Kupilih Kuliah Meski Ditentang Ayah daripada Dijodohkan dengan Perjaka Tua

Fimela diperbarui 10 Apr 2018, 13:45 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

Aku bersyukur bisa menuliskan ceritaku ini melawat media Vemale yang bertema My Life My Choice. Aku jadi punya sarana untuk berbagi cerita mengenai pilihanku untuk melanjutkan studiku di tingkat perguruan tinggi.

Aku adalah seorang anak perempuan yang berasal dari desa pelosok, yaitu dari daerah Wonogiri tepatnya di Jatiroto yang merupakan daerah perbatasan. Masyarakat di sana masih banyak yang mempertahankan tradisi dari orangtua dahulu dengan semboyan, “Anak perempuan itu hanya wajib bisa macak, manak, masak.” Maksudnya seorang wanita hanya diwajibkan bisa macak yang artinya berdandan, manak artinya melahirkan dan memasak, jadi tidak perlu berpendidikan tinggi.



Mayoritas di desaku anak perempuan yang sudah lulus SD itu wajar jika langsung menikah, justru jadi kebanggan orangtua karena sudah ada yang ngopeni (ada yang ngurusi). Awalnya aku masih baik-baik saja dalam mengenyam pendidikan dari SD sampai SMA. Tetapi masalah muncul ketika aku lulus SMA dan aku berkeinginan melanjutkan kuliah. Aku bercita-cita untuk bisa jadi inspirasi bagi anak perempuan di desaku agar sadar bahwa pendidikan itu penting. Oleh sebab itu, aku harus kuliah kemudian membuktikan pada lingkungan di sekitarku bahwa aku bisa jadi perempuan yang sukses.

Ketika itu aku ingin mendaftar di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo melalui jalur SBMPTN tetapi ayahku sendiri tidak menghendaki aku ikut tes karena memang aku tidak diperbolehkan untuk kuliah lagi. Malahan nenekku sudah berniat menjodohkan aku dengan tetangga desa dengan seorang anak orang terpandang, yang punya sawah luas, ternak sapinya banyak dan ia merupakan keluarga yang disegani, hanya saja dia menjadi perjaka tua.

Aku berusaha mati-matian untuk bisa melanjutkan kuliah. Aku mencari surat keterangan tidak mampu dari kepala desa agar biaya kuliahku nanti ringan, karena memang ayah tak mengizinkan aku kuliah dan sampai mengeluarkan kata-kata, jika aku tak nurut padanya aku mau nurut sama siapa? Dan untuk masalah biaya, ayahku memang tak sanggup untuk membiayai kuliahku karena ayahku hanya seorang buruh kuli bangunan yang gajinya tak seberapa dan menurutnya kodratku sebagai wanita adalah jadi ibu rumah tangga. Ia takut jika aku tetap melanjutkan kuliah, aku akan gagal di tengah jalan, karena sedang marak anak sekolah yang hamil di luar nikah. Mungkin itu juga jadi pertimbangan ayahku. Namun aku masih punya tekad dan kekuatan yang luar biasa, yaitu karena dukungan Ibuku sendiri.



“Mamak selalu mendukung keinginanmu, Nduk,” kata-kata yang selalu diucapkan oleh ibuku dan dampaknya begitu dahsyat untuk aku. Ibuku sudah punya pikiran lebih maju daripada ayahku, mungkin karena ia seorang ibu sehingga selalu ingin mewujudkan keinginan anaknya. Hingga perbedaan pendapat itu sering membuat mereka bertengkar, dan aku sangat merasa bersalah membuat mereka selalu beradu argumen.

Tangis pun tak dapat ke bendung. Rasanya aku ingin menyerah tapi di satu sisi aku juga masih punya tujuan hidup yang lebih baik lagi. Ini adalah pengalaman nyata yang harus aku lalui. Pilihan yang sangat sulit bagiku. Jika aku masih keukeuh untuk kuliah maka keluargaku jadi kurang harmonis. Namun, jika aku tak melanjutkan kuliah maka aku akan dijodohkan dan cita-citaku untuk jadi wanita yang sukses tak dapat aku wujudkan. Setelah melewati perdebatan dan adu argumen yang berkepanjangan selama beberapa minggu, akhirnya keluargaku berhasil menemukan solusi.

Hasil rundingan dari keluargaku menyepakati jika aku boleh kuliah namun yang membiayai adalah ibuku. Ayahku bertugas untuk membiayai adikku. Ibuku pun setuju dengan kesepakatan itu. Toh, aku juga sudah mengantongi surat keterangan tidak mampu dari kepala desa. Ibuku adalah seorang perantau di Jakarta dengan kesehariannya menjual pecel dan gorengan. Akhirnya aku bisa melanjutkan kuliah di Solo dengan mengambil jurusan Ilmu Hukum melalui jalur Bidikmisi.



Di kampus aku mengikuti berbagai kegiatan dan aku juga bekerja sampingan yaitu menjadi pembungkus amplop teh herbal agar memperoleh penghasilan untuk keperluan sehari-hari di kost. Meskipun aku tak bisa memakai barang-barang mahal jika ke kampus seperti teman-temanku, aku tak pernah menyesali pilihanku untuk melanjutkan kuliah. Dan suatu hal yang membanggakan adalah aku berhasil lolos dalam PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dengan tema pengabdian kepada masyarakat yang didanai dikti sebesar Rp12,5 juta dengan obyeknya adalah desaku sendiri sehingga itu bisa menjadi bukti bahwa studiku berguna bagi masyarakat. Ayahku pun ikut bangga dan sadar akan pentingnya pendidikan.

Meski sempat melalui masa sulit dan ayahku sendiri kurang yakin padaku namun aku berhasil menjalani masa studiku dengan baik. Dan alhamdulillah tanggal 28 April nanti aku akan wisuda, dengan perolehan IPK yang sangat memuaskan yakni 3,85 dan itu artinya aku lulus cumlaude. Setelah itu aku akan ikut tes CPNS 2018 dan semoga berhasil lolos. Dari kisah hidupku ini dapat disimpulkan bahwa jika kita punya mimpi, kita tidak boleh mematahkannya meski dalam keadaan yang sangat sulit. Selama tujuanmu baik, pertahankanlah meski dunia tak lagi memihak. Dream, believe, and make it happen.






(vem/nda)
What's On Fimela