Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Urusan jodoh memang tidak ada manusia yang tahu. Selain hanya otoritas Allah yang memegang kendali di wilayah itu. Dan itulah mengapa urusan jodoh termasuk dalam kategori misterius seperti halnya kematian. Jodoh tidak bisa ditebak dan dinyana-nyana oleh siapapun. Sebelum menemukan siapa jodoh yang akan mendampingiku kelak, aku berangan-angan untuk tidak mendapatkannya melalui proses klasik yang namanya pacaran.
Sebenarnya aku bukan "aktivis anti pacaran", hanya saja aku punya pemikiran yang barangkali berbeda. Sebagai perempuan aku punya anggapan jika menikah itu tak selalu harus memulainya dengan pacaran. Meskipun kata beberapa orang, termasuk juga teman-teman di sekelilingku yang mengatakan mustahil kita perempuan menikah tanpa pacaran. Sedangkan di dalam aktivitas pacaran itu sejatinya kita sedang belajar mendalami kepribadian masing-masing. Mengenal secara lebih erat akan kebaikan, keburukan, kesukaan dan apapun yang ada dalam diri calon pasangan. Apa jadinya jika kita berani menikah dengan laki-laki yang belum terlalu kita kenal secara dekat, belum jelas kehidupannya seperti apa, asal usulnya bagaimana dan sebagainya.
Kala itu usiaku masih terbilang muda. Sekitar 20 tahunan. Di usia tersebut semula aku sama sekali belum terpikir untuk menikah. Aku juga merasa belum matang membicarakan tentang pernikahan. Meskipun ada juga beberapa temanku yang sudah menikah di usia tersebut. Namun jauh di luar sangkaanku ketika secara tiba-tiba saja pria yang tinggal jauh di seberang lautan itu memutuskan untuk melamarku. Ya, melamarku.
Awalnya aku tidak percaya dan aku belum ada kesiapan apa-apa, baik dari segi moral maupun spiritual. Orang-orang di sekitarku juga banyak yang sesumbar jika usiaku masih terlalu muda untuk menikah. Kenapa harus tergesa-gesa? Apa tidak lebih baik dijalani dulu untuk pacaran? Apalagi kamu belum terlalu mengenalnya lebih jauh! Nanti kalo menyesal di belakang susah lho cari obatnya. Menikah itu bukan permainan dan bla-bla-bla. Begitulah nasihat panjang yang mereka luncurkan kepadaku.
Aku memang tidak menjalin hubungan layaknya muda-mudi pada umumnya. Yang berboncengan motor kesana kemari sambil berpegang erat di pinggang si prianya, malam mingguan bertabur kata-kata mesra, nonton bioskop berdua bergandengan tangan dan berangkul-rangkulan, makan di kafe penuh rayuan, temu kangen di taman kota dan atau apa. Aku mengenalnya tanpa sengaja di jaringan telepon seluler karena kesalahan nomor alias salah sambung. Dari situlah awal mula perkenalanku dengan pria itu. Hingga perkenalan jarak jauh yang tidak ada keintiman berkomunikasi dan tidak ada keromantisan itu membawaku pada keputusannya yang aku simpulkan cukup mendadak. Bagaikan mau terlepas jantungku pada saat dia menyatakan keinginannya menjumpaiku sekalian melamarku dalam waktu dekat.
Perjumpaan untuk yang pertama kalinya dan sekaligus melamar? Memang terdengar cukup aneh ya.Tapi begitulah kenyataannya. "Aku ada tugas ke Jawa sekalian aku akan melamarmu. Kalau tidak keberatan kamu sampaikan dulu hal ini ke kedua orangtuamu." Tidak ada angin, tidak ada mendung tiba-tiba hujan lebat tanpa diaba-aba. Kalau Allah sudah berkehendak, apapun mudah terjadi meskipun manusia susah menalarnya. Seperti nasib perjodohanku. Padahal di saat yang sama aku sedang berharap panggilan kerja dari sejumlah PT yang telah aku lamar beberapa pekan sebelum datang kabar dari pria tersebut. Kendatipun belum ada kepastian dan kejelasan aku akan diterima bekerja di PT tersebut ataukah tidak. Yang ada dalam pikiranku ketika itu adalah bagaimana aku bisa bekerja dan memperoleh uang —dengan cara halal tentunya. Mengingat diriku adalah satu-satunya tulang punggung keluarga.
