Didesak Ibu Agar Cepat Menikah, Tapi Pacar Belum Siap

Fimela diperbarui 12 Okt 2018, 17:00 WIB

Ternyata bukan ujian sekolah saja yang memiliki banyak opsi, hidup pun begitu. Seperti yang pernah saya alami beberapa bulan ke belakang. Dihadapkan pada dua opsi sulit, memilih hati atau memilih keinginan orangtua—sulit memang. Setiap wanita yang menghadapi perkara ini, tentu akan merasa bahwa ini bukanlah sebuah keinginan, aku tidak ingin memilih salah satunya, aku ingin keduanya, begitupun dengan diriku.

Kisah ini bermula ketika usiaku menginjak 21 tahun, menurut Ibuku usia ini adalah usia yang sudah cukup untuk bisa memilih seorang calon suami. Kebetulan aku memang memiliki seorang kekasih dengan usia yang sama. Kami sudah merajut kasih selama dua tahun lamanya. Dan Ibuku menginginkan dia—kekasihku, untuk segera memperjelas status hubungan kami. Ibuku tidak ingin hubungan kami main-main dalam status masih pacaran. Ibuku menginginkan hal lebih, tapi kendala lainnya adalah orangtua kekasihku belum menginginkan hubungan serius antara dia dan aku.



Keinginan keduanya tidak serupa, sulit disatukan. Sebagai seorang wanita yang tentu sangat mencintai kekasihnya, tentu aku merasakan sakit. Aku tidak ingin dipisahkan darinya, tapi akupun tidak ingin bersikap egois pada Ibuku.

“Sekarang pikirkan, kamu dibesarkan oleh siapa? Dididik dan disekolahkan oleh siapa? Jika kamu masih bersikeras terus dengannya tanpa kejelasan, Ibu tidak akan lagi peduli dengan hidupmu. Urus saja dirimu sendiri. Ingat doa seorang itu selalu dikabulkan oleh Allah. Sekarang kamu pilih Ibu atau dia yang jelas belum tentu menjadi suamimu?” tutur Ibuku kala itu dengan nada mengancam.

Aku hanya bisa mengangguk diam. Jika pun aku berusaha bicara untuk membela diri semuanya akan percuma. Semalaman suntuk aku berpikir dengan menimang-nimang segala risiko yang mungkin akan terjadi ke depannya dengan setiap pilihan yang akan aku ambil. Ini juga bukan kali pertama Ibu mengatakan hal ini. Bahkan tak segan beliau memintaku untuk mengakhiri hubungan kami.

Aku berpikir mungkin, siapapun yang berada di posisi ini akan sangat merasakan dilema yang teramat panjang. Meninggalkan seorang kekasih yang begitu dicintai bukanlah hal mudah, dan bersikap egois dengan memilih kekasih bukanlah pilihan baik. Aku takut durhaka pada Ibuku. Tapi… aku mencoba bertahan dengan kekasihku walaupun secara sembunyi-sembunyi dari Ibuku.



Aku berunding dengannya, menceritakan keinginan Ibuku tentang hubungan kami. Keterbukaan dan kejujuran adalah poin penting yang kami junjung dalam hubungan kami. Meskipun awalnya aku menutupi hal ini karena takut.

Beberapa minggu selanjutnya, kekasihku membawa kabar baik. Bahwa, keluarganya akan datang untuk melamar, setelah dia menjelaskan dengan sangat rinci tentang status kami. Sesegera mungkin aku berbicara pada Ibuku secara pelan-pelan, agar beliau mengerti perasaanku.

Hasil akhir, Ibuku menerima keputusanku untuk tetap bertahan, ya… karena yang terpenting dia sudah melamarku, menunjukkan keseriusannya padaku. Walau belum pasti kapan kami akan menikah. Dan sampai saat ini hubungan kami semakin membaik.



Ibuku juga terlihat semakin percaya padanya. Aku berharap semoga secepatnya kami dapat menikah, sesuai keinginan Ibuku. Menurutku, situasi ini sudah biasa terjadi, tapi tergantung bagaimana kita menyikapinya dan berpikir matang-matang tentang sebab akibat opsi yang dipilih. Dan yang terpenting adalah harus ada alasan kuat kenapa kita memilih opsi tersebut.


(vem/nda)