Jangan Takut Berumah Tangga, Sebab Rezeki Sudah Ada yang Mengatur

Fimela diperbarui 07 Mei 2018, 19:30 WIB

Saat di SMA aku mulai memikirkan bagaimana mimpi dan impianku. Menjadi anak yang tidak merepotkan dan dapat membanggakan orang tua adalah tujuan terbesarku. Jadi mulailah aku merencanakan semua mimpiku. Dan awal dari semua impianku adalah aku harus kuliah.

Di dalam benakku, aku harus memilih jurusan yang nantinya akan menghasilkan uang banyak dan mudah mendapatkan pekerjaan. Kenapa? Karena keadaan ekonomi keluargaku, aku ingin segera bisa membantu orang tuaku. Akhirnya aku memilih Teknik Sipil, meninggalkan cita citaku dulu jadi dokter. Ya, banyak bukan anak kecil dulu yang bercita cita jadi dokter? Bisa banyak membantu orang dan selalu memakai baju putih putih yang bersih kelihatan mentereng banget. Tapi biaya kuliahnya juga mentereng  yang susah akan dipenuhi oleh orangtuaku.

Awalnya aku mendaftar kuliah di Solo, kota dekat tempat tinggalku, karena memperhatikan segi biaya tidak perlu ngekos kalo kuliahnya dekat. Tapi ternyata aku tidak diterima. Akhirnya pilihanku jatuh ke universitas di Semarang, awalnya ibuku tidak menyetujui pilihanku tersebut karena cukup jauh dari tempat tinggalnya dan harus ngekos kalau disana. Tapi bukankah rezeki sudah ada yang mengatur insyaallah akan ada jalan, begitulah caraku meminta izin dari ibuku. Dan alhamdulillah aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang dengan mengambil jurusan teknik sipil.

Setelah diterima yang harus dipikirkan setelahnya adalah mencari kos. Ternyata tidak semudah yang aku bayangkan, mencari kos yang murah dan nyaman tidak semudah itu. Tapi lagi lagi kuasa Allah, ternyata ada salah satu anak budheku yang punya rumah di dekat kampus tersebut dan aku bisa tinggal di sana. Kebetulan juga istri dari anak budheku tinggal sendiri di rumah tersebut suaminya kerja di Jakarta. Alhamdulillah lagi lagi kuucapkan untuk segala kebetulan dan kemudahan yang diberikan Allah kepadaku.

   

Bangku kuliah ternyata tidak semudah yang aku duga, apalagi di Teknik Sipil. Kuliahnya lumayan susah dengan tugas bejibun. Harus begadang dan harus tetap belajar, tugasnya pun perlu asistensi ke asisten dosen baru bisa dinilai kedosen. Harus pintar bagi bagi waktu. Saat kuliah aku juga ikut dalam organisasi mahasiswa, buat ngasah soft skill dan nambah temen.

Selain beberapa kesibukan diatas aku juga part time, ngelesin anak sma. Alhamdulillah gajinya lumayan buat uang jajan harian aku, karena memang ngerjain tugas perlu banyak biaya dan aku nggak mau ngerepotin orang tua terlalu banyak. Setelah 5 tahun kuliah akhirnya aku bisa lulus dan membanggakan orangtua, begitu bangganya aku ketika orangtuaku bisa maju ke depan mimbar dan bersalaman dengan dekan fakultasku.

 

Jakarta adalah kota tujuan pertama untuk pekerjaanku. Ibu kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Di sana aku bekerja di sebuah kantor konsultan yang tidak besar tapi alhamdulillah nyaman buatku. Teman-teman yang menyenangkan dan men-support aku, teman-teman yang begitu peduli padaku, tak ada dalam benakku bahwa Jakarta itu kejam Jakarta sangat menyenangkan seperti kota kelahiranku. Tak lupa aku mengucapkan syukur selalu atas limpahan rezeki untukku, bukankah rezeki tidak harus berwujud uang, teman yang baik pun adalah rezeki.

Ternyata waktuku untuk di Jakarta tidaklah lama, 2 tahun berselang akhirnya aku menikah dan meninggalkan Jakarta. Pertemuanku dengan suamiku pun cukup unik. Kami sama-sama menyukai klub bola Arsenal dan sama-sama masuk dalam satu fans base di kota asalku. Awal perkenalan kami hanya lewat WhatsApp grup tanpa bertemu.

Alhamdulillah kami cocok, karena memang dari awal komitmen kami mencari pendamping hidup akhirnya berakhirlah hubungan kami menjadi hubungan pernikahan. Setelah menikah dengan suami aku diboyong ke Bali, karena suami tugas di sini. Sehingga aku harus resign dari kantor dan menjadi ibu rumah tangga.

Awal memutuskan menjadi ibu rumah tangga sangatlah berat, kenapa? Karena aku sudah tidak bisa lagi membantu keluargaku di rumah dengan uang gajiku, belum lagi banyak cemoohan dari kanan kiri, “Sarjana kok cuma di rumah?" “Duh sayang ijazahnya cuma nganggur aja," “Kuliah mahal mahal kok cuma di rumah akhirnya, dari dulu mbok ya ndak usah kuliah buang buang uang,” dan lain sebagainya.

Sedih? Pastinya. Karena cemoohan itu bukan hanya dari orang luar tapi anggota keluarga sendiri yang terkadang membuat hati semakin sedih. Tapi bukanlah karier terbaik seorang ibu itu menjadi ibu rumah tangga? Bukankah madrasah terbaik seorang anak adalah ibunya yang berpendidikan? Gaji yang didapat ibu rumah tangga bukan lagi dari manusia melainkan langsung dari Allah. Apakah aku tidak khawatir akan keadaan ekonomi di rumah? Tentu saja khawatir tapi sekali lagi rezeki itu datang dari Allah, insyaallah tanpa aku bekerja pun selalu akan ada rezeki untuk orangtuaku.

Menjadi ibu dan istri adalah kebahagiaan yang paling indah yang diberikan Allah untukku. Melihat anakku tumbuh setiap harinya, menunggu ketika suamiku pulang kerja adalah nikmat. Mungkin banyak yang ingin seperti aku, dan banyak pula yang akan mencemoohku, tetapi bukanlah hidup adalah sebuah prioritas?

Mana yang menurutmu paling penting dan paling membuatmu bahagia, lakukanlah dan jangan pernah menyesal karena mengambil keputusan itu. Aku bukannya meninggalkan impianku, tapi aku menggapai impian yang lebih tinggi yang lebih membahagiakanku.

(vem/nda)
What's On Fimela