Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.
***
Menjalani kehidupan setelah lulus studi itu tak semulus yang dibayangkan, bahkan beberapa orang ada yang merasa frustasi karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang baik dan yang sesuai dengan potensi serta harapannya. Terkadang beban moral yang besar harus kita pikul di kala orang-orang di sekitar kita mendadak menjadi ahli dalam menilai nasib hidup orang lain. Akupun yang menjadi lulusan terbaik Fakultas Hukum, tak luput dari hinaan mulut-mulut usil yang ucapannya amat menyayat hati. Bahkan ada yang berkata, bahwa aku adalah pengangguran yang terdidik.
Menjadi pekerja yang mapan atau yang penting mendapatkan pekerjaan saja alias tidak menganggur tentu menjadi impian sebagian para fresh graduate. Tetapi tidak semua orang menginginkan kehidupan menjadi pekerja. Ada hal yang tak melulu dapat ditakar dengan rupiah, ketika seseorang setelah lulus studi mencari pekerjaan, beberapa perempuan muda yang memasuki usia dewasa matang ada yang bekerja karena memang pada dasarnya ia membutuhkan upah untuk menopang kebutuhan diri bahkan ada yang menjadi tulang punggung keluarga, ada yang bertujuan untuk eksistensi, ada pula beberapa perempuan bekerja hanya untuk kebutuhan jiwa.
Pasca kelulusanku Februari 2017 lalu, begitu banyak kawan yang selalu update status di media sosial. Aku yang sedari dulu tak pandai show up dan kurang suka mengekspos diri, memilih tak posting segala kegiatan dan pencapaian hidupku, karena aku berpikir, tak semua apa yang kita rasa, apa yang kita lakukan, apa yang kita miliki, harus dipamerkan di media sosial.
Hingga setahun berlalu, beberapa kawan mendapatkan pekerjaan dan aku memberikan selamat atas itu. Tak disangka, mereka yang tak tahu apa-apa tentangku, langsung saja melemparkan joke-joke receh kepadaku, seakan meremehkan orang lain itu bagi mereka adalah bentuk bullying yang wajar. Mereka hanya menilai seseorang dari apa yang ditampakkan, padahal kesuksesan hakiki tidak perlu diumbar, boleh jadi mereka yang pamer di media sosial hanya berusaha mengejar status sosial dan penilaian saja yang realitanya bahkan hidup dengan penuh keterbatasan.
Bagaimana tidak, aku sangat tahu berapa besaran upah pekerja honorer, pekerja swasta bagi fresh graduate, dan profesi lainnya. Terkadang, aku tak habis pikir ketika beberapa kawan pamer liburan mewah dan barang-barang berkelas di media sosial dengan pendapatan yang berbanding terbalik. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang yang terlalu memaksakan diri untuk tampil “wah” mampu menghabiskan upah bulanan untuk berbagai cicilan.
Beberapa dosen menawarkan pekerjaan sebagai legal asisten di kantor advokat miliknya, tawaran menjadi staf di kantor notaris serta beberapa tawaran pekerjaan legal staf bagi lulusan terbaik di perusahaan-perusahaan yang bermitra dengan kampusku. Tetapi semuanya aku tolak. Aku hanya manusia biasa, manusia hanya berencana, tetapi Tuhan Maha Tahu apa yang terbaik bagiku.
Aku sangat senang berbagi dan mengajar hingga suatu saat nanti semoga aku dapat menjadi seorang dosen. Aku memilih jalan untuk melanjutkan studi melalui Beasiswa Unggulan Prestasi, segala persyaratan seperti score TOEFL, Surat Rekomendasi, Letter of Acceptance sudah kupersiapkan, tetapi ketika aku akan mendaftar, ujian bertubi datang, mulai dari bisnis suami yang ditipu rekan, anak yang sakit dan pengasuh yang mengundurkan diri serta rumah yang sempat kemalingan, kondisi itu mengharuskanku untuk menjalani fitrah sebagai ibu muda dan istri yang harus memprioritaskan keluarga.
Jalan Tuhan begitu penuh berkah, meskipun aku menunda untuk lanjut studi ke strata dua (S2), Tuhan mudahkan kami dalam mendirikan Commanditaire Vennootcshap (CV) baru yang bergerak di bidang ritel dan distribusi pupuk dan alat pertanian. Untuk menjual produk ini, tentunya kami harus memulai untuk pindah sementara ke lokasi daerah perkebunan sawit. Jauh dari hingar bingar kota, masyarakat tradisional memang cenderung ramah dan sederhana.
