Sesalku Semua Sudah Terlambat, Pria yang Kucintai Menikahi Teman Sekantorku

Fimela diperbarui 12 Mei 2018, 14:30 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Sabtu ini, seperti biasa aku lagi-lagi tidak menengok jam. Seharusnya jam segini memang sudah di rumah. Entah kenapa, belakangan aku lebih senang berlama-lama di kantor daripada mengurung diri di kamar. Sepertinya aku mulai bosan memikirkan hal-hal 'palsu' dan 'tidak nyata' jika berdiam sendirian. Di sini, aku bisa menyibukkan diri dengan tumpukan deadline. Menghirup aroma kopi dan meneguk perlahan. Menyeruput sampai suara seruputnya seperti khas iklan-iklan kopi di TV.

Malam Minggu yang dingin, tapi aku tidak sendirian. Mana mungkin sendirian, kan pasti sama saja rasanya dengan di rumah. Jadi ada beberapa rekan kerja yang menemani, karena sama-sama ada deadline. Termasuk anak magang baru di kantor kami. Maya namanya. Maya lebih muda 2 tahun dibanding usiaku, tapi sikapnya kadang lebih dewasa dari umurku.

Di minggu pertamanya, jujur, aku tidak begitu respek dengan attitudenya. Apalagi dengan profesi kami di kantor, yang mewajibkan kami harus selalu menjaga image baik di luar sana. Tapi rekan-rekan yang lain, biasa saja padanya. Tidak terlihat tak suka, tidak juga kelihatan sangat menyukai. Menurutku, memang dia cantik, suaranya lembut dan mudah bergaul.

Suatu hari, aku pun sempat merasa sedikit ge er, saat ada rekan kantor kami yang menyebut wajah kami mirip, seperti saudara. Bahkan mereka sampai beberapa kali salah memanggil nama kami. Tapi aku adalah orang yang tidak suka dibanding-bandingkan, apalagi disamakan dengan orang yang tidak begitu kukenal.

2 jam kemudian, tepat pukul 7 malam, Maya pamit. Katanya sudah dijemput. Begitulah ia setiap pulang kerja selalu dijemput, katanya yang jemput adalah pacar. Kadang-kadang juga minta tolong rekan lain untuk dipesankan ojek online. Mungkin saat dia lagi berantem atau pacarnya memang lagi gak bisa jemput. Tapi lebih seringnya sih, ya dijemput pacar.

Cemburu? Tidak juga. Mungkin karena hatiku memang sudah agak lama kosong. Sejak tidak lagi saling bertukar kabar dengan Bang Firly. Aku masih ingat, 3 tahun yang lalu, di sini, di kantor ini, tepat di meja kerjaku ini, di jam seperti ini pula, aku tersenyum-senyum renyah sambil memandangi ponselku. Men-scroll layar ke atas dan ke bawah, mengklik tombol 'like' dan mengisi kolom 'komentar' di akun sosial medianya.

***

Saat itu, Bang Firly memposting foto gambar sketsa yang dia buat. Gambar sebuah bangku dengan 2 pasang lampu taman di sisinya. Aku hafal betul, sketsa ini menggambarkan judul lagu Pure Saturday 'Di Bangku Taman'. "Saturday trouble..." begitu komentarku. Dari sinilah awal perkenalanku dengan Bang Firly.

 

Hari-hari berikutnya, kami saling menyapa lewat DM di Instagram. Rasanya nyaman saja, padahal bisa saling bertukar nomor telepon biar bisa langsung ngobrol. Tapi mungkin itulah spesialnya bersama dia. Beda dengan laki-laki lain yang saat baru pertama kenal, langsung minta kontak telpon. Bang Firly, 3 bulan perkenalan dia baru memberikan nomor kontaknya padaku. Dengan notes, “Nunggu ditelepon kamu.” Begitulah, kami selalu mengobrol dengan bahasa santai, lucu, kadang serius, kadang jadi tiba-tiba romantis.

Sampai di suatu hari, setelah baru 2 kali pertemuan kami di tahun pertama, aku merasa sangat merindukannya. Aku baru mau mencoba mengirim DM, tapi begitu kubuka Instagram, ternyata sudah ada pesan dari Bang Firly. "Gak tau kenapa kok kayak kangen yah sama kamu."

