertanyaan yang jika diuraikan akan menghasilkan introspeksi-introspeksi terhadap diri sendiri.

Dimulai dari mengubah pemahaman bahwa pernikahan itu bukan akhir yang indah seperti yang dikisahkan dalam dongeng Cinderella, tetapi pernikahan adalah awal dari usaha kita untuk menyempurnakan separuh agama. Sama seperti kehidupan, baik sebelum maupun setelah menikah, kita akan sama-sama mendapatkan ujian dalam menjalaninya. Bahkan mungkin akan jauh lebih banyak cobaan dalam kehidupan setelah menikah. Apakah saya sudah cukup siap untuk menyadari dan menghadapinya? Maka, dengan siapa saya akan menjalaninya? Apakah dengan dia yang meminang dengan mahar yang tinggi, sudah memiliki rumah sendiri, dan punya mobil mewah, maka akan terjamin kehidupan saya dari cobaan yang menerpa? Jawabannya tidak. Karena memang belum ada sosok yang seperti itu yang meminang saya, he he he.

Begitulah. Kini sedikit demi sedikit saya belajar untuk berprasangka baik kepada Dia Sang Pencipta. Karena ketika kita merasa frustrasi, berarti kita marah kepada Dia, kita tidak percaya bahwa sebenarnya Dia sedang mempersiapkan yang terbaik untuk kita. Dia ‘menahan’ jodoh kita karena mungkin kita yang masih belum baik, maka seharusnya kita lah yang berusaha mencapai level baik tersebut. Bukankah jodoh adalah cerminan dari diri kita?

Maka yang saya lakukan untuk berdamai dengan “Kapan nikah?” adalah ikhtiar. Ikhtiar dalam versi saya bukanlah segera cari pacar, tetapi introspeksi dan bersabar. Introspeksi, supaya kita mencari akar permasalahan bukan dari luar, bukan dari orang-orang yang suka berkomentar, tetapi dari diri sendiri terlebih dahulu. Bersabar, karena ujian akan datang dari mana pun, termasuk dari mulut orang-orang yang nyinyir.

Biarlah orang lain hanya melihat sebatas apa yang mereka lihat dan akan terus seperti itu dalam hal apapun, maka senjata yang ampuh untuk melawan adalah bersabar dalam diam. Cukup diri sendiri dan Sang Pencipta saja yang tahu apa yang telah kita usahakan. Dengan introspeksi dan bersabar kita juga akan dibersihkan hatinya dari segala penyakit-penyakit hati.

Kini ketika saya sudah berdamai dengan “Kapan nikah?” saya sudah siap tersenyum bila nanti ada yang menanyakannya. Cukup memintakan keberkahan dari-Nya untuk mereka dengan berkata, “Doakan saja,” karena ketika mereka dengan sungguh-sungguh mendoakan kita tanpa kita tahu, maka doa baik akan kembali kepada mereka. Abaikan bila ada kata-kata yang sedikit menyakiti hati, tersenyumlah, karena selain memberikan energi positif kepada orang lain, senyum juga memberi kekuatan bagi diri sendiri.

(vem/nda)