Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Tuhan, aku siap bahagia!
Aku tidak ingin berkata bahwa hidupku benar-benar berat karena aku yakin setiap insan mempunyai ujian yang berbeda. Tingkat ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada makhluk-Nya disesuaikan dengan kemampuan mereka masing-masing. Sehingga, dari teori itulah aku berusaha untuk tidak meremehkan kesusahan yang dihadapi oleh orang lain dan tentu saja aku berharap, orang di sekitarku tidak memperkeruh suasana dengan menambah beban pikiranku dengan berbicara hal yang menyakitkan dengan kejadian yang aku alami saat ini.
Jika berbicara tentang sebuah pilihan berarti akan ada beberapa pertimbangan sebelum kita menentukan pilihan yang kita ambil. Permasalahan dari pilihan yang aku ambil sangatlah sederhana.
Ibu memberiku sebuah nama yang cukup indah, Amelia Gradis Taranita dan biasa memanggilku Adis. Konon, Adis adalah sebuah tokoh favorit di novel yang pernah ia baca dulu. Aku tidak tahu dan tidak pernah membaca novel yang ia maksud. Aku hanya berharap tokoh Adis dalam novel tersebut mempunyai kisah indah atau paling tidak berakhir indah.
Menjadi anak perempuan sulung dengan dua adik sungguh membuatku selalu memikirkan tentang kesuksesan, kemapanan, dan kebahagiaan. Apalagi sejak Ayah pergi untuk selama-lamanya pada tahun 2015 lalu. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan, terkadang hal itu membuatku menangis di malam hari ketika beranjak tidur. Aku merasa tidak siap dan sangat takut, entah apa yang membuatku takut.
Aku kuliah di perguruan tinggi swasta Malang sedangkan keluargaku berada di Tarakan. Terkejut ketika aku menerima telepon dari Ayah dengan suara terbata memintaku pulang ke kotaku. Ayah dan aku sangat jarang sekali mempunyai kecocokan, kami selalu bertengkar dan meributkan suatu hal walaupun itu sepele. Perginya aku ke Malang untuk kuliah merupakan kesepakatan keluarga yang diambil diam-diam supaya percekcokan di antara kami berkurang. Namun ternyata via telepon pun kami masih sering ribut bahkan hingga merembet ke keluarga besar.
Untuk itu ayah selalu melarangku pulang ke rumah meskipun itu libur lebaran, sebagai gantinya aku diharuskan ke rumah nenek. Aku adalah sosok yang keras kepala, aku menabung dari sisa uang bulanan untuk membeli tiket pesawat ke kotaku walaupun aku selalu tahu apa yang akan terjadi, yaitu sebuah keributan besar di antara kami.
Maka, aku selalu ingat saat ketika ayah memintaku pulang sebelum kepergiannya untuk pertama dan terakhir kalinya. Tanpa pikir panjang, aku segera menyelesaikan urusan akademikku dan memohon kepada beberapa dosen untuk memberikan aku tugas UAS take home. Walaupun beberapa dosen tidak memberikannya, aku sangat tidak peduli termasuk dengan IPK nanti.
Aku sampai di rumah pada malam hari, berencana pergi ke rumah sakit keesokan harinya. Besoknya, ayah sudah tidak dapat lagi melihatku, untuk mengenaliku pun butuh bantuan dari ibuku. Dikarenakan ayah sudah tidak bisa tertolong karena memang sudah jelas terlihat bahwa ayah mendekati ajal, akhirnya setelah hampir sebulan di RS ayah dibawa pulang ke rumah.
Beberapa hari kemudian, ayah meninggal. Suatu hal yang sudah pasti terjadi dalam waktu dekat dan harusnya aku bisa tegar. Tapi gagal, aku justru histeris pada waktu itu. Meskipun aku adalah anak yang paling sering berselisih paham dengan ayah bagaimana pun aku pernah menjadi putri kecilnya yang pernah ia sayang. Sama seperti keinginan anak perempuan kecil lainnya yang selalu menjawab ingin menikah dengan ayahnya di waktu TK dan pernah menjadikan ayah sebagai seorang raja bagiku.
Akhirnya Ibu menjadi tulang punggung keluarga sendirian, menyuruhku kembali ke Malang seusai liburan untuk tetap fokus pada kuliahku. Alhamdulillah aku lulus meskipun lebih lambat dari target, dengan dana minim dari hasil berjualan dan uang pensiun yang tidak seberapa ibu cukup pandai mengelola keuangan. Seringnya aku membuat ibu khawatir, menjadikanku pulang ke Tarakan untuk mencari pekerjaan berharap dari gajiku kelak aku bisa membantu ibu baik secara finansial maupun pekerjaan rumah. Selain itu, ibu juga berharap bisa berkumpul dengan ketiga anaknya.