Ada kebimbangan besar menyerbu relung hatiku. Haruskah aku menerima lamaran pria itu atau menolaknya? Dengan pertimbangan jika aku menikah di usia itu bagaimana dengan nasib keluargaku? Siapa yang akan membiayai kehidupan orangtuaku? Siapa yang akan membiayai sekolah adik-adikku? Padahal dari hati yang terdalam sudah lama aku tertarik dan menyimpan rasa suka pada pria yang berniat melamarku tersebut. Sekalipun aku belum pernah bertemu muka dengannya. Selama ini aku dan dia hanya berbincang melalui udara, itupun jarang. Namun apabila sudah menghubungiku dia akan mengobrol denganku sampai berjam-jam lamanya. Setelah itu lama tak terdengar lagi kabarnya. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan kepercayaanku padanya. Kami berdua sudah pernah bertukar foto. Dari pertama berkenalan aku yakin kalau dia orang yang baik dan jujur.
Dia menunggu jawaban secepatnya perihal kesediaanku dilamar. Orangtuaku melimpahkan segala keputusan di tanganku. Mereka sangat mempercayai jika keputusan yang kuambil adalah jalan terbaik bagi diriku dan juga keluarga. Bismillah... aku mengambil langkah menerima lamaran pria yang sedari SMP hingga kuliah tinggal di kota Malang tersebut. Aku mengambil keputusan sesuai kata hatiku. Dengan mantap aku memberi jawaban singkat dan penuh percaya diri, "Iya aku bersedia." Tiga hari kemudian pria itu benar-benar muncul di rumahku, yang sebelumnya telah kuberitahu alamat lengkap rumahku beserta ancer-ancernya (ciri-ciri) melalui sms. Iya melalui sms karena pada masa itu belum booming bahkan belum mengenal adanya Whatsapp, video call, BBM, mesenger, berbagai macam media sosial dan apalah seperti zaman sekarang. Hei-hei.
Setelah menemuiku dan kedua orangtuaku pria itu menjelaskan detail maksud kedatangannya ke rumah seperti yang telah disampaikan sebelum ia tiba di pulau Jawa waktu itu. Orangtuaku langsung mengerti dan menerima kedatangannya dengan penuh suka cita. Di hari itu pula dilakukan pembahasan mengenai hari pernikahan yang baik —mencari hari baik masih menjadi kepercayaan kuat para orang tua zaman dulu, jadi aku dan dia mengikut saja. Namun ada yang lebih dramatis, pria yang diduga kuat akan menjadi calon suamiku ini hanya mengajukan tenggang waktu yang sangat singkat seiring dengan penugasannya di Jawa. Pria yang menjadi calonku ini mendapat tugas dari kantornya untuk menghadiri rapat kerja tahunan di kota Surabaya. Tanggal kilat pun didapat dengan wacana pernikahan yang cukup sederhana saja. Tidak menggunakan pergelaran ataupun pesta besar yang menelan biaya besar.
Kini 11 telah berlalu, oh iya sejak menikah aku dibawa terbang ke habitat suamiku di luar pulau. Dari pernikahan unik ini lahirlah tiga bidadari yang cantik dan smart. Kami menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia. Langkah yang aku ambil 11 lalu bukanlah tindakan yang salah dan gegabah. Meskipun ada segelintir orang yang sempat meragukan itu. Keinginanku menikah tanpa pacaran benar-benar terwujud. Sejak awal menikah sampai sekarang suamiku sama sekali tidak keberatan atas uang yang aku kirim ke kampung untuk pembiayaan sekolah adik-adikku dan biaya hidup orangtuaku. Suami malah sangat mendukung dan memberi kebebasan dalam hal keuangan.
- Keluar dari Zona Nyaman Bukan Berarti Aku Tak Mensyukuri Hidupku
- Memilih Menikah daripada Kuliah, Sungguh Keputusan Ini Tidaklah Mudah
- Membesarkan 4 Anak Seorang Diri, Kuyakin Ini Cara Tuhan Menyayangiku
- Hidup Tak Selalu Soal Kesempurnaan, Tapi Menyelesaikan Masalah dan Bertahan
- Pilihan Hidup yang Dipaksakan Hanya Akan Menyiksa Diri Sendiri