Honestly, saat itu darahku seperti tiba-tiba mengalir deras ke otak, kakiku gemetar, mataku tak berkedip. Aku seakan tidak percaya dengan pesan yang kubaca. Kudiamkan begitu saja beberapa hari tanpa balasan. Aku bingung harus melakukan dan berkata apa. Aku menyukainya, aku nyaman saat bertemu dengannya, dan aku merindukannya. Tapi apakah aku harus mengatakan itu semua padanya di waktu yang sama saat dia juga mengatakannya lewat sebuah direct message?

Dalam hati ada sedikit gengsi, tapi juga rasa sangat bahagia. Dan entah bagaimana, ada kesedihan juga setelahnya. Sedih karena ternyata aku tak mampu membalas pesannya sampai berhari-hari. Iya, aku jahat memang, Bang.

 

3 minggu kemudian, Bang Firly kembali mengirim pesan, "Antara rasa sayang dan ketakutan. Aku merasakan keduanya, takut kehilangan orang yang mulai kusayangi." Air mataku mengalir seketika, terisak dan merasakan sebuah penyesalan. Kenapa tidak kujawab saja pesan itu, atau kutemui saja dia langsung. Karena ternyata setelah itu, tidak ada lagi DM yang masuk di Instagramku. Tidak ada lagi nomor kontak dengan nama 'Bang Firly' yang masuk ke panggilan teleponku. Tidak ada lagi postingan bangku di taman atau gambar beruang panda lucu yang dipostingnya dengan menandai inisialku. Apa yang salah denganku sebenarnya?

***

Senin pagi di minggu berikutnya, aku masih di kantor. Hampir pukul 7 malam, dan Maya pamit. Pacarnya sudah menunggu di depan kantor. Dan karena tak bisa menahan rasa penasaran, akhirnya rekanku yang lain mengikuti menengok ke jendela, lalu memanggilku. Tapi tidak kugubris. Tidak pernah ada yang lebih penting daripada kerjaan di depan mataku saat ini. Tidak sekalipun untuk mengetahui tentang urusan asmara Maya dan pacarnya.

Sampai saat rekanku kembali ke meja kerjanya dan membuka instagram, dengan lantang berteriak, "Ya ampun... beneran dia? Hah, udah tukeran cincin, berarti bentar lagi nikahan dong si Maya?" Aku mulai sedikit tertarik juga, tapi tidak ingin beranjak dari tempat dudukku.

Hingga akhirnya setelah 2 bulan kemudian, Maya memberikan undangan pernikahannya. Benar ternyata dia akan menikah. Segera bersama rekan-rekan kantor yang lain kami membuka sampul undangannya. Lalu, 'Maya & Firly' begitulah nama yang tertera di undangan pernikahan berwarna lembayung tersebut. Aku tersenyum ringan. Diam-diam dengan rasa sangat penasaran kubuka instagram Bang Firly yang memang sudah tidak pernah lagi kucari sejak 2 tahun lalu.

Masih dengan foto profil yang sama, nama id yang sama dan bio yang sama persis. Postingan terakhirnya, foto sebuah undangan berwarna yang sama dengan undangan yang dibagikan Maya beberapa menit yang lalu. Nama yang tertera di undangan pun sama, 'Maya & Firly'.

 

Satu hal yang terus-terusan terpikir olehku adalah dunia ini begitu sempit. Aku ingin berbahagia dengan hidupku yang baik-baik saja kemarin, tapi kemudian aku harus mengucapkan selamat pada perempuan yang kini menjadi milik seseorang yang namanya pernah dalam di hatiku.

Tapi aku juga tidak seharusnya membenci keadaan, ataupun manusianya. Memang aku saja yang keterlaluan. Benar kata orang, kadang kita baru akan merasakan kehilangan saat orang tersebut pergi. Bahkan sekarang Bang Firly telah memilih bahagianya bersama Maya, rekan sekantorku yang sejak awal bertemu pun sudah tidak ingin kukenal lebih dekat. Maya yang kata rekan sekantorku memiliki wajah yang mirip denganku. Jangan tanya rasanya seperti apa. Sebuah kekecewaan, penyesalan, dan kesedihan yang teramat banyak.

Lalu, apakah aku akan menghadiri pernikahan berbahagia ini? Entahlah. Yang kutahu, saat ini aku harus mencoba bersabar, lebih tenang dan belajar menerima kesalahanku sendiri. Kesalahan karena telah mendiamkan lelaki yang pernah dengan pelan mengakui perasaannya tetapi malah kuabaikan. Aku ingin berdamai dengan hatiku lagi, memaafkan Bang Firly dan Maya yang telah dengan sangat baik mengundangku di hari bahagianya. Semoga aku siap dan kuat menghadapi kalian di pelaminan.

 

(vem/nda)