Aku terkesima ketika para petani kelapa sawit dan petani pohon karet di Kabupaten Rokan Hilir - Riau ini berpenampilan sederhana, padahal uang mereka sangat berlimpah. Sekali belanja ke toko kami pun selalu belasan bahkan puluhan juta rupiah nominalnya. Tak seperti anak muda yang mudah sekali pamer barang mewah orangtuanya. Para petani ini sangat bersahaja, ramah, dan humoris. Usaha kami melesat maju, bahkan kami mampu menggaji 15 karyawan di tiga toko cabang.
Enam bulan terakhir ini, aku mulai beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Kuamati, para remaja putri dan ibu banyak yang berprofesi menjadi buruh panen kelapa sawit (ndodos sawit) dan penyadap getah karet (nderes) padahal pekerjaan itu cocok untuk para pria. Aku terkesima pada perempuan-perempuan sederhana dan pekerja keras, seharian terpapar sinar matahari, mereka hanya mendapat upah Rp200.000 per minggu. Sungguh kita harus banyak bersyukur bila dapat hidup di perkotaan dengan berbagai kemudahan akses dan fasilitas.
Lantas aku berpikir, bagaimana caranya memberdayakan para remaja dan ibu di sini? Bagaimana caranya agar aku mampu berkontribusi untuk perempuan di daerah? Akhirnya di samping menjalani profesi sebagai mompreneur dan berbisnis di bidang ritel dan distribusi, aku bergabung dengan komunitas ibu-ibu PKK Kecamatan dan Kepenghuluan di sini.
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) mampu memberdayakan perempuan dengan berbagai kegiatan dan penyuluhan. Aku diamanahi untuk menjadi tutor program kerja keterampilan dan pendampingan hukum bagi perempuan. Bersyukur aku memiliki keterampilan di bidang tata busana, membuat pola, menjahit baju, dan mampu mentransfer ilmu ini kepada remaja putri dan ibu-ibu didaerah. Aku berharap mereka kelak dapat memiliki kehidupan yang lebih layak, tak harus melulu jadi buruh panen kelapa sawit ataupun menjadi menyadap pohon karet.
Sekarang aku tersadar, mungkin Tuhan memberi jalan untuk menunda mimpiku menjadi dosen, melanjutkan studi S2 agar aku mampu berkontribusi dahulu di daerah. Aku bersyukur akhirnya kami memiliki penghidupan yang berlimpah, bahkan kami mampu membuka lowongan kerja bagi masyarakat sekitar, meskipun cakupannya belum luas, setidaknya kami telah mengurangi “pengangguran terdidik”.
Dalam hidup ini, ketika kita mempunyai banyak, tak perlu dipamerkan di media sosial, dan ketika kita memberi banyak, tak perlu menunggu pujian. Tuhan akan memberi jalan-Nya terhadap apa yang kita perlukan, bukan yang kita inginkan.
Mulailah berdamai dengan diri, dengan keluarga dan lingkungan, bila memang belum ada jalan mendapatkan pekerjaan, atau mencapai mimpimu, mungkin saja jalan penghidupan kita digariskan bukan untuk menjadi pekerja, tetapi pemberi kerja atau ada jalan lain yang harus kita tempuh yang telah Tuhan sediakan.
Sebagai perempuan, di era millennial ini, kita harus mampu memilah dan memilih dalam posting segala aktivitas di media sosial, kita harus lebih bijak, tak semua apa yang kita punya, semua pencapaian kita, berkenan di hati kawan kita, boleh jadi itu akan menjadi pemantik iri dan dengki bila ia tak mampu seperti kita, atau bahkan untuk mengikuti tren, mungkin saja mereka memaksakan diri agar memiliki kelas sosial yang sama.
Di mana pun kita bekerja, semoga perempuan mampu saling menguatkan. Aku bersyukur masih mampu berkarya dan berdaya serta memberdayakan perempuan di daerah, karena itu aku merasa ada. Teruslah berkarya dan berdaya, di manapun engkau berada, tetaplah berkontribusi bagi orang-orang di sekitarmu.
- Cinta Bisa Datang Belakangan Saat Sudah Sama-Sama Merasa Nyaman
- Harta yang Melimpah Nyatanya Tak Bisa Mengobati Kesepian
- Belum Diputus, Pacar Sudah Sebar Undangan Pernikahannya dengan Wanita Lain
- Mantan Pramugari Jadi Dosen, Bahagia Itu Memang Tak Cuma Diukur dari Materi
- Single Mom Besarkan Anak di Rumah, Tak Diduga Rezeki Terus Datang Melimpah
- Perpisahan Tak Selalu Jadi Jalan Terbaik, Waktu Bisa Damaikan Luka
(vem/nda)