Perempuan yang Kuliah Sambil Bekerja Punya Daya Juang yang Kuat

Fimela diperbarui 12 Okt 2018, 10:15 WIB

Saya lahir di sebuah desa kecil di daerah Jawa Tengah, keadaanku mungkin jika orang menilai tak cukup beruntung karena orangtuaku hanya buruh tani yang artinya petani namun bekerja kepada orang karena tak punya sawah sendiri. Dari sinilah saya bisa memaknai hidup dari sebuah kekurangan.

Kadang jadi orang miskin itu tak enak karena direndahkan dan tak banyak yang mau dekat-dekat padahal miskin tak menular, tapi biarlah. Sedari kecil saya terbiasa hidup dengan berjuang. Pesan dari ibuku yang selalu kuingat adalah bener, pinter, ngidep bener yaitu jadilah orang yang baik, pintar, dan beradab, kurang lebih seperti itu maknanya.

Dari keadaan inilah orangtuaku banyak memberi motivasi agar bisa jadi anak yang  selalu maju, jangan kalah dengan keadaan, dan akhirnya alhamdulillah saat aku di bangku SD (sekolah dasar) bisa menjadi juara kelas dan mengikuti lomba-lomba. namun ketika lulus SD hampir saja saya tak melanjutkan ke bangku SMP (sekolah menengah pertama) karena saya dan kakaK saya beda umur tiga tahun, artinya saat saya lulus SD kakak saya lulus SMP. Jadi jika saya masuk SMP (sekolah menengah pertama), maka kakak saya masuk SMA (sekolah menengah atas) dan bagi orangtua saya itu sangat berat.



Namun di sisi lain bagi orangtua saya pendidikan anak adalah nomor satu, dengan bismillah akhirnya saya dan kakak saya bisa melanjutkan sekolah. Ketika di bangku SMP saya harus puas hanya dengan mendapat rangking 10 besar, sedikit mengecewakan dan kemudian saat di bangku SMK semua terbayar karena saya akhirnya selama tiga tahun penuh bisa memperoleh rangking paralel di jurusan saya serta memperoleh beasiswa pendidikan penuh selama tiga tahun tersebut. Selain rangking paralel juga beberapa kali mengikuti perlombaan yang bagi saya itu cukup membanggakan.

Akhirnya kini saya telah lulus dari sekolah tingkat atas, namun sayang cita-cita saya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tak dapat terwujud karena faktor ekonomi. Karena tak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi akhirnya saya memutuskan untuk merantau saja mencari uang untuk membangun rumah di kampung yang sering orang bilang itu adalah gubuk dan membantu ekonomi orang tua.

Beberapa tahun merantau akhirnya bisa terwujud membangun rumah dan membangun ekonomi orang tua. Kupikir ini waktu yang tepat untuk menjemput cita-cita yang pernah tertunda, dengan uang yang saya kumpulkan selama bekerja akhirnya saya bisa kuliah sambil kerja.

Untuk menambah penghasilan agar bisa membiayai hidup di perantauan serta membayar kuliah saya pun nyambi berjualan. Banyak yang saya jual sampai teman-teman saya memanggil saya dengan sebutan kang lipstik, kang sepatu, kang tas (tukang lipstik, tukang sepatu, tukang tas) hahaha kadang saya malu kadang terharu kadang kesal juga, tapi bersyukur karena berkat berjualan keuangan saya terbantu.

Susahnya kuliah sambil kerja benar-benar saya rasakan di tahun-tahun pertama karena saat itu saya dituntut kerja shift. Sering saya mengalami pulang kerja shift malam langsung ke kampus, belum mandi belum gosok gigi, mata ngantuk, lusuh, benar-benar tidak enak dicium dan dipandang. Mulai jam pelajaran saya telah mempersiapkan ‘senjata-senjata’ anti ngantuk, es kopi, air mineral dingin dan roti untuk mengganjal perut. Jam pertama, jam kedua, jam ketiga, akhirnya mata ini sudah tak mau berkawan, dengan memaksakan agar tetap membuka mata, saya meminum kopi, yang sudah saya siapkan, tapi tidak ada efek, tetap ngantuk, akhirnya minum air mineral dingin, konon kalau ngantuk harus minum air dingin biar segar, sudah merasa segar malah ngantuknya tidak hilang. Dan begitu berkali-kali ketika ngantuk masih bisa terkendali. Ketika ngantuk sudah tak terkendali, ya sudahlah saya pasrahkan pada Yang Di Atas, angguk-angguk, miring-miring, ditertawakan teman kelas, tapi tetap akhirnya tak sadar juga. Untunglah dosen memahami keadaan saya.



Ngantuk hanyalah salah satu kesulitan, karena masih banyak kesulitan-kesulitan lainnya, dari kekurangan waktu tidur, tidak sempat main, banyak tugas kuliah tapi harus tetap kerja, waktunya kuliah tapi harus lembur kerja, bahkan kadang merasa berat dengan pilihanku sendiri. Kadang lelah ingin secepatnya ini semua selesai dan yang paling tidak saya sukai adalah ketika orang bertanya, untuk apa kuliah toh wanita akhirnya di dapur juga. Sesungguhnya saya tak terlalu paham maksud dan tujuan kata-kata itu.

Proses memang