Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Kisah ini dimulai ketika aku masih kuliah dan memasuki semester akhir. Entah apa yang ada di benakku saat itu, aku menghubungi temanku untuk meminta nomor telepon salah satu teman lelakinya. Terlihat konyol memang, seorang wanita tanpa malu meminta nomor telepon seorang laki-laki. Awalnya hanya sekadar ingin mencari teman dan menghilangkan rasa bosan, tapi akhirnya berlanjut hingga sekarang.
Setelah aku mendapatkan nomor teleponnya, aku pun penasaran dan mencoba menyapanya melalui sebuah pesan. Sedikit malu awalnya, tapi aku berusaha untuk membuang jauh-jauh rasa malu itu. Dia membalas pesanku dengan ramah, berbeda dari apa yang aku bayangkan sebelumnya bahwa dia adalah tipe laki-laki yang dingin jika dilihat dari perawakannya.
Singkat cerita, tidak terasa kami mulai sering mengirim dan membalas pesan. Ada rasa senang yang tidak bisa aku ungkapkan saat dia membalas pesanku. Aku tertarik padanya, meskipun tidak pernah melihat wujudnya secara langsung, melainkan hanya lewat foto profil media sosialnya. Aku merasa nyaman dengannya meskipun tidak pernah bersandar di bahunya. Aku menyukainya hanya karena kata-kata yang dia ketik dalam setiap pesan yang dia kirim. Ya, hanya karena itu.
Suatu hari, kami memutuskan untuk bertemu dan saling bertatap muka. Aku masih ingat jelas, tepat pada tanggal 8 April 2016. Karena ini pertemuan pertama kami, aku tidak ingin membuatnya kecewa. Jadi, aku berusaha untuk berpenampilan semenarik mungkin dengan meminta bantuan temanku yang ahli dalam merias diri.
Pertemuan pun berlangsung, aku sedikit gugup dan mencoba memenangkan diri. Dia pendiam dan jarang membuka pembicaraan, sehingga aku harus memutar otak untuk mencari topik agar kami bisa saling berinteraksi. Kami pun berbincang-bincang hangat dan kadang diselingi gurauan. Melihat wujudnya yang sangat tampan, cerdas, dan berwawasan luas, membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah memilih.
Semenjak pertemuan itu, aku tidak pernah bisa melupakannya. Aku tidak tahu, apakah dia mempunyai perasaan yang sama denganku atau tidak. Yang jelas aku menyukainya dan bahkan perasaan suka itu kini berubah menjadi sayang. Memang terlalu cepat, tapi itulah yang aku rasakan.
Selang beberapa hari setelah pertemuan itu, perasaan sayang dan senang yang semula aku rasakan, tiba-tiba lenyap seketika. Dia berubah menjadi sosok yang sangat berbeda, menjadi acuh, bahkan lebih dari yang aku bayangkan. Ratusan pesan yang aku kirim pun, sama sekali tidak dihiraukan.
Sikap dia yang berubah menjadi sosok yang tidak aku kenal, lantas tidak membuat perasaanku berubah. Aku tetap menghubunginya. Sesekali dia membalas pesanku hanya satu atau dua kata saja, tapi itu sudah cukup membuatku merasa senang.
Namun, hari itu dia memintaku untuk berhenti mengganggunya, dengan alasan karena dia masih belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Bagai disambar petir di siang bolong, aku tidak bisa mempercayainya. Tapi aku tidak punya pilihan lain, aku pun mengiyakan keinginannya. Bukan berarti aku ingin menyerah, akan tetapi aku menghargai keputusannya.
Saat itu aku kacau, namun tidak membuatku terpuruk begitu saja. Hingga tiba saatnya aku di wisuda, salah seorang teman dekatku memberitakan kabar gembira, bahwa dia akan datang pada hari spesialku menggunakan toga.
Benar, dia datang. Aku tidak percaya dengan sosok yang ada di depan mataku. Rasa rindu yang telah memuncak selama beberapa bulan, kini sudah terbayarkan. Aku memberanikan diri untuk menegurnya. Tidak hanya itu, dengan rasa malu yang aku tahan sekuat mungkin, aku mengajaknya berfoto. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berharga itu.
Ceritaku belum sampai di situ. Setelah satu tahun berlalu, kami masih tetap saling berkomunikasi. Aku memutuskan untuk bertamu ke rumahnya, meskipun jarak yang aku tempuh tidaklah dekat. Orangtua dan keluarganya menerimaku dengan baik. Sesekali aku mencuri perhatiannya. Berharap, kedatanganku bisa membuka pintu hatinya walaupun hanya sedikit. Namun, lagi-lagi usahaku gagal. Selama berada di rumahnya, sikapnya tetap acuh kepadaku.
