Cinta yang Tulus adalah Cinta yang Membuat Kita Bangga Jadi Diri Sendiri

Fimela diperbarui 13 Okt 2018, 15:00 WIB

Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar “Kpopers”? Pasti kalian berpikir kpopers adalah anak labil pecinta oppa-oppa imut yang joget-joget di panggung. Bahkan kpopers selalu dicap tidak cinta budaya Indonesia.

Bagiku, menyukai kpop adalah langkah awal yang menentukan karierku. Ini bukan berarti aku menjadi anak labil seterusnya. Eits, bukan. Jangan negative thinking dulu, bisa jadi ceritaku ini membuat orang tidak memandang sebelah mata kpop dan membuka pikiran orang-orang bahwa hal yang dicap jelek pun dapat menjadi motivasi dan tentu saja menjadi inspirasi bagi kpopers lainya. Semoga.

Aku menyukai kpop sejak di bangku SMP, waktu itu drama Korea Boys Before Flower sedang digemari masyarakat Indonesia. Termasuk aku. Menjadi kpopers sebenarnya membutuhkan mental yang kuat. Kami di kelas selalu dikucilkan karena kecintaan kami terhadap oppa-oppa. Aku sendiri selalu pesimis untuk mendapatkan pacar karena hobiku. Sampai ada seseorang yang menyatakan cintanya kepadaku. Dia adalah cinta pertamaku dan dari sinilah ceritaku dimulai.



Kami menjadi teman sekelas selama 3 tahun di salah satu SMP negeri di Surabaya. Karena hubungan kami yang kental, timbullah rasa suka. Kami menjalin hubungan LDR, karena setelah lulus SMP aku pindah ke Malang.

Awalnya baik-baik saja. Kami sering meluangkan waktu berjumpa meskipun harus menempuh jarak yang jauh. Hingga akhirnya kami tidak berhubungan seminggu yang aku sendiri tidak tahu alasannya. Tiba-tiba dia mengirim pesan untuk meminta putus. Mungkin ini yang terbaik.

Tentu saja untuk menghilangkan sakit hati ini, mendengar lagu kpop dan menonton drama Korea sebagai pelarianku. Tanpa diduga, setelah beberapa minggu dia mengajakku menjalin hubungan kembali, namun dengan syarat aku harus berhenti menyukai Korea dan berhenti ber-style ala Korea. Akupun menyanggupinya.

Aku menghapus semua postingan tentang Korea dan keluar dari grup Kpopers, namun dia malah mengejar perempuan lain. Aku sadar bahwa aku adalah pelariannya. Apa salahnya menyukai hal-hal tentang Korea? Apa bedanya dengan orang lain yang menyukai Amerika, Jepang, atau Inggris?

Semenjak itu, aku tidak memiliki harapan apapun. Dulu kami pernah berjanji untuk kuliah bersama jurusan Pendidikan Dokter di salah satu perguruan tinggi negeri di Malang. Ya! Dokter! Mungkin baginya itu adalah suatu kewajiban mengingat ayahnya dan kakaknya adalah keluarga dokter, sedangkan aku hanya gadis biasa yang tidak terlalu pintar, hanya ikut-ikutan memiliki mimpi yang sama dengan cinta pertama.



Bukankah sudah jelas, dia juga ingin memiliki pacar yang pendidikannya setara. Apakah aku sanggup? Aku sendiri tidak yakin. Semenjak itu hilang sudah harapanku untuk kembali hanya karena aku bukanlah orang yang pintar. SMA-ku juga bukan yang paling favorit dan satu-satunya SMA Negeri di kabupaten tersebut, bahkan baru berdiri 7 tahun dan orang-orang biasanya menyebut sekolah kami adalah tempat siswa-siswa “buangan”. Semakin hilang sudah harapanku untuk kembali dengannya.

Tiga tahun berlalu dengan aku yang masih belum move on. Aku berkeinginan untuk melanjutkan kuliah di kedokteran. Hasilnya gagal. Gagal sudah harapanku kuliah bersamanya. Dia? Tentu saja lolos dengan jalur mandiri dengan uang ratusan juta.

Aku benar-benar menyerah. Bahkan aku tidak tahu harus kemana aku membawa diriku yang kala itu baru saja kehilangan sosok ibu untuk selamanya. Aku benar-benar di ujung keputusasaan. Ini adalah titik terbawah kondisiku.



