Saat Cinta Berakhir Luka, Jangan Menyiksa Dirimu Hidup dalam Rasa Bersalah

Fimela diperbarui 11 Mei 2018, 10:40 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Sudahkah hatimu bersih hari ini? Pertanyaan ini tak perlu kita tujukan untuk orang lain. Cukup tanyakan pada diri sendiri dan renungkan. Hati yang bersih tak melulu tentang memaafkan orang lain dan tak menyimpan dendam atau kebencian pada orang lain. Tetapi juga bagaimana kita sudah benar-benar bisa memaafkan diri sendiri dan menerima semua ketentuan yang terjadi.

Kali ini, saya akan bercerita tentang bagaimana akhirnya saya bisa menerima semua ketentuan yang terjadi. Baik itu ketentuan atas takdir maupun ketentuan yang saya lakukan sendiri. Panggil saja saya Melati, belum menikah usia hampir 24 tahun. Bekerja sebagai jurnalis di salah satu media. Di sini, saya hanya ingin berbagi pengalaman hidup saya yang mungkin masih sangat minim pengalaman.

Berbicara tentang kata maaf, bagi saya pribadi yang sedikit memiliki sifat introver bukanlah perkara yang mudah. Sebelumnya, sudah saya sebutkan tentang dua ketentuan yang terjadi dalam kehidupan manusia ini. Ada ketentuan yang memang benar-benar takdir Tuhan, ada pula ketentuan yang sebenarnya masih bisa kita cegah. Takdir Tuhan itu seperti kematian, menjadi seorang ibu dan lain sebagainya.

Sedangkan ketentuan yang masih bisa kita cegah itu ya seperti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh kecil, ada kubangan air yang masih bisa kita hindari. Tapi kita malah memilih untuk melewati kubangan air itu karena ingin merasakan sensasi cipratan airnya. Dan itulah yang terjadi pada kehidupan saya, di mana sebenarnya saya masih bisa menghindar tapi tetap melakukannya. Semua ini bermula ketika usia saya masih belasan tahun. Klise, seperti yang mungkin dialami gadis remaja lainnya. Tentang percintaan.

Ya, saat itu saya mulai jatuh cinta dan berpacaran dengan cinta pertama saya. Saya adalah tipikal seseorang yang tidak mudah jatuh cinta dengan seseorang. Butuh waktu dua tahun untuk dia bisa meyakinkan saya. Karena saking 'sayangnya' saya menyerahkan semua kepercayaan yang saya miliki untuk dia. Pun semua yang ada pada diri saya. Sudah bisa membayangkan, apa yang selanjutnya terjadi? Hari itu, cinta telah membutakan mata dan hati seorang gadis desa yang sedang dimabuk asmara.

Penyesalan itu pasti, apalagi ketika pada akhirnya dia memilih pergi meninggalkan saya. Bertahun-tahun, saya hidup dengan rasa bersalah dan ketakutan. Saya tidak memiliki kepercayaan diri lagi. Ketakutan itu masih terus menghantui saya sampai hari ini mungkin. Butuh waktu bertahun-tahun untuk ada di fase ini. Putus dari dia, saya pindah ke kota lain. Bukan, bukan untuk menghindar. Berkat kerja keras dan doa seorang ibu, saya berhasil masuk universitas negeri terfavorit di Jawa Tengah.

Di sana saya belajar banyak hal. Saya anggap, itu adalah langkah awal saya untuk memulai kehidupan yang baru. Lembaran cerita baru. Menjadi pribadi yang baru. Tak mudah tentu bertahun-tahun hidup dengan rasa bersalah dan perasaan membohongi orang lain bahkan orangtua. Di mata orang lain, saya adalah gadis desa yang lugu. Tidak akan melakukan hal-hal yang semestinya, tapi nyatanya masa lalu kelam itu pernah mampir ke dalam kehidupan saya.

Bertahun-tahun, saya menyembunyikan peristiwa itu. Berpura-pura tidak pernah ada yang terjadi di masa lalu. Di depan orang lain, saya akan selalu tampil ceria. Tapi ketika sendiri, bayangan-bayangan masa lalu itu menyeruak. Membuat saya harus menenggelamkan diri di balik bantal karena menangis. Malu pada Tuhan yang begitu baik karena telah menutup aib itu. Malu pada orang-orang yang selalu bersikap baik kepada saya.

Saya takut, ketika aib itu terungkap orang-orang akan pergi meninggalkan saya. Tak hanya berhenti di situ, sampai beberapa waktu yang lalu pun saya masih dihantui ketakutan dan rasa bersalah itu. Seraya hati bertanya, ''Mungkinkah aku bisa menikah?" Sulit untuk membayangkan, apalagi berangan terlalu tinggi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa meyakinkan bahwa saya pun masih memiliki kesempatan yang sama seperti mereka meski saya telah 'berbeda'.

Tuhan memberi banyak waktu untuk manusia memperbaiki kesalahannya. Perihal maaf untuk dia, memang tidak mudah. Tapi hal itu tidak lebih sulit daripada memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan masa lalu. Ya, itulah fase yang paling sulit. Meski tak sehari dua hari bahkan setahun dua tahun, tapi akhirnya saya bisa memaafkannya di tahun keempat. Sedang di tahun-tahun berikutnya saya masih harus berkutat dengan diri sendiri. Proses memaafkan, berdamai dan menerima ketentuan yang telah terjadi, itulah fase yang paling sulit yang pernah saya miliki.

Sejak kecil saya tumbuh aktif dan lincah. Memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi. Berbagai macam perlombaan saya ikuti. Tapi sejak peristiwa itu, saya tumbuh menjadi gadis yang takut untuk melakukan segala hal. Ruang lingkup saya menjadi terbatas oleh saya sendiri. Sampai akhirnya, menjelang kelulusan kuliah, saya kembali terjatuh karena terlalu berharap pada manusia. Dari situlah saya benar-benar menyadari bahwa selama ini saya telah menyia-nyiakan kesempatan dari Tuhan. Jadi tak heran jika akhirnya Tuhan kembali menguji saya.

Kali ini, saya tak ingin jatuh kembali. Saya seperti menemukan sebuah kekuatan untuk kembali menjadi diri sendiri melalui cara yang baru. Banyak hal yang saya pelajari di dua tahun belakangan ini. Belajar menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan keluarga. Belajar memahami orang lain. Belajar menerima kenyataan. Belajar menulis kembali, satu hobi yang bertahun-tahun telah saya tinggalkan. Tapi kemudian, dari sinilah saya menemukan caranya. Di mana ketika saya menulis, Tuhan seolah membukakan jalan menuju kebaikan dan menjauhi keburukan.

Saya semakin jauh dari orang-orang di masa lalu yang pernah mengecewakan. Tapi kemudian saya bertemu dengan orang-orang baru yang mau menerima keadaan saya yang telah berbeda. Mungkin, inilah saatnya saya untuk berdamai dengan masa lalu. Masa lalu itu hadir bukan untuk disesali apalagi diratapi. Masa lalu hadir untuk menjadi pelajaran agar kita tak jatuh ke lubang yang sama. Masa depan yang baik tidak hanya milik mereka yang hari ini terlihat baik. Masa depan yang baik adalah untuk mereka yang mau terus belajar memperbaiki kesalahan. Karena pada dasarnya, hidup ini adalah tentang belajar dan belajar.

(vem/nda)
What's On Fimela