Aku Harus Sembuh, Aku Masih Mau Jadi Wartawan

Fimela diperbarui 12 Okt 2018, 14:30 WIB

Menjadi seorang wartawati, merupakan hasrat terbesar dalam hidupku hingga saat ini. Kadang, aku juga tak tahu mengapa aku begitu mencintai pekerjaan ini. Kalau dilihat dari silsilah keluarga, belum ada yang menjadi wartawan. Beragam stigma dari mulai gaji yang tak banyak sampai resiko pekerjaan yang tak mengenal waktu, sering terdengar. Rata-rata, mereka semua menjadi guru atau pegawai kantoran.

Sedangkan aku? Aku tak bisa berlama-lama ada di satu tempat. Semakin hari semakin kusadari, menjadi wartawati adalah pilihan hidupku. Tak semata pekerjaan, menjadi seorang wartawati adalah mediaku berlatih agar tak melulu takut dan ragu untuk bertemu dan berbicara di hadapan khalayak ramai.



Jalanku menjadi seorang wartawan, bukanlah suatu hal yang mudah. Setelah lulus dari D3 jurusan Sekretaris pada tahun 2009 lalu, aku sempat melamar beberapa pekerjaan ke sana ke sini hingga akhirnya di Desember 2009, aku diterima menjadi telemarketing. Sedihnya, dua bulan bekerja, malah tak mendapatkan gaji dengan alasan masih masa percobaan. Jerih payahku sungguh tak ada hasilnya. Kalau boleh jujur, aku sempat down. Februari 2010, aku keluar dari kantor itu.

Beberapa bulan saat masih dalam rangka mencari pekerjaan, aku mengalami kecelakaan yang menyebabkan syarafku mengalami masalah. Beberapa bulan berobat rutin, aku sembuh. Setelah sembuh, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Kali ini aku mengambil jurusan Komunikasi di salah satu universitas swasta.

Saat kuliah, aku sempat beberapa kali diterima bekerja sebagai marketing dan telemarketing. Setelah berbulan-bulan gonta ganti pekerjaan yang bergaji rendah, aku memutuskan untuk berhenti kerja. Aku merasa tak memiliki kompetensi apa-apa di bidang marketing. Akhirnya, aku berniat serius kuliah sekaligus menjadi blogger di blog keroyokan. Tujuanku hanya satu, yaitu berlatih menulis karena aku memang lebih suka menyampaikan maksudku lewat tulisan. Berbekal keterampilan menulis itu ditambah kesukaanku membaca. Selesai kuliah, aku melamar pekerjaan sebagai wartawan di salah satu surat kabar lokal di daerahku. Syukur kepada Tuhan, aku diterima setelah dilakukan seleksi.



Awal mula menjadi wartawan, tidaklah mudah. Aku harus terjun ke lapangan sendirian, tanpa didampingi oleh siapapun. Aku diharuskan untuk mencari bahan untuk tulisanku, baik di pasar, loket bus, kafe, dan tempat-tempat ramai lainnya seperti konser atau pagelaran seni lokal. Karena masih baru, aku bertanya seadanya.

Melihatku, ada narasumber yang malah kasihan, ada juga yang tak mau diwawancarai. Setelah mendapatkan bahan dan menuliskannya, aku harus menghadapi lagi kritikan dari para redaktur. Saran mereka selalu kuterima meski masih banyak kesalahan dalam tulisanku. Aku mencoba terus bertahan dan terus berusaha memperbaiki tulisanku hingga enak dibaca dan layak ditayangkan di koran. Ini semua karena aku mencintai pekerjaan ini.

9 bulan lamanya masa percobaan dengan upah yang cukup layak, setelah dirasakan cukup, akhirnya aku diangkat menjadi karyawan tetap dengan kenaikan upah. Setelah itu, aku makin semangat menjalani rutinitasku. Aku makin suka menghadiri seminar usaha kecil mengah (UKM) dan pemiliknya. Buatku, sekaligus memberikanku pelajaran tentang  usaha yang melingkupi strategi penjualan hingga cara-cara terbaik untuk mendapatkan omset yang terbilang besar.



Aku juga sering bertemu dengan para pelaku seni di kotaku. Ini juga pembelajaran buatku agar semakin mencintai seni. Selain itu, sensitifitasku menjadi semakin terasah melihat beberapa kondisi sosial yang kurang baik. Tak peduli siang atau malam, selama masih bisa bertemu narasumber, semua wawancara, aku selesaikan. Buatku, selama masih bisa, kenapa harus ditunda?

Selain itu, saat perayaan ibadah agama lain, aku menghadirinya semata untuk liputan, melaporkan situasi dan kondisi, serta melihat tata cara mereka beribadah. Tak sampai di situ, aku mewawancarai para pastor, pendeta, maupun biksu. Aku berusaha untuk selalu membina hubungan baik dengan mereka, agar mereka nyaman dan memudahkanku dalam menjalani pekerjaanku. Semuanya kujalani karena cintaku pada pekerjaan ini.

Namun memang, anugerah Tuhan tak dapat ditolak. Jelang dua tahun menjadi seorang wartawan, aku mengalami kecelakaan yang kali ini tergolong dahsyat hingga patah kaki. Para teman dan narasumber yang mengetahui, semua tak percaya. “Tak mungkin seorang kamu yang begitu energik, ada di sana di sini, liputan ini liputan itu, bisa sakit.”

Sebagai perempuan normal, aku sempat merasakan keterpurukan yang begitu menghancurkan hatiku. Ketakutan merajai pikiranku setahun pertama setelah kejadian itu. Namun hari demi hari, aku berusaha bangkit. Aku terus memotivasi diriku sendiri, “Aku harus sembuh. Aku mencintai menjadi wartawati. Jadi aku harus menempuh segala pengobatan supaya aku dapat memulainya lagi.”

Buat sebagian orang mungkin, setelah mengalami kecelakaan, akan mundur dari pekerjaan ini. Namun tidak bagiku. Aku masih mau melakukan pekerjaan itu karena aku sangat mencintainya. Wartawati mengubahku dari yang tadinya pemalu dan pengecut, menjadi pemberani. Ya, namanya sudah telanjur cinta, tentu aku tak akan menyerah. Ini pilihan hidupku.




(vem/nda)