Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 2015. Setelah saya lulus SMA pemikiran saya adalah kuliah. Saya hanya ingin kuliah di sebuah kampus negeri bergengsi. Namun, itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Saya anak sulung dari 3 saudara. Saya masih punya 2 adik laki-laki yang masih perlu sekolah. Dan satu fakta lagi adalah, papa saya sudah meninggal dari saya SD. Mama ragu, "Kuliah membutuhkan banyak biaya, Mbak. Bagaimana kalau adikmu nanti tidak bisa sekolah. Kerja saja di sekitar sini cari uang." Saya terdiam, menelan ludah sebanyak yang saya bisa telan.
Dari kecil, ini bukan cita-cita saya. Saya benar-benar tidak menginginkan kerja setelah SMA. Beruntungnya mama masih mengizinkan saya ikut SNMPTN dan SBMPTN. Jauh di lubuk hati saya, saya yakin sebenarnya mama mau saya kuliah. Tapi masalah biaya kendala terbesarnya. Tak lama, hasil SNMPTN keluar dan jeng jeng. Tidak ada nama saya. Lemas itu pasti. Dari awal saya tidak berharap masuk lewat jalur tersebut karena status sekolah saya yang belum seterkenal sekolah lainnya tapi ternyata sedih juga nama saya tidak ada.
Saya lanjut via jalur SBMPTN, cita-cita saya sederhana sebenarnya. Saya mau membahagiakan mama setelah sekian lama hanya mencari uang tanpa peduli perawatan seperti wanita pada umumnya, membiarkan mama istirahat dan tidak perlu bekerja terlalu keras. Memastikan adik-adik saya sekolah sampai berhasil. Itu. Tapi lewat apa saya bisa mencari uang? Jalur SBMPTN selesai, lagi-lagi dengan jurusan dan kampus yang sama dengan SNMPTN saya tidak diterima. Salah saya, kurang bersungguh-sungguh dalam belajar dan ikhtiar.
Mama mulai risau. "Mbak, mama tidak mau lewat jalur mandiri. Itu terlalu mahal." Saya lagi-lagi hanya diam. Saya tidak bisa membantah. Memang betul, jalur mandiri untuk kuliah di negeri ini begitu mahal. Beasiswa gratis dari pemerintah? Saya sudah pernah mencoba program itu. Tapi karena rumah saya yang mana itu adalah peninggalan almarhum papa saya terlihat seperti rumah orang berkecukupan, semua menolaknya. Dianggap menipu.
Di situ saya sudah mulai putus asa. Jalur D3 semua saya tempuh dan gagal, tinggal jalur mandiri dan ada UMPTKIN, semacam tes SBM tapi untuk perguruan tinggi Islam. Dari KEMENAG. Saya mencobanya dan alhamdulillah, saya lolos dengan jurusan yang mama saya pilihkan. Saya pasrah. Toh nyatanya kita hidup tidak seperti yang kita inginkan. Mungkin Tuhan memang ingin seperti ini. Singkat cerita, saya mulai menyusun cita-cita saya.
Saya kuliah di pendidikan dan sastra Indonesia. Ini sebuah keuntungan karena jumlah guru bidang ini hanya sedikit dan juga tidak ada saingannya, tidak seperti matematika yang bahkan sarjana teknik bisa jadi guru di bidang itu. Saya menyusun sebuah rencana pelan-pelan. Saya akan menjadi seorang istri dan ibu sambil bekerja menjadi guru di sebuah sekolah SD/SMP. Cita-cita yang sederhana untuk diri saya sendiri selain untuk keluarga saya.
Setelah 2 bulan saya menjalaninya. Mama telepon. Ada tes perguruan tinggi kedinasan. Saya diminta ikut dan saya buru-buru menolak. Bukan apa-apa, saya tidak melakukan persiapan apapun untuk tes itu dan masuk ke jurusan yang saat itu saya jalani pun menyingkirkan banyak orang yang benar-benar ingin kuliah di situ juga. Mama memaksa. Baiklah, akhirnya saya mengalah.
Keajaiban doa atau keberuntungan, saya masuk ke perguruan tersebut. Mengalahkan 60 ribu orang lainnya setelah berbagai tes. Saya memilih perguruan kedinasan ini daripada kuliah saya yang sebelumnya karena kuliah kedinasan ini gratis. Saya hanya perlu membayar biaya hidup selama kuliah dan kos selama kuliah. Saya pikir ini bagus untuk mengurangi beban mama dalam membiayai saya. Setelah berpuluh-puluh tes saya lalui dengan maksimal, alhamdulillah saat ini saya sudah bekerja di sebuah kementerian dengan penghasilan yang sangat lumayan untuk pekerja seumuran saya serta bisa membiayai adik saya sekolah, memberi mama saya sedikit penghasilan saya dan juga tentu saja, sudah PNS. Yang mana ternyata adalah sebuah cita-cita keluarga dari ayah saya sejak dulu.
Apakah saya menyesalinya? Tentu tidak, ini hidup saya dan saya bertanggung jawab atas apa yang saya putuskan untuk hidup ke depan. Saya tahu beberapa hal memang dibuat kejutan oleh Sang Pencipta. Tidak jarang pula saya terlintas pemikiran iri, iri terhadap seseorang yang penghasilannya dipakai untuk diri sendiri atau iri terhadap orang yang masih memiliki ayah tapi saya selalu berusaha mensyukurinya dengan beberapa kali berbagi. Kepada yang lebih membutuhkan. Memberi kebahagiaan kecil yang mampu membuat saya terus bersyukur atas perubahan besar di hidup saya. Perubahan besar yang mungkin akan sampai tua, entahlah. Takdir ini akan terus berjalan sampai akhir. Takdir buruk, takdir indah, takdir yang mungkin tanpa saya sadari mungkin semua hal yang terjadi pada saya adalah cerminan atas apa yang saya lakukan dan doa di sekeliling saya.
- Kita Nggak Punya Kewajiban Mengikuti Gaya Hidup Semua Teman Kita
- Agar Cepat Punya Momongan, Kulepaskan Sesuatu yang Berharga dari Hidupku
- Fisikku Dihina karena Tak Secantik Lainnya, Tapi Aku Bukan Wanita Lemah
- Maaf, Berhentilah Memintaku Mencukur Alisku!
- Prioritas Berubah, Kulepas Karier Bergengsi demi Fokus Rawat Anak
(vem/nda)