Posisi dan Jabatan Itu Hanya Sementara, Jangan Korbankan Kebahagiaanmu

Fimela diperbarui 27 Apr 2018, 10:20 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Cerita berawal saat saya berencana untuk belajar bahasa Belanda di mana dasar saja saya belum tahu. Rada nekat memang ketika saya mendaftarkan diri ikut les intensif (setiap hari Senin sampai Jumat). Begitu melihat jadwal les, entah kenapa mata saya sudah sreg dengan jam 8 pagi. Sedikit mikir kalau sudah siang dan sore mungkin energi saya sudah mulai habis dan terkuras sehingga proses belajar jadi tidak bisa dinikmati. Done pilihan jam pertama lesnya. Diawali dengan hari pertama, yes terlambat/ Ya mau bagaimana lagi. Oke, lengkaplah penderitaan saya. Apalagi gurunya terkenal galak dan serius dan tidak mentolelir murid les yang tidak mengerti. Wow, jadilah saya masuk anggota tim planga-plongo di kelas intensif  les bahasa Belanda.

Pagi buta sebelum jam 8 pagi, kedutaan Belanda sudah ramai dengan antrean orang yang mau masuk ke dalam halaman kedutaan. Orang-orang tersebut bukan cuma datang untuk mengurus visa saja tapi juga harus les seperti saya ini. Deretan pintu masuk pemeriksaan barang dan tas yang bisa panjang dan lama karena harus diperiksa satu-satu. Bagusnya ada dua pintu masuk jadi orang yang mau les seperti saya tidak harus tunggu setengah jam buat antri. Kalau sudah masuk di pagar kedutaan ya sudah harus mengikuti peraturan negeri Belanda walaupun posisinya ada di Indonesia.



Ramainya kelas terasa begitu masuk padahal ada juga kelas lain dengan waktu yang sma dengan kita tapi kenapa kelas kita ini yang selalu rame ya? Pertanyaan yang bikin bingung tapi tidak mau jawab juga lah. Kelas berisi 12 orang (2 lelaki dan 10 perempuan). Kelas ini intensif mulai jam 7 pagi sampai 12 siang. Jadwal dan nama guru yang mengajar sudah ditampilkan dan semua murid les memegang jadwal itu. Nah jadwal nama pengajar yang selalu rame begitu jam pelajaran les harus berganti. Biasa ada guru yang dihindari sama murid les karena terlalu galak. Guru itu akan marah kalau murid yang ditanya tidak bisa jawab.

Saya selalu mempunyai trik lebih baik menjawab daripada diam sama sekali dengan guru galak ini. Ternyata trik ini jitu juga, saya tidak dicaci walaupun sebenarnya tidak tahu. Bagusnya guru yang mengajar bergantian, kalau tidak berganti bisa dibayangkan bagaimana bosannya ketika guru yang mengajar tidak enak. Hm, boro-boro ada yang mau masuk pelajarannya. Yang ada di otak saya cuma bahasa Inggris kalaupun tahu pengucapannya selalu salah dan bermasalah. Ampun, sepertinya jadi siswa itu membuat bete deh. Nah, jadwal pulang les ini biasanya yang paling kita semua tunggu. Berhubung waktunya makan siang biasanya kita makan siang bareng. Biasa deh pas break janjian buat makan siang bareng. Ada yang bawa makan dari rumah, seperti saya karena lebih irit. Well, kalau boleh jujur keuangan terbatas juga hehe.

Kedutaan selalu menyediakan agenda acara yang seru buat diikuti salah satunya pemutaran film. Buat para siswa les yang belajar bahasa bisa melatih berbicara dan juga tambahan beberapa kata. Oke juga lah acara yang diadakan di kedutaan Belanda. Kebanyakan teman yang belajar di kelas intensif mereka ingin melanjutkan sekolah ke Belanda, ada juga yang ingin menikah dengan warga negara Belanda sedangkan saya cuma mau tahu saja bahasa Belanda.



Sekali lagi kalau mau jujur, saya terobsesi melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih atas lagi, apa daya biaya tidak ada. Mau coba beasiswa tapi belum terlaksana karena minder dengan nilai saat masih kuliah dulu yang pas-pasan. Inget apa kata bijak yang mengatakan ,“Penyesalan itu pasti datangnya belakangan." Buat saya penyesalan itu tidak ada karena kalau disesali dan tangisi juga waktu tidak bisa terputar kembali. Yang lebih baik itu cari bagaimana solusinya.

Balik ke nilai kuliah yang pas-pasan. Bagaimana tidak pas-pasan, dulu kerjanya main terus, tidur pagi, belajar saja pas mau ujian dan kalau niat. Aduh luar biasa deh saya saat itu. Alasan inilah yang membuat niat saya semakin besar untuk melanjutkan kuliah S2. Saya mau merasakan tanggung jawab sebagai seorang mahasiswi dengan belajar. Buat saya belajar itu tidak ada batas usia, selama saya mau dan bisa, ya kenapa tidak dijalankan.

