Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Namaku Nira, seorang gadis bertubuh mungil. Tepat 27 tahun yang lalu aku dilahirkan ke dunia ini. Lahir sebagai anak sulung, aku memiliki 5 orang adik. Walaupun kami hidup dalam keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan, ayah dan ibu tidak pernah mengeluh di depan kami.
Dengan usia yang sudah melewati seperempat abad, banyak kisah yang sudah aku lalui, entah itu menyenangkan maupun menyedihkan. Semenjak kecil suka duka selalu mewarnai setiap perjuangan yang aku lakukan. Satu hal yang selalu kuingat bahwa aku sangat ingin menjadi orang yang sukses. Aku sangat ingin melihat rona bahagia di wajah ayah dan ibu serta adik-adikku kelak.
Tahun 1998, aku mulai memasuki sekolah dasar. Jarak sekolah ke rumahku cukup jauh dan setiap harinya aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki bersama teman-teman. Meski terkadang sangat lelah, namun aku tetap semangat demi menggapai mimpiku. Aku memanfaatkan waktu yang ada untuk terus belajar dan membaca buku-buku pelajaran. Semua perjuanganku pun membuahkan hasil. Selama 6 tahun menuntut ilmu di sekolah dasar, aku selalu mendapatkan peringkat pertama. Walaupun demikian, ada hal-hal yang pernah aku lakukan yang mungkin bagi sebagian orang akan malu untuk melakukannya.
Tepat saat duduk di bangku kelas 5. Selesai semester, tiba saatnya bagi siswa untuk membawa hasil kerajinan tangan. Saat itu, aku mulai gelisah. Apa yang harus aku bawa ke sekolah sementara aku tidak mau membebani orang tua. Sampai di rumah, aku membuka lemari pakaian ibuku. Saat itu aku menemukan sebuah kain serbet yang direnda namun pada pinggirannya sudah ada yang sobek. Aku mencoba menjahitnya. Keesokan harinya aku membawa kain serbet itu ke sekolah. Pada saat aku memberikannya kepada ibu guru, beliau sedikit tersenyum mungkin beliau mengetahui bahwa itu bukanlah serbet yang baru karena hasil jahitanku memang kurang rapi.
Hal yang sama juga terjadi pada saat aku duduk di bangku kelas enam. Aku tidak lagi membawa kain serbet sebagai hasil kerajinan tangan melainkan sapu lidi. Semua teman-temanku waktu itu membeli sapu. Namun ibuku tidak mempunyai uang. Kebetulan di rumah ada sapu lidi yang dibeli sebulan yang lalu tapi sudah kotor. Aku mengambilnya kemudian kusikat sampai bersih. Keesokan harinya kubawa sapu lidi itu ke sekolah.
Setelah tamat di sekolah dasar, aku melanjutkan pendidikan ke salah satu sekolah menengah pertama yang ada di kotaku. Setiap harinya aku berangkat ke sekolah dengan menaiki kendaraan umum. Tidak terhitung berapa kali ibuku harus meminjam uang tetangga pada saat aku akan berangkat ke sekolah dan tidak memiliki ongkos mobil.
Berkat prestasi yang aku dapatkan selama menempuh pendidikan di SMP, pada tahun 2007 aku dinyatakan bebas tes memasuki sekolah menengah atas terbaik di kotaku. Selain itu, aku juga diberikan beasiswa yang cukup meringankan beban kedua orangtuaku. Kesempatan itu tidak kusia-siakan. Aku semakin giat belajar. Memasuki tahun 2010 aku mulai gelisah. Setelah lulus SMA nanti, akankah aku bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi seperti teman-temanku yang lain? Masalah biaya menjadi beban pikiranku, karena aku tahu ayah dan ibu tidak akan mampu menyekolahkan aku lagi karena kelima adikku juga butuh biaya sekolah. Kalau aku memaksakan diri melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, adik-adikku pasti akan putus sekolah.
Setiap saat pergumulan dan harapanku itu kubawa dalam doa. Benar saja, Tuhan mengabulkan doaku. Sebuah universitas negeri terkenal mengundang siswa-siswi berprestasi di sekolahku untuk mendaftar sebagai calon mahasiswa melalui jalur bebas tes. Meskipun tidak terlalu yakin untuk diterima, aku mencoba mendaftar. Selang tiga bulan kemudian, aku mendapat telepon dari pihak sekolahku. Aku tidak pernah membayangkan akan diterima di universitas yang sangat diidam-idamkan oleh banyak orang. Yang tak kalah menggembirakannya, aku mendapat beasiswa penuh selama masa kuliah 4 tahun.
Dengan wajah yang sangat berbinar-binar, aku menyampaikan berita tersebut kepada ayah dan ibu. Mereka tak kuasa menahan haru hingga ibuku menangis sambil merangkulku. Tepat pada bulan Juli tahun 2010 aku berangkat ke ibukota provinsi tempat universitas itu berada. Selama menuntut ilmu di bangku kuliah, aku tinggal di asrama kampus.
Ketika berada dalam ruang kelas, terkadang aku berpikir betapa beruntungnya aku bisa memperoleh ilmu dari dosen-dosen yang sangat hebat. Aku tahu di luar sana begitu banyak orang yang ingin berada di posisiku. Oleh karena itu, meskipun jauh dari orangtua aku tidak pernah membuang-buang waktuku dengan keluyuran tidak jelas. Aku selalu menanamkan dalam hati betapa harapan kedua orangtuaku agar kelak aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka.
Setelah 3 tahun 7 bulan, aku berhasil menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah. Gelar S1 dapat kuraih dengan predikat kelulusan cumlaude. Hari wisuda yang kutunggu-tunggu pun tiba. Dengan rasa haru kupeluk erat ayah dan ibuku. Aku tahu ada kebanggaan luar biasa yang mereka rasakan. Tidak hanya kedua orangtuaku, tetapi juga kelima adikku dan juga keluarga begitu bergembira menyalamiku.
Saat ini aku telah diterima bekerja di sebuah instansi pemerintah di kotaku. Perjuangan itu tentu tidak mudah. Banyak hambatan yang menghalangi. Tetapi ketika aku memilih untuk terus bersabar dan tidak mudah putus asa, akhirnya aku mampu melalui semua proses hidupku.
- Berulang Kali Gagal Menjalin Cinta Bisa Membuat Seseorang Takut Menikah?
- Menikahi Pria yang Punya 8 Anak, Aku Kehilangan Senyum Ayahku
- Bergelar Sarjana Jadi Ibu Rumah Tangga, Nggak Masalah Kok!
- Jomblo Itu Pilihan, Bukan Kutukan
- Meski Tidak Bisa Menyelesaikan Kuliah, Selalu Ada Jalan Wujudkan Mimpi Lain
(vem/nda)