Abaikan Cibiran, Aku Bahagia Jadi Ibu Rumah Tangga Berprofesi Penulis Lepas

Fimela diperbarui 10 Apr 2018, 11:15 WIB

Hidup memang tentang pilihan. Setiap wanita pun berhak menentukan dan mengambil pilihannya sendiri dalam hidup. Seperti cerita sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Menulis April 2018 My Life My Choice ini. Meski kadang membuat sebuah pilihan itu tak mudah, hidup justru bisa terasa lebih bermakna karenanya.

***

“Uh, lebih baik menjadi seorang ibu rumah tangga sepenuhnya dibandingkan menjadi wanita karier. Coba lihat dia! Tiap hari pergi bekerja, nggak pernah ngurus suami dan anak. Tipe peselingkuh tuh! Dandan mulu!”

“Ah, memang menjadi wanita karier lebih baik dibandingkan menjadi ibu rumah tangga. Bisa punya duit, bisa beli apa aja pakai uang sendiri. Nggak harus minta suami!”

Para wanita pasti sering mendengar kalimat nyinyir yang pedas bin menyakitkan hati seperti kalimat di atas. Ya, membandingkan diri menjadi seorang wanita karier atau ibu rumah tangga sepenuhnya tidak akan pernah habis dibahas. Satu sama lain bakal memberikan pembelaan diri masing-masing. Bisa tidak berhenti, Bu? Telinga saya terasa panas mendengar ocehan kalian mengenai hal tersebut.

Bosan. Tidak akan pernah ada titik temu. Tidak hanya soal pekerjaan atau karier, bahkan cara melahirkan normal dan caesar pun diperdebatkan. Apa sih faedahnya buat pribadi kita, Bu? Tidak ada, bukan? Ayolah, setiap wanita akan berusaha menjadi istri dan ibu yang baik untuk keluarganya. Bagaimanapun cara mereka melakukan hal tersebut.



Ya, prinsip hidup saya adalah cuek. Biarkan saja orang mau berkata panjang lebar soal kehidupan pribadi saya. Toh, mereka cuma melihat dari bungkus luar, kita yang menjalani kehidupan yang sebenarnya. Tidak usah diambil pusing. Kalau masih nggak kuat, pasang musik kencang di sekitar dan biarkan nada lagu menjadi sarana relaksasi.

Saya memutuskan menjadi seorang ibu rumah tangga bukan tanpa alasan. Saya pernah merasakan bekerja di depan layar komputer 10 jam sehari demi mendapatkan sebutan wanita karier. Saat menikah, saya memutuskan resign dari kantor karena ingin fokus menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Buktinya, ekonomi memang berjalan kecukupan meski kadang harus pontang-panting cari utangan. Memang benar kok, tanya aja suami yang sedang merintis usaha sendiri mulai dari nol. Saya cuma bisa memberikan dukungan moril saat usaha dia up and down.



Di titik seperti ini, sempat berpikir buat balik kerja. Dapat duit sendiri, bisa beli baju baru tiap bulan dan lain-lain. Nah, nggak kerja emang harus sabar menerima berapa aja yang dikasih suami. Saya pun berpikir bagaimana cara bisa menghasilkan uang tanpa harus meninggalkan kehidupan rumah tangga. Bukan sekadar melaksanakan tugas, tetapi saya mencintai pekerjaan rumah tangga yang mengharuskan bangun pukul lima pagi dan pergi tidur paling larut. Ya, kerjaan ibu rumah tangga pasti banyak deh! Tidak bisa dihitung satu per satu.

Pernah mencoba online shop? Ya, saya mencobanya dan berakhir dengan beberapa tumpukan barang yang menumpuk di gudang. Jual pulsa? Sampai sekarang pun masih, tapi emang harus siap mental kalau diutangin mulu. Jual minuman dan makanan anak-anak kecil? Pernah. Dua tahun setelah pernikahan, saya mencoba berpikir dan merenung. Apa yang ingin saya lakukan kedepan? Saya tentu tidak bisa bertahan hidup seperti ini.

“Kamu ingin saya menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau wanita karier, Mas?”
Suami saya ikut terdiam. “Lakukan apa yang kamu sukai tapi jangan lupa dengan urusan rumah tangga. Jangan melupakan saya dan Rara.”



Hati saya trenyuh. Saya mantapkan diri melamar pekerjaan sampingan sebagai freelance writer di penyedia jasa konten. Voila! Diterima. Saya pernah berkutat dengan dunia kepenulisan beberapa tahun lalu. Dunia buku dan semua hal yang berkaitan membaca atau menulis merupakan passion saya. Kalau bisa menghasilkan uang dengan mengembangkan passion, kenapa tidak?

Saya berusaha menjadi ibu yang tetap menomorsatukan anak sebab dia masih dalam tahap perkembangan emas. Saat anak tidur, saya mengerjakan tugas yang diberikan. Terkadang, saya harus mengerjakan revisi tengah malam saat mata terkantuk-kantuk. Bisa pula, anak saya tidak mau lepas dari gendongan sedangkan kedua tangan sibuk mengetik.



Percayalah, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Setiap bulan, saya mendapatkan penghasilan sendiri yang bisa disisihkan untuk rencana masa depan si kecil. Saya bisa membuka tabungan pendidikan si kecil dan hal-hal lain yang mungkin tidak bisa terlaksana kalau saya masih menjadi ibu rumah tangga saja. Tentu ada konsekuensi yang harus ditanggung seperti rumah masih berantakan, halaman kotor belum sempat tersapu atau saya masih bau liur padahal udah jam makan siang. Mau bagaimana lagi, saya harus profesional mengerjakan tugas sesuai deadline.

Bagaimana pendapat orang lain dengan pilihan ini? Saya tahu bahwa apa saja yang kita putuskan tetap akan terlihat salah di mata orang lain.

“Ah, dia tuh sebenarnya ngapain? Kerja di depan layar mulu, anak nggak diurusin!”
“Enak ya, dia bisa mendapatkan uang dari mantengin laptop doang.”

Ingin marah? Jelas. Mereka tidak pernah tahu bagaimana saya merasa tertekan tiap mendapatkan email revisi atau dituntut menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin.

Percayalah, orang hanya memandang hasil tanpa peduli proses berdarah yang kita lakukan. Sebagai wanita zaman now, saya sih cuek aja. Yang menentukan kesuksesan kita bukan orang lain tapi diri sendiri. Saya tidak pernah menyesal menjadi seorang ibu rumah tangga yang bekerja dari rumah. So, keep going, Mom!





(vem/nda)