Sangat besar memang niat saya tapi ‘Ah lagi-lagi tapi’. Hellooo, kamu itu berkhayal atau apa ya? Kalimat itu yang menyadarkan lamunan saya. Apa lagi begitu tahu teman-teman dulu yang les bahasa Belanda, sudah pada berhasil. Ada yang kembali ke Indonesia setelah lulus S2, ada yang masih melanjutkan S2 di Swiss setelah S1 di Belanda, ada yang sudah bahagia dengan suami dan tinggal di Belanda. Sedangkan saya masih di Jakarta dan berkutat dengan semakin macetnya kota Jakarta.

Awal dari rasa bosan tinggal di Jakarta inilah yang membuat saya menerima tawaran untuk melamar bekerja menjadi seorang guru di Lampung. Oh, wow! Tolong jangan kaget dengan keputusan saya ini ya. Namanya juga sudah bosan dengan suasana Jakarta. Kenapa enggak saya ambil tawaran ngajar ini? Itu saja sih yang ada di pikiran saya. Apa lagi saya mau belajar tinggal jauh dari keluarga karena selama ini saya selalu tinggal di dekat keluarga. Sepertinya challenge seperti ini yang saya tunggu.



Mumpung ada di depan mata, saya ambil tawaran ini. Saya kirim lamaran dan ternyata direspon baik oleh pihak sekolah. Saya mengikuti tes di bulan Desember akhir (lupa tanggalnya, kira-kira dua puluhan sebelum natal). Saya berangkat ke Lampung dan mengikuti tes dari awal sampai akhir. Di akhir, saya diwawancarai pemilik sekolah. Deal dengan gaji secara lisan bukan tulisan. Poin ini sengaja saya angkat karena bisa jadi pelajaran buat semua yang baca. Sekali lagi untuk salary minta tulisan (hitam di atas putih).

Saya juga memiliki beberapa teman dekat. Salah satunya seorang pria yang menurut saya ‘seru’ berteman dengan pria satu ini karena selalu ada warna di hari-hari saya seperti warna kuning ketika dia membantu saya mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai tugas saya sebagai seorang guru, dan tidak semua warna itu indah. Ada juga warnanya yang berubah jadi ungu pekat karena kita berantem. Masalahnya sih sepele tapi ya berkelanjutan.

Lumayan lama juga kita berantem dan tidak ada komunikasi dalam waktu yang cukup lama. Tapi pria yang maaf saya harus rahasiakan namanya justru memberikan support positif ketika saya bingung datang atau tidak ke Lampung untuk tes dan wawancara. Justru dia yang bilang ke saya kesempatan itu tak datang dua kali, ayo ambil dan pergi ke Lampung.



2 Januari seharusnya menjadi hari yang terpenting buat kami berdua bertemu setelah selama ini cuma bisa komunikasi dengan bantuan teknologi yaitu handphone. Tapi memang sang sutradara (Tuhan) belum mengizinkan kami berdua bertemu. Hari itu saya berada di dalam ferry menuju Lampung sedangkan dia berada di bandara Soekarno Hatta untuk melanjutkan perjalanan ke Bali dalam rangka perayaan ulang tahun sang ibu tercinta yang ke 65. Coba bayangkan bagaimana perasaan kamu sebagai seorang perempuan di posisi ini?

5 Januari hari pertama saya masuk ke sekolah dan bekerja di sana. Sebagai orang yang baru di kota yang baru, saya tidak memiliki saudara yang bisa dikunjungi. Sekali lagi saya datang di kota ini dengan tidak ingin orang tahu kalau saya orang Jakarta. Buat apa sih memegahkan diri, tidak penting buat saya. Selayaknya orang baru di tempat kerja yang baru pasti akan diam-diam dan sontak jadi pendiam. Wow, syok dan kaget berasa deh begitu satu sekolah khususnya guru,  kepala sekolah serta semua pegawai sudah tahu kalau saya dari Jakarta. Hadoh, mau teriak nggak mungkin di sekolahan. Jadi ya cuek saja lah.

Saat mulai jenuh dan suntuk, saya ingat betul itu bulan Februari untuk pertama kalinya saya dan Ting berkenalan di perpustakaan sekolah. Ting ada di sekolah dari negeri China untuk mengajar bahasa Mandarin. 65% siswa-siswi di sekolah ini memang melanjutkan sekolah ke luar negeri. Sekolah ini mengambil literatur dari Cambridge University. Guru yang datang dari China di kontrak dua tahun untuk mengajar.

Ting memiliki wajah yang sangat bersih. Dia sangat berhati-hati dalam penggunaan minyak sayur di setiap makanan yang akan disantapnya. Bahkan dia tidak suka memakan gorengan karena sudah melihat proses pembuatan gorengan. Saat meeting guru biasanya menu gorengan menjadi hidangan pokok. Begitu sadar kalori lemak di tubuhnya mulai naik, Ting akan menyantap sayur dan buah lebih banyak dengan mengurangi porsi nasi. Hidup sehat ala Ting sepertinya patut ditiru oleh semua perempuan Indonesia termasuk saya. Ting menjadi teman dan sahabat saya di sekolah ini karena sama-sama tidak memiliki saudara di Lampung.

