Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Sampai detik ini aku masih belum percaya bisa sampai sedekat ini dengan cita-citaku. Melanjutkan sekolah ke luar negeri. Bahkan aku kira impian itu tidak akan pernah terwujud apalagi orang-orang di sekitarku selalu berpikir bahwa itu mimpi yang terlalu muluk-muluk. Seumur hidupku aku sering ditertawakan karena mimpi bisa pergi keluar negeri apalagi sampai sekolah di sana. Diremehkan dan dipandang sebelah mata sudah menjadi bagian dari hidupku. Tapi siapa sangka, ternyata Tuhan telah menyiapkan skenario hidup terindah yang belum pernah aku bayangkan terjadi padaku.
Sebelumnya, perkenalkan namaku Rena, lahir di kota Malang, 23 tahun yang lalu. Keluargaku terdiri dari Ayah, Ibu dan adik laki-laki. Saat aku dilahirkan, keluargaku dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ayahku hanya bekerja sebagai penjual sayur atau istilah orang Jawa, mlijo di depan rumah. Selesai berjualan sayur biasanya Ayahku lanjut berjualan kue keliling menggunakan sepeda pancal. Sedangkan Ibuku adalah ibu rumah tangga biasa yang sesekali menerima orderan permak baju.
Melihat kerja keras Ayah dan Ibu dalam mencari uang untuk menyekolahkanku, aku belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh agar aku bisa membalas jasa kedua orang tuaku. Alhasil ketika SD aku selalu meraih peringkat 3 besar di kelas. Puncaknya ketika kelas 4 SD aku terpilih untuk mengikuti program akselerasi yang membuatku tidak perlu menjalani kelas 5 tapi langung meloncat ke kelas 6 SD. Saat diberitahu oleh guruku jelas aku senang sekaligus takut. Takut karena aku harus berpisah dengan teman sekelasku dan harus satu kelas dengan kakak kelas yang tidak aku kenal. Aku sempat menangis di depan Ibuku, tapi aku masih ingat Ibu bilang, “Kesempatan ini hanya 1 kali, tidak akan datang dua kali." Dan akhirnya aku pun setuju untuk mengikuti program akselerasi angkatan pertama bersama 6 temanku yang lain.
Hal pertama yang kuingat ketika aku “masuk” di kelas 6 adalah aku salah memakai kaos kaki. Saat itu hari Jumat tapi aku memakai kaos kaki putih. Aku pun ditertawakan oleh kakak kelas. Hari-hari berikutnya pun tidak sama baiknya bagiku, aku hanya punya satu teman perempuan yang juga ikut akselerasi. Karena entahlah, kakak kelas tidak menyukai “kedatangan” kami yang tidak diundang. Sering kami dibully dan diejek walau tidak secara langsung. Mereka seperti takut tersaingi padahal kami tidak bermaksud untuk bersaing dengan mereka. Bahkan wali kelas juga ikut menganak tirikan kami. Meskipun begitu, perlakuan mereka terhadapku tidak membuat nyaliku ciut, malah membuatku semakin semangat untuk membuktikan bahwa aku layak berada di kelas 6.
Puncaknya saat aku ujian praktik bahasa Indonesia mendongeng di depan kelas aku mendapat nilai tertinggi. Semenjak saat itu aku menyadari bahwa perlakuan kakak kelas kepadaku membuat mentalku menjadi kuat dan berani tampil di depan kelas. Diam-diam aku mulai berterimakasih kepada mereka.
Ketika lulus SD, aku dan orangtuaku memilih untuk masuk ke SMP terdekat di mana aku bisa jalan kaki menuju sekolah sehingga lebih bisa menghemat. Saat aku duduk di bangku SMP di depan sekolahku ada mall besar yang biasanya teman-temanku mampir ke sana sepulang sekolah. Aku? Tidak mungkin. Uangku jajanku saat itu Rp 3000 bahkan tidak cukup untuk sekadar beli nasi di sekolah. Aku selalu menghibur diri sendiri bahwa suatu saat nanti aku pasti bisa membeli barang-barang yang aku inginkan seperti yang teman-temanku miliki. Caranya? Belajar. Hanya dengan belajar yang rajin aku bisa mengubah nasibku.
Karena terlalu sering “terlihat” belajar dan terkesan kutu buku, aku jadi dianggap kuper oleh teman-temanku. Apalagi aku jarang pergi bareng dengan mereka. Bagaimana mau pergi, sedangkan aku saja tidak punya uang dan aku tidak mungkin meminta orang tuaku. Alhasil aku dianggap aneh oleh mereka, aku dikucilkan. Tapi aku tidak berkecil hati karena aku yakin roda kehidupan pasti berputar asal kita mau berusaha untuk mengubah nasib.
Ketika kelas 2 SMP, Ayahku meninggal dunia karena sakit. Langit seakan runtuh. Ayah yang menjadi tulang punggung keluarga harus meninggalkan kami untuk selamanya. Ibu yang akhirnya menggantikan Ayah berjualan sayur. Karena sekarang aku menjadi anak yatim, pakde (kakak Ibu) membantu Ibu pergi ke pasar untuk membeli sayur mayur dan dijual lagi di kampung.
Aku tentu tak tinggal diam, aku pun juga ikut membantu Ibu. Di saat anak-anak seusiaku masih tertidur lelap, aku sudah bangun untuk menata meja dagangan sekaligus mengeluarkan sayur-sayur sisa hari sebelumnya yang belum laku. Aku juga membantu Ibu berjualan gorengan untuk menambah pemasukan.Karena aku harus bangun lebih pagi, jadinya aku sering mengantuk di sekolah.
