Pekerjaan Bisa Dicari, Tapi Keluarga Tak Bisa Diganti Bila Salah Satu Pergi

Fimela diperbarui 25 Apr 2018, 12:10 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Aku terlahir dari keluarga biasa saja bahkan dibilang dari kalangan ekonomi ke bawah. Ayahku pensiunan PTPN IV dan ibu, seorang ibu rumah tangga. Sejak kecil aku selalu ingin membuat orang tuaku bangga, hal ini kubuktikan dari kelas 1 sampai tamat SD aku selalu mendapat peringkat satu, memasuki SMP dan SMA aku juga tak pernah lepas dari sepuluh besar. Karena kondisi ekonomi kurang mampu orang tuaku tidak mempunyai rencana memasukanku ke perguruan tinggi, dan juga masih ada satu orang adikku yang masih di jenjang SMA.

Saat itu aku hanya manut dan mengerti kondisi orangtuaku, berharap secepatnya bekerja, apapun itu pekerjaannya, untuk beasiswa itu tidak terpikirkan sama sekali. Masa-sama SNMPTN, teman-teman semua sibuk mempersiapkan diri mendaftar di universitas favorit, aku hanya tersenyum dan mendukung teman-temanku. Hingga satu bulan setelah kelulusan aku merantau ke kota dan bekerja menjadi penjaga ponsel, satu minggu sebelum masa-masa bangku perkuliahan, ayah menelepon dan mengabari akan mengkuliahkan aku.



Aku tahu ayah mencari uang biaya kuliah kesana kemari, antara perasaan bahagia bercampur sedih, aku memilih universitas swasta dengan uang kuliah bisa dicicil plus memiliki akreditasi bagus. Masuk semester dua aku bekerja di bidang resto untuk biaya hidup juga biaya kuliahku, 4 tahun aku menjalani bangku kuliah kerja, kuliah kerja, semaksimal mungkin memanfaatnya keuangan dan waktu. Aku menjalaninya dengan penuh suka cita juga penuh rasa syukur.

Tahun 2015, aku sudah menyelesaikan bangku kuliahku dan aku terbang ke Jakarta dan bekerja di perusahaan ternama. Tiap bulannya aku mengirimkan uang belanja untuk ibu di kampung, kuakui aku sangat suka kehidupan di ibu kota, jika hari liburku tiba, terkadang aku suka iseng ikut acara menjadi penonton bayaran di salah satu stasiun swasta. Selain menambah uang saku, juga aku sangat menyukai dunia hiburan, teman-teman satu kantorku berasal dari berbagai daerah. Suasana kantor yang sangat welcome dan bersahabat, tiap akhir pekan selalu mengadakan acara jalan-jalan, baik dengan teman sekantor maupun hanya berdua. Semua tahu Jakarta kota yang tak pernah tidur, aku juga mulai suka mencoba dunia malam, anak kampung yang mulai mencoba gaya-gayaan di ibu kota. Berbulan-bulan aku tidak mengabari orang tuaku di kampung, tidak lagi mengirim uang belanja. Tiap kali ibu menelepon, aku malu untuk menerima panggilan teleponnya.



Hingga si adik mengirim SMS bahwa ibu sakit, ibu ingin aku kembali ke kampung, aku menolak, aku suka kehidupan disini. Setiap hari adikku menelepon, dan akhirnya aku mengobrol dengan ibu. Ibu benar-benar sakit, dan ibu rindu aku. Aku memutuskan resign dari perusahaan di Jakarta lebih tepatnya meminta pindah cabang di kotaku, tapi perusahaan tidak bisa mengabulkan.

Akhirnya aku resign dan dengan berat hati kembali ke kampung halaman, satu bulan tidak ada pemasukan menganggur. Mencari kerja kesana kemari. Hingga akhirnya diterima di perusahaan yang bergerak di bidang resto sebagai administrasi. Awalnya merasa tidak nyaman sama sekali, itu karena aku kurang bersyukur dan hatiku tidak di sini. Lama kelamaan aku pun menyadari, bahwa keluarga lebih penting dari segalanya, di sini aku bisa pulang kampung jika aku rindu, dan alhamdulillah bisa membiayai kuliah si adik.



Perusahaan mungkin akan dengan cepat menggantikan satu orang yang pergi, namun keluarga, keluarga tidak akan bisa dicari lagi jika salah satu telah pergi. Terima kasih ibu, sudah menyuruhku pulang lebih awal. Sekarang, aku tidak pernah menyesali keputusan meninggalkan ibu kota, meninggalkan gaya hidup yang kusuka.





(vem/nda)
What's On Fimela