Namun, masalah baru muncul! Hingga saat ini aku belum mendapatkan pekerjaan. Aku sudah berusaha bahkan bisa dibilang di luar batas kemampuanku. Jika aku sudah pasti mendapatkan pekerjaan via orang dalam, entah bagaimana caranya pekerjaan itu hilang begitu saja. Aku sampai mual mendengar nyinyiran orang-orang mengenai aku. Rasanya ingin saja aku berteriak bahwa aku tidak pilih-pilih pekerjaan, gaji berapa pun Insya Allah aku terima. Beberapa orang menyuruhku untuk merantau lagi keluar kota meskipun aku sudah berkali-kali bilang bahwa aku ingin menemani ibu dan mewujudkan keinginan ibu untuk berkumpul bersama ketiga anaknya.
Setahun lebih aku menganggur dengan berusaha membawa amplop kesana-kemari, interview di beberapa tempat yang hingga saat ini tak kunjung mendapat panggilan, hingga uang habis untuk remeh-temeh seperti cetak foto, fotocopy, nge-print CV, dan beli amplop. Tidak jarang dalam diam dan sepi aku menangis dan iri melihat teman-temanku yang mempunyai uang sendiri dan justru membantu orang tua mereka, sedangkan aku masih memeras keringat ibuku.
Hingga pada suatu hari, tanpa melamar pun aku mendapatkan pekerjaan. Pemilik perusahaan yang meminta aku berkerja di sana dan ia mendapatkan nomor ponselku dari temenku yang melamar di perusahaannya.
Sepengetahuanku, banyak yang tidak betah bekerja di sana karena bos yang bertindak semena-mena. Pada saat interview semua hal itu tidak nampak. Pemilik perusahaan itu seorang perempuan tua dengan senyum ramah dan sangat komunikatif. Setelah berdiskusi dengan temanku akhirnya aku menerima tawaran bekerja di situ meskipun ada beberapa kejanggalan yang aku rasakan, salah satunya adalah aku diterima dengan mudah sedangkan temanku masih harus menunggu konfirmasi selanjutnya dengan alasan dia tidak pernah menerima karyawan secara bersamaan.
Pada hari aku bekerja, semuanya terungkap! Senyum manis dan perkataan yang bos tersebut bicarakan palsu. Dia sangat semena-mena pada karyawan hingga menyebut mereka “kacung”, aku melamar dan diterima sebagai admin bahkan dia berkata bahwa anaknya yang akan mengajari aku software komputer namun beberapa saat aku menyadari bahwa di ruangan itu sama sekali tidak ada komputer dan hanya ada sebuah printer, aku bekerja tidak sesuai dengan perjanjian bahkan dia seringkali membentak dan memaki diriku meskipun aku tidak melakukan kesalahan. Aku selalu berpikir untuk bertahan dan bagaimana caranya menghindari bentakan, hingga pada suatu titik dia memperlakukan diriku di luar batas dan akhirnya aku resign dari perusahaan tersebut.
Aku pulang dengan tangisan karena merasa harga diriku terkoyak, meminta maaf pada ibu karena tidak jadi membuat dia menikmati gajiku. Aku merasa tertekan dan berpikir bahwa dunia ini tidak adil. Kenapa Tuhan memberikan aku hukuman seperti ini, apa salahku? Mengapa ini harus terjadi padaku? Apalagi yang harus aku lakukan, Tuhan?
Selama seminggu mengalami depresi yang lumayan berat, akhirnya aku menyadari bahwa Tuhan pasti akan memberikan rezeki di waktu yang tepat. Aku harus bersyukur karena memiliki seorang ibu yang meskipun dalam susahnya tidak menuntutku, selalu membelaku jika ada tetangga yang nyinyir kepadaku. Aku seharusnya bersyukur mempunyai adik yang selalu membuatku tertawa, meredam segala tangisanku dan bersyukur jika senyumku mulai merekah. Aku patutnya bersyukur mempunyai sahabat yang menasihati dan mengingatkan bahwa ujian ini pasti terlewati, Tuhan selalu punya rencana indahnya. Rezeki orang diberikan diwaktu yang berbeda, jangan pantang menyerah semua ada waktunya.
Bersyukurlah dengan segala hal yang kau miliki saat ini, bisa jadi ini adalah rezeki yang kita miliki dan belum tentu bertahan esok. Meskipun selalu bertengkar, setidaknya aku pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Setidaknya untuk saat ini, keluarga dan sahabatku adalah rezekiku yang sangat membahagiakan.
Hingga saat ini, aku berusaha mempertahankan pilihanku untuk mencari penghasilan di kota ini, meskipun sulit. Demi ibuku yang ingin kami berkumpul di rumah yang penuh kenangan bersama ayah. Berharap kami bisa hidup berbahagia dan menjadi keluarga besar di kota ini. Terima kasih Tuhan, hidupku asyik dan aku siap menerima reward atas ujianku selama ini!
- Dapat Suami dari Foto Medsos, Ada Kisah Unik Saat Jatuh Bangun Mengejarnya
- Pilihan Hidup Itu Terus Bertumbuh, Meski Lebih Memusingkan Saat Kita Dewasa
- Lanjut Kuliah Setelah Menikah Bukan Hal yang Mustahil, Kok!
- Kalau Belum Bisa Resign, Ya Sudah Nikmati Saja Pekerjaan yang Ada
- Hamil di Usia 15 Tahun, Bercerai Juga di Usia 15 Tahun
(vem/nda)