Keluar dari Zona Nyaman Bukan Berarti Aku Tak Mensyukuri Hidupku

Fimela diperbarui 20 Apr 2018, 11:15 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Dua tahun bekerja di perusahaan keluarga, aku bukanlah seorang yang tidak bersyukur. Aku sangat berterimakasih kepada Pamanku (pemilik perusahaan itu) yang adalah sepupu ibuku. Tidak kulupakan jasa dan kebaikannya yang menerimaku dua tahun lalu untuk bergabung di perusahaannya tanpa bertanya aku lulusan apa, yang aku tahu dia percaya aku bisa bekerja dengan baik. Dan aku tidak menyia-nyiakan kepercayaan beliau,dengan sepenuh hati aku bekerja untuk kemajuan perusahaan itu.

Tidak terasa waktu berlalu, aku merasa sangat nyaman di sana. Tidak ada pekerjaan yang sulit, tidak ada yang tak bisa kuselesaikan. Lingkungan kantor yang layaknya keluarga, aku benar-benar berada di zona nyaman.

Dan tibalah saatnya aku merasa sesuatu yang kurang dalam diriku. Apa itu? Sebuah pencapaian. Zona nyaman ini ternyata membuatku lupa akan hal-hal yang harus kucapai. Bisa dibilang selama ini aku menjalani pekerjaan ini sebagai feedback atas apa yang kuterima. Gaji yang cukup, dan tak pernah terpikir olehku mendapatkan yang lebih dari itu. Tidak ada jenjang karier, karena perusahaan itu hanyalah sebuah  perusahaan skala daerah.



Aku pun melihat bagaimana teman-teman seumuranku kini sudah mencapai apa yang mereka cita-citakan. Atau setidaknya mereka telah benar-benar menjalani apa  yang mereka mau. Bagaimana denganku? Aku merasa jauh tertinggal saat itu.

Hari-hari berikutnya, aku iseng-iseng mengirim CV-ku lewat situs recruitment online, dan tidak banyak berharap. Seminggu kemudian aku mendapat panggilan interview dari sebuah  perusahaan ternama. Saat itu dalam benakku, “Ah paling cuma dipanggil interview, setelah itu nggak bakal dipanggil lagi." Walau tidak yakin, aku tetap memenuhi panggilan interview dan tes-tesnya selama dua hari dan aku bolos kerja saat itu.



Namun sebulan kemudian, aku mendapat email bahwa aku diterima. Sungguh tidak menyangka. Aku diminta mengonfirmasi kesediaanku dalam waktu satu jam, dan aku juga harus mengonfirmasi kapan aku bisa mulai bekerja. Aku tak membayangkan seperti apa pekerjaanku nanti, yang pasti tidak akan senyaman di kantorku yang lama.

Kuminta waktu seminggu untuk handover kerjaan di kantor lama, dan… terbayanglah wajah pamanku saatku sampaikan surat pengunduran diriku nanti. Rasa cemas, takut, deg-degan saat itu juga.  erbagai kemungkinan muncul di pikiranku. Mungkin beliau akan marah karena ini mendadak. Sungguh tidak ada tanda-tanda aku akan resign. Kemungkinan kedua, beliau marah besar. Karena aku keponakan yang tidak tahu teri makasih. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya. Satu lagi, aku cemas dan takut membuat rusak hubungan keluarga.

Tiga hari sudah berlalu, dan ini sudah H-3  penandatanganan kontrak di kantor baru. Setelah menarik napas panjang, dan kusiapkan mental dan batinku, aku mengetuk ruangan pamanku. Aku sudah siap dengan apapun yang akan dia katakan nanti. Aku tak berani menatap wajahnya, figur paman yang begitu baik padaku selama ini. Aku hanya berdoa dalam hati semoga aku bisa menjelaskan dengan baik.

Kumulai dengan kata maaf, dan terima kasih, akhirnya kusampaikan pengunduran diriku. Dia tidak menggubris surat resign yang ada ditanganku. Dia hanya bertanya, kenapa? Dengan raut wajah yang penuh tanda tanya. Dan saat itu, aku tidak melihat kemarahan di wajahnya. Kalau kecewa, mungkin iya.



Setelah kujelaskan alasanku, dan untuk terakhir kali aku meminta maaf dan berterima kasih, aku berpamitan. Satu kalimat yang kuingat dan selalu kuingat darinya. “Saya pasti dukung kok, kalau kamu ingin sukses."

Keluar dari zona nyaman memang menakutkan. Takut akan keadaan yang baru, takut mengecewakan orang-orang yang sudah baik kepada kita. Aku tak menyangka beliau menghargai pilihanku. Tapi aku sangat bersyukur dan selalu berharap suatu saat nanti, aku bisa membalas jasa mereka yang pernah membantuku.




(vem/nda)