Menjelang weekend kami belanja kebutuhan untuk seminggu, semua dilakukan dengan jalan kaki karena kami tidak memiliki kendaraan. Pulangnya baru kita naik angkot. As info saja ini, angkot di Lampung berbeda dengan di Jakarta loh. Pergi naik sekali dan pulangnya bisa naik dua kali, begitu juga sebaliknya. UMR masing-masing daerah berbeda-beda, begitu juga UMR Lampung dan Jakarta berbeda. Untuk mengatasi masalah keuangan yang minim, saya dan Ting membeli ubi ungu yang dijual di depan sekolah. Biasanya setelah membeli menggunakan uang saya, Ting akan memberi uangnya ke saya begitu seballiknya bergantian. Ting mengukusnya di rumah milik sekolah yang disediakan untuk guru dari luar negeri. Tiap pagi, kami berdua sarapan ubi ungu yang sudah dikukus saat break time.

Di sekolah ini juga saya bertemu dengan seorang guru yang ternyata orang Jakarta. Sebagai sesama orang Jakarta akhirnya kami kenalan dan akrab walaupun saat itu yang saya tahu dari Martha, dirinya sudah tidak betah dan mengajukan resign. Perdebatan antara guru tersebut terjadi dan pihak sekolah menuntut ganti rugi dari Martha sebesar Rp5 juta karena melanggar kesepakatan pada saat penanda tanganan kontrak kerja. Martha harus menyelesaikan masa kerjanya sesuai tanggal yang ada di kontrak. Hm, tambah bingung saya dengan sekolah ini. Ada apa dengan sekolah? Birokrasi dan segala tetek-bengeknya.

Sebagai guru baru, saya cuma bisa diam. Bulan berganti kok tambah ke sini tambah tidak nyaman ya? Itu saja yang terbesit di pikiran saya. Kok semakin banyak dengar cerita dan keluhan para guru ya? Saya berusaha cuek dan tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekolah ini dan permasalahannya. Tapi kok saya tambah semakin tidak damai sejahtera ya di sekolah ini. Memasuki bulan-bulan berikutnya kok jadi tambah aneh dan segala gerak-gerik saya semakin terbatas.

Soal salary juga tak adil, saya seharusnya full di bulan ketiga (Cuma janji manis) sampai bulan keenam saya tidak mendapatkan sesuai yang dijanjikan. Soal salary yang seharusnya langsung ke pemillik sekolah harus melalui kepala sekolah dan HRD yang jelas-jelas deal di awal bukan dengan mereka. Oke, fixed keputusan saya sudah bulat, “Saya memillih menikmati hari saya."

Kembali ke Jakarta adalah keputusan yang terbaik. Saya menikmati mengajar tetapi saya tidak damai sejahtera mengajar di sekolah ini. Terbukti begitu kembali ke Jakarta saya masih mengajar private walaupun saya tidak mengajar di sekolah. Itu artinya saya sangat menikmati mengajar. As human having a lot of sins, saya belajar untuk memaafkan dan sampai dengan hari ini saya akhirnya bisa memaafkan pemilik sekolah. Saya percaya berkat itu tidak akan pernah kemana ketika kita berbuat baik.

Menjelang waktu-waktu terakhir saya mengajar, saya sengaja tidak memberitahu Ting kalau saya akan balik ke Jakarta di akhir semester. Ternyata respon dari Ting itu sangat di luar prediksi saya, dia benar-benar marah dan sempat memukul saya. Beberapa hari Ting mendiami saya walaupun saya berusaha mengajaknya bercanda. Suatu hari Ting datang ke saya dan mengatakan sangat sedih. Sampai Ting menangis. Ting cuma berpikir siapa temannya kalau saya tidak ada. Saya bilang kalau ada juga orang baik bernama Mitchell. Mitchell, guru biologi berasal dari Filipina. "Kamu berdua sama-sama dari  negara yang berbeda. Jadikan dia teman dan sahabat kamu selama kamu ada di Indonesia."

Akhirnya saya dan Ting bertemu lagi di acara selamatan apartmen seorang bapak paruh baya yang juga saya kenal dari Ting. Bapak Simon memberikan apartemennya untuk ditempati oleh Ting selama dia harus berada di Jakarta. Di sana juga saya bertemu dengan Mitchell. Senang melihat mereka berdua dekat dan bersahabat. Kadang kami juga bertemu dan mengadakan makan malam bersama begitu bapak Simon berada di Jakarta. Hubungan bapak Simon dan Ting juga dekat karena mereka sudah mengganggap seperti saudara.

Semoga cerita yang berdasarkan pengalaman pribadi ini bisa menginspirasi setiap orang yang membacanya.




(vem/nda)