Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Saya seorang istri dan ibu beranak satu. Pertemuan dengan suami saya ini cukup unik sebenarnya. Kebetulan waktu itu kami sama-sama pegawai baru di tempat kami bekerja saat ini. Tepatnya empat tahun lalu kami bertemu untuk pertama kalinya.
Katanya sih dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi waktu itu saya biasa saja, karena saya juga sudah punya pacar. Dia itu tipe yang mudah bergaul dengan banyak orang termasuk perempuan. Tidak pernah gombal dan laki-laki dewasa, mungkin itu daya tariknya sehingga banyak perempuan yang dekat dengannya (dalam arti pertemanan sehat tentu saja). Jarak usia kami lumayan jauh, 10 tahun. Karena beberapa faktor itu pula saya biasa-biasa saja berteman dengan dia. Tapi ternyata hampir semua teman satu angkatan kami tahu kalau dia sebenarnya menyukai saya. Saya saja yang nggak peka.
Pacar saya waktu itu orang yang cukup temperamental dan posesif. Dia sering bersikap kasar pada saya. Hubungan kami sudah memasuki dua tahun lebih. Saya bertahan karena orangtua saya menyukainya, tipikal menantu idaman. Pekerjaannya pun cukup menjanjikan. Karena itu saya tetap menahan diri hingga waktu lamaran yang tidak tahu kapan waktunya. Iya, dia berjanji suatu saat akan menikahi saya tapi tidak tahu kapan pastinya.
Saat masa pelatihan, saya sedikit mendengar gosip tentang seseorang yang menyukai saya ini. Tapi karena nggak mau ge-er, jadi saya iseng tanyakan langsung ke orangnya. Sampai saat ini saya masih ingat betapa salah tingkahnya dia waktu mengiyakannya. Tapi waktu itu kami sepakat berteman saja. Toh kalau jodoh tidak akan ke mana. Singkat cerita, saya masih fokus dengan pacar saya. Waktu itu kami hampir lamaran. Tapi karena suatu dan lain hal kami akhirnya putus. Saya galau? Ternyata tidak. Tiga tahun pacaran yang sebagian besar saya habiskan dengan kesedihan, saya merasa bebas setelah berpisah dengan dia.
Orang pertama yang saya beritahu setelah orangtua saya adalah dia. Jawabannya? "Oke, saya mau bilang saya nggak mau pacaran. Saya maunya nikah sama kamu. Saya paham pasti susah lupain pacar yang sudah 3 tahun bersama-sama. Jadi kalau kamu sudah siap, beritahu saya, saya mau bertemu orangtua kamu." Waktu itu jujur saya bingung tiba-tiba ditodong pertanyaan seperti itu. Tetapi, Allah punya berbagai cara mempermudah niat baiknya. Alhamdulillah keluarga saya langsung welcome. Hingga akhirnya kami menikah di tahun itu juga.
Apakah saya bahagia? Tentu saja. Ternyata dia pria yang saya idam-idamkan selama ini. Pria sederhana yang sangat sayang dengan keluarga. Setiap orang yang melihat saya saat ini, jika dibandingkan dengan saat saya masih berpacaran dengan mantan saya dulu, mereka bilang saya terlihat jauh lebih bahagia saat ini. Ada sebuah ungkapan, jodoh itu unik. Dia yang kamu harap-harapkan belum tentu akan jadi jodohmu. Tapi dia yang terus kamu sebutkan dalam doamu, bisa jadi itu jodohmu. Karena konon katanya, suami dulu waktu memperjuangkan saya dengan salat tahajud tiap malam. Masya Allah.
- Sebelum Menikahi Pria Beda Keyakinan, Restu Orangtua Harus Didapatkan
- Daripada Galau Nunggu Jodoh, Mending Sibuk Berkarier dan Memantaskan Diri
- Meski Dihina Bodoh dan Buruk Rupa, Jangan Sampai Dendam Melumpuhkan Jiwamu
- Jadi Tulang Punggung Keluarga, Wanita Sulung Selalu Punya Hati yang Tabah
- Kita Nggak Punya Kewajiban Mengikuti Gaya Hidup Semua Teman Kita
(vem/nda)