Untuk Kawan yang Pernah Membenciku, Semoga Tuhan Melembutkan Hatimu

Fimela diperbarui 09 Mei 2018, 19:30 WIB

Setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri untuk menjadi lebih baik. Meski kadang harus terluka dan melewati ujian yang berat, tak pernah ada kata terlambat untuk selalu memperbaiki diri. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Vemale Ramadan 2018, Ceritakan Usahamu Wujudkan Bersih Hati ini. Ada sesuatu yang begitu menggugah perasaan dari kisah ini.

***

Kisah ini berawal saat aku memilih untuk cuti kuliah selama satu semester karena suatu hal. Sebelum itu aku berkawan dengan dua orang teman, kami berasal dari kota dan SMA yang sama. Kebetulan di perguruan tinggi saat itu aku dan mereka berada pada jurusan dan kelas yang sama. Kebetulan yang kesekian kalinya aku dan mereka adalah teman satu kos, satu di antaranya bahkan menjadi teman satu kamarku.

Aku senang sekali mengetahui hal itu, karena dengan begitu aku tidak perlu susah payah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, aku pikir mereka dapat menjadi teman baikku. Di tempat kos, kami biasa sharing apapun, mencoba berbagi apapun yang kami punya kepada siapapun. Semuanya berjalan baik-baik saja meski terkadang tidak jarang aku dan teman sekamarku cekcok, tapi bagiku hal itu suatu hal yang biasa dalam pertemanan karena masing-masing dari kami memiliki keinginan yang tidak sama.

Seringkali aku merasa kecewa pada teman satu kamarku, karena hal-hal sepele. Dia mungkin berpikir aku adalah anak pemalas yang tidak mau mengerjakan hal yang seharusnya dilakukan secara bergantian, nanak nasi misalnya. Tapi bukan tanpa alasan aku seperti itu. Terkadang belum hilang penat sepulang kuliah, belum juga ganti baju  bekas kuliah, aku mengambil panci magic com dengan maksud untuk menanak nasi, aku masak nasi dengan takaran air yang menurutku pas, aku menunggu hingga pada akhirnya nasi matang, belum sempat aku mengambil nasi itu tetiba datanglah temanku dari membeli lauk, dia intip magic com, dia merasa nasinya kurang lembek jadilah dia tambahkan air lagi pada nasi yang sudah matang agar nasinya mirip seperti bubur. Tidak sekali dua kali seperti itu, aku kecewa, merasa tidak dihargai usahaku menanakkan nasi untuknya hingga pada akhirnya aku memilih untuk tidak lagi menanak nasi untuk kami berdua.

Aku mengambil keputusan untuk ikut join nanak nasi di kamar sebelah, karena memang waktu itu satu kamar hanya diizinkan membawa satu magic com saja, daripada menyimpan kecewa dalam dada maka aku lebih memilih mengalah.

Tak terasa 2 semester berlalu, di semester ketiga aku memilih cuti. Di semester ke-4 aku kembali aktif di perkuliahan. Aku berpikir mereka masih menjadi temanku saat aku kembali kuliah. Ternyata aku salah. Keduanya meninggalkanku, mereka memilih berteman dengan "gang" barunya. Jangankan menyapa saat bertemu, menganggapku ada di depannya saja sepertinya tidak mereka lakukan.

Kedua temanku asyik mengumbar kebahagiaannya bersama teman-teman barunya di depanku. Mereka mengacuhkan aku, tidak juga mempedulikan bagaimana perasaanku. Awalnya aku merasa kecewa, sedih dan hancur, tapi aku berusaha menghibur diri. Aku meyakinkan diri bahwa aku bisa melewati masa kuliah ini meski harus sendirian, tanpa teman.

Kubangun harapan-harapan untuk dapat lulus tepat waktu sama seperti mereka meskipun aku telah mengambil cuti satu semester lamanya. Setiap kekecewaan berusaha mengusik, setiap itu pula aku berusaha keras mewujudkan apa yang menjadi harapanku.

Alhamdulillah, meski cuti satu semester aku tetap bisa lulus tepat waktu sama seperti mereka. Setelah lulus aku bekerja di sekolah swasta, sedang kedua temanku tadi bekerja di sekolah negeri di tempat asal kami. Tapi bagiku tak masalah, karena tujuanku adalah mengabdikan diri untuk anak-anak generasi penerus bangsa.

Saat itu hal yang paling mengerikan bagiku adalah, aku merasa teman sekamarku berusaha menjatuhkan mentalku dengan dalih care dengan masa depan karierku. Dia selalu saja berkata bahwa sekolahku bukanlah sekolah yang nyaman, harapan menjadi pegawai negeri tidak ada, dll. Aku sempat takut tiap kali ada acara yang mengharuskanku bertemu dengannya.

Semakin lama, aku semakin tahu bagaimana sikapnya kepada aku. Akhir-akhir ini teman satu gengnya selalu cerita bagaimana dia selalu berusaha menjelek-jelekkan aku saat zaman kuliah, membujuk dan merayu yang lain agar tidak berteman denganku dan menganggapku sebagai saingannya dalam hal apapun. Awalnya aku kecewa, ingin marah. Tapi pada akhirnya aku lebih memilih untuk diam-diam mendoakannya agar ia diberikan kelembutan hati, pada akhirnya pula aku berusaha menaklukkan hatiku sendiri agar tidak menjadi pendendam yang dapat memperburuk keadaan.

Teruntuk temanku yang padamu aku tidak pernah menyimpan dendam yang memburu, semoga Tuhan melembutkan hatimu. Tidak mengapa kau enggan berteman denganku, asal kau dapat berdamai dengan hatimu. Karena kau harus tahu, bahagia itu keadaan di mana kau bisa menaklukkan egomu. Maafkan aku, jika aku pernah melukai hingga kau terlihat tidak begitu suka padaku.

(vem/nda)
What's On Fimela