Beberapa waktu kemudian, setelah aku pulang dari rumahnya, aku mendengar kabar bahwa dia akan bekerja di kota yang sama dengan tempatku bekerja saat ini. Kesempatanku untuk bisa semakin dekat dengannya sudah berada di depan mata. Aku pun menyusun satu demi satu rencana yang akan aku lakukan saat dia mulai bekerja. Hingga hari itupun tiba. Aku mendampinginya, dari awal tes masuk kerja di salah satu perusahaan, hingga dia lolos dan diterima bekerja di sana.
Hubungan kami semakin membaik. Hari demi hari kami lewati dengan kesibukan aktivitas pekerjaan masing-masing. Aku selalu mencoba memberinya yang terbaik, memberinya kasih sayang, dan menyiapkan segala yang dia butuhkan. Tapi, dia tetap menolakku, dengan alasan aku belum bisa menjadi seperti mantan kekasih yang selalu dia cinta. Bahkan, dia selalu memintaku untuk pergi menjauhinya. Tak jarang, aku menangis dan memutuskan untuk menyerah saja, tapi keyakinanku menepis rasa sedih itu. Aku yakin bahwa dia akan membalas perasaanku dan akan menjadi pendampingku kelak selalu menguatkanku.
Bahkan, tak sedikit dari teman terdekat yang memintaku untuk menjauhinya. Namun, karena sifat keras kepalaku, aku sama sekali tidak menghiraukan larangan mereka. Hingga mereka menjauhiku dan memusuhiku. Ada ataupun tidak ada teman, aku tidak perduli meskipun aku lah yang salah. Aku juga tidak peduli seberapa menyakitkan sikap dan ucapannya. Aku hanya ingin berusaha mengikuti semua yang dia katakan, selalu berusaha untuk menjadi seperti mantan kekasihnya dan berharap dia melihatku sedikit saja. aku tidak berharap dia melupakan orang yang dia sayang, aku hanya berharap dia memberiku tempat, meskipun tempat itu berada sangat jauh.
Keinginanku untuk selalu bertahan dan berusaha untuk selalu di sampingnya, alhasil membuat hatinya mulai terketuk. Perjuanganku untuk mempertahankan rasa sayang ini, serta kesabaranku yang tiada batas membuatnya mau menerimaku. Kami pun menjalin sebuah hubungan. Aku sangat bersyukur dan sangat bahagia. Sekalipun aku hanya sebagai bayang-bayang dari masa lalunya, tapi aku tetap yakin bahwa suatu hari dia akan menerimaku sepenuhnya.
Mimpiku menjadi kenyataan, seiring berjalannya waktu dia menerimaku dan memperlakukanku dengan baik. Hingga tiba waktunya, kami memutuskan untuk menikah di tahun ini. Sungguh aku tidak percaya, yang selama ini menurutku hanya sebuah mimpi ternyata bisa menjadi nyata. Seseorang yang selama ini aku perjuangkan dan aku cintai setulus hati, akhirnya akan menjadi calon imamku dalam ikatan rumah tangga. Aku sadar, bahwa sikap acuhnya selama ini semata-mata hanya karena ingin membuatku menjadi wanita kuat.
Jika dulu aku menyerah dan pergi meninggalkannya, mungkin aku akan menyesalinya seumur hidupku. Dan mungkin aku tidak akan pernah bisa berada di sampingnya seperti saat ini. Memang terkesan sedikit memaksa dan bisa dianggap terlalu mengemis. Tapi, karena aku selalu memperjuangkannya, selalu sabar menghadapinya, selalu tulus mencintainya, dan selalu memberikannya yang terbaik, saat ini aku bisa merasakan setiap helaan napasnya. Dia lah pilihan hidupku yang tidak akan pernah aku sesali. Aku sungguh mencintainya.
- Pilihan Hidup Itu Terus Bertumbuh, Meski Lebih Memusingkan Saat Kita Dewasa
- Lanjut Kuliah Setelah Menikah Bukan Hal yang Mustahil, Kok!
- Kalau Belum Bisa Resign, Ya Sudah Nikmati Saja Pekerjaan yang Ada
- Hamil di Usia 15 Tahun, Bercerai Juga di Usia 15 Tahun
- Memilih Profesi yang Mulia Meski Berisiko Bisa Membuat Hidup Lebih Berarti
(vem/nda)