Setelah aku lulus SMP dengan nilai memuaskan, aku berhasil masuk salah satu SMA favorit di kotaku. Singkat cerita aku selalu mendapat rangking 3 besar di kelas sehingga aku bisa masuk Universitas Negeri tanpa tes (SNMPTN) di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Mesin. Tentunya tetangga-tetanggaku berkomentar kenapa cewek masuk teknik mesin. Aku sepertinya sudah terbiasa dengan cacian dan hinaan. Aku pun tidak peduli, karena saat itu aku memang sangat menyukai pelajaran matematika dan fisika dan tentunya aku menyukai tantangan.
Saat kuliah pun aku mengikuti berbagai macam organisasi kampus seperti himpunan, asisten lab ikut berbagai macam kegiatan lomba. Aku tekuni. Kuliah dari pagi sampai siang dilanjut dengan menjadi asisten lab. Sampai di rumah maghrib kemudan lanjut menjadi guru les privat sudah menjadi kegiatan sehari-hariku. Setelah lulus dengan predikat Cum Laude tak lantas membuatku mudah mendapatkan pekerjaan. Aku mendaftar ke beberapa perusahaan baik swasta maupun perusahaan BUMN tapi gagal.
Akhirnya aku mendaftar di salah satu sekolah menjadi bagian administrasi dan diterima. Pastinya menjadi admin tentu jauh melenceng dari jurusan yang selama ini aku pelajari dari bangku kuliah. Apalagi aku bekerja seperti serabutan, terkadang tidak sesuai dengan job deskku. Tapi dengan sabar aku belajar dan akhirnya bisa. Aku anggap kerja ini untuk mencari ilmu yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Mulai dari mendesain undangan dengan corel draw, ilmu fotografi, ilmu administrasi dan tentunya cara berkomunikasi dengan orang lain. Sungguh aku belajar banyak dari sini.
Walaupun aku sudah bekerja aku tidak pernah berputus asa untuk cita-citaku bersekolah di luar negeri. Aku tetap belajar ilmu mesin, bahasa Inggris, dll. Aku pernah mengirim proposal research study ke Kyoto University walaupun belum ada balasan. Aku juga mendaftar beasiswa LPDP tapi gagal di tes Online Assessment. Aku tidak berputus asa untuk melanjutkan kuliah S2. Aku terus belajar sambal menanti kesempatan yang lain datang.
Selama bekerja, aku juga menjalankan bisnis les privatku. Aku mendesain sendiri brosurku, mencetaknya dan aku sebar dari rumah ke rumah. Aku hilangkan rasa malu dan keraguan untuk terus maju. Memang cita-citaku yang lain adalah punya lembaga bimbel sendiri. Aku bahkan telah menyiapkan satu ruangan khusus di rumah untuk les. Murid lesku pernah mencapai 10 orang. Belum banyak tapi untuk pemula itu sudah cukup bagus.
Hingga pada maret 2018, aku nekat untuk mendaftar S2 Magister Teknik di salah satu universitas negeri di kotaku. Aku mendaftar dalam negeri karena aku ingin segera kuliah. Dengan biaya yang aku kumpulkan selama 2 tahun aku bekerja, rasanya aku cukup untuk membayar uang kuliah paling tidak untuk semester 1. Untuk semester selanjutnya aku tidak tahu. Yang kupikirkan saat ini adalah bagaimana caranya aku bisa secepatnya kuliah. Entah aku akan mengajukan beasiswa atau bekerja part time karena aku sudah tidak sabar untuk kuliah lagi.
Dan gayung bersambut ketika sesi tes wawancara aku terkejut mendapati dosen penguji yang mewawancaraiku memberiku saran untuk mengambil program double degree karena melihat IPK S1 ku yang tinggi. Aku pun mengajukan pengalihan status kelas regular dengan double degree tapi menurut pihak rektorat aku harus dinyatakan diterima dulu. Jadi aku harus menunggu seminggu lagi.
Seminggu kemudian pengumuman keluar dan aku dinyatakan lolos. Esok harinya aku langsung menuju rektorat untuk menanyakan proses pengajuan Double Degree dan ternyata jurusanku sudah menjalin kerjasama dengan universitas tujuan sehingga aku harus menyiapkan semua berkas di akhir semester 2 dan memulai kuliah di semester 3! Hatiku senang bercampur takut. Senang karena cita-citaku semakin dekat, sekaligus takut karena aku belum pernah berpergian sejauh itu!
Aku melamun di sepanjang jalan pulang. Ini seperti mimpi jadi kenyataan. Mimpiku untuk bersekolah di luar negeri yang selalu kutulis di buku catatanku yang kemudian ditertawakan oleh teman-temanku kini menjadi kenyataan. Teman-temanku dan kakak kelas 6 yang membully aku dan menyebut aku kutu buku harusnya terdiam hari ini karena memang buku lah yang membuat aku bisa menjelajah dunia. Tentunya aku berterima kasih pada kalian semua, berkat kalian kini aku lebih tangguh dan siap menjelajahi dunia!
- Sebelum Menikahi Pria Beda Keyakinan, Restu Orangtua Harus Didapatkan
- Meski Dihina Bodoh dan Buruk Rupa, Jangan Sampai Dendam Melumpuhkan Jiwamu
- Jadi Tulang Punggung Keluarga, Wanita Sulung Selalu Punya Hati yang Tabah
- Kita Nggak Punya Kewajiban Mengikuti Gaya Hidup Semua Teman Kita
- Agar Cepat Punya Momongan, Kulepaskan Sesuatu yang Berharga dari Hidupku
(vem/nda)