Sampai akhirnya aku mengetahui bahwa ada jurusan bahasa Korea di Indonesia, namun aku terkejut ketika mengetahui bahwa jurusan tersebut hanya ada di UI dan UGM. Dua kampus terbaik di Indonesia bahkan di Asia. Kampus yang diriku sendiri tidak pernah membayangkan untuk mendaftar ke sana, apalagi bermimpi menjadi mahasiswanya. Ribuan siswa dari seluruh Indonesia ingin mendaftar ke jurusan bahasa Korea, namun hanya kurang dari 40 orang saja yang diterima. Gila! Tidak mungkin aku akan diterima. Tidak ada satu siswa pun dari SMAku yang pernah diterima di sana.

Akupun memutuskan pindah ke Semarang, mengikuti keluarga Ayahku yang sebagian tinggal di sana. Aku mengisi hari-hari dengan membantu tante, mengurus adikku sebagai pengganti sosok Ibu bagi adikku. Aku masih berada di dalam kondisi ketidaktahuan kemana seharusnya tujuanku.

Hingga akhirnya aku teringat jurusan bahasa Korea UGM. Haruskah aku ke sana? Sanggupkah aku bersaing dengan ratusan ribu siswa terbaik di Indonesia untuk menjadi mahasiswa kampus terbaik? Tentu saja aku harus ke sana. Aku iri dengan teman-teman yang bisa melanjutkan kuliah.

Aku harus bisa membuktikan kepada sang mantan bahwa menyukai Korea bukan hal yang buruk. Bahkan dengan menyukai Korea pun aku bisa menjadi mahasiswa UGM, kampus impian semua orang. Aku ingin setidaknya bukan kuliah di kedokteran, kuliah di UGM saja akan membuat mantanku bangga denganku, dengan jurusan yang dia benci dan membuat dia minta maaf. Aku harus bisa masuk kampus itu. Harus!

Ini adalah pertama kalinya aku giat belajar. Aku sangat gigih mempelajari pelajaran IPS, karena aku adalah anak IPA mau tidak mau harus mempelajari pelajaran IPS dalam setahun yang harusnya dipelajari 3 tahun. Tidak seharipun aku tidak belajar. Waktu senggangku hanya untuk makan, mandi, dan tidur.

Memang usaha tidak mengkhianati hasil. Aku diterima menjadi mahasiswa UGM jurusan bahasa Korea. Anak yang tidak terlalu pintar yang berasal dari SMA negeri satu-satunya di kabupaten telah berhasil menjadi mahasiswa kampus terbaik di Indonesia. Tentu saja ini adalah pertama kalinya ada siswa dari SMAku yang diterima di UGM.

Aku masih tidak melupakan mantan yang telah menjadi motivasiku. Haruskah aku pamer ke mantan? Haruskah aku menuntut permintaan maafnya dan meminta dia kembali? Haruskah aku katakan kepadanya bagaimana aku mati-matian belajar hanya untuknya? Tidak. Aku masih punya harga diri. Tiba-tiba dia mengirimku pesan ucapan selamat. Betapa bahagianya diriku, baru diterima saja dia sudah mengirimku pesan. Mungkin ini adalah awal yang bagus.



Hari demi hari kulalui menjadi mahasiswa UGM. Aku sibuk kuliah dan kegiatan kampus yang aku ikuti. Tanpa disadari, ini adalah pertama kalinya aku tidak memikirkan sang mantan. Dia telah bahagia dengan pacarnya. Pacarnya yang juga kuliah di kedokteran.

Sejak itu aku menyadari, semua usaha yang telah kulakukan, semua perjuangan yang telah kulakukan, itu bukan untuk mantan, bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri. Aku harus mengejar impianku untuk diriku sendiri, bukan untuk membuktikan sesuatu ke orang lain.

Kesibukan yang kulakukan mungkin telah melupakanku akan sang mantan. Buang-buang waktu dan tenaga jika yang telah kulakukan selama ini hanya untuk satu orang yang tidak pernah sadar akan usaha dan perasaanku, tapi aku juga tidak menyesalinya dan malah berterima kasih karena telah memberiku motivasi untuk mengejar impianku sesuai dengan passionku.

Kini aku sadar tidak perlu memaksa orang lain untuk selalu berada di sampingku, memaksa orang lain untuk kembali kepadaku. Biarlah orang itu sendiri yang datang dan mencintaiku apa adanya tanpa menuntut diriku untuk menjadi apa yang diinginkan orang lain.

Cinta yang tulus adalah cinta yang membuat kita bangga menjadi diri kita sendiri. Aku masih mencintainya, karena cintaku yang tulus. Aku tidak masalah dia dengan siapapun, asalkan dia bahagia aku juga bahagia di mana pun aku dan dia berada, dan yang terpenting adalah aku masih menjadi diriku sendiri, seorang kpopers.

(vem/nda)