Kalau Bisa Bahagia Bersama, Untuk Apa Berkorban Lebih Lama?

Fimela diperbarui 28 Apr 2018, 19:30 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya, membuat aku mendapatkan perlakuan spesial dan keterbatasan pilihan hidup. Semua langkah yang aku ambil selalu dari inisiatif ayah dan bunda. Beberapa kali melakukan perlawanan akhirnya aku menurut juga. Tapi sejauh ini aku bahagia-bahagia saja. Tidak tertekan apalagi sampai depresi. Karena selalu ada kemudahan setelah aku merelakan yang tidak jadi aku dapatkan.

Tepat di hari ulang tahunku yang ke-24 aku menikah dengan lelaki yang pernah kutolak dan kuharap kembali setelah bunda menyesalkan pilihanku menolaknya. Bunda bilang dia adalah lelaki yang pas. Bak pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua hari setelah kutolak, ia kembali usaha. Tak pikir panjang kuterima lah dia.

Sesuai dengan permintaan bunda, kami memilih tempat tinggal yang tak jauh lokasinya dengan rumah bunda dan sekolah yang dimilikinya. Dari aku SMA bunda sudah menjadikan aku calon tunggal penerus sekolah yang dibangunnya sebelum aku menatap dunia.

Suamiku sesuai harapan. Sesuai ucapan bunda, ia memang lelaki yang pas. Ya, pilihan bunda selama ini memang selalu tepat sasaran. Aku menikah dengan pria baik hati, tinggal di tempat yang ditentukan, dan mengajar di sekolah yang akan menjadi warisan. Semua berjalan baik, bunda senang dan aku tidak keberatan.



Namun, segala sesuatu memang ada waktunya. Setelah aku memiliki anak, aku merasa kerepotan mengurus anakku sekaligus mengajar dari pagi hingga petang. Terlebih aku membawa anakku ke sekolah. Karena aku terlalu takut menitipkannya dengan babysitter di rumah. Selama mengajar ia diasuh oleh babysitter di dalam kantor.

Seusaha mungkin kusiapkan ASI setiap hari. Melihat botol-botol asi terisi penuh saja membuatku bahagia saat itu.

Hingga tibalah masa-masa sulit. Anakku sakit, aku izin beberapa hari. Setelah anakku sembuh, aku yang sakit. Tapi karena sebelumnya aku sudah izin, aku tidak nyaman untuk izin lagi. Suamiku mulai mengeluarkan wacana agar aku berhenti saja. Sejujurnya, aku pun menginginkan hal itu. Tapi bagaimana dengan bunda?

Sekolah yang dipimpinnya bertahun-tahun mulai menorehkan prestasi setelah aku mengajar di sana. Bunda selalu bilang sulit mencari guru. Akhirnya aku bertahan dan suamiku masih mengizinkan.

Susah payah jadi pejuang ASI selesai juga setelah dua tahun. Anakku tumbuh sehat, cerdas, dan ceria. Lalu timbul masalah baru, tiba-tiba pengasuhnya minta berhenti. Anakku ikut masuk kelas dan mencari perhatian saat aku mengajar. Berhari-hari tanpa pengasuh di sekolah, membuat energiku terkuras. Yang muncul kemudian adalah emosi.



Anakku berkali-kali kumarahi supaya mengerti aku. Tapi dia hanya anak usia dua tahun yang merengek meminta haknya. Semenjak pengasuhnya berhenti dan tidak mau dengan pengasuh pengganti, anakku semakin manja, aku semakin repot, dan suamiku semakin tegas untuk memintaku berhenti.

Pertumbuhan anakku hanya akan terjadi satu kali. Sedangkan membahagiakan bunda bisa dengan cara lain. Ini langkah besar pertamaku berhenti mengekor bunda. Meniti jalanku sendiri untuk kebaikan bersama. Semuanya lebih baik setelahnya.

Tanggung jawabku sebagai anak, istri, dan ibu lebih ringan untuk dipikul. Tiap Jumat kuusahakan datang ke TK untuk memberikan rencana pembelajaran mingguan pada guru pengganti. Aku punya waktu lebih banyak untuk bermain bersama anakku, dan mencoba resep baru untuk membahagiakan suamiku.

Kita memang tidak bisa bahagia tanpa membahagiakan orang yang kita cintai, namun cara membahagiakannya tidak harus melulu dengan menggugurkan kebahagiaan kita. Jika memang bisa bahagia bersama, untuk apa berkorban lebih lama?






(vem/nda)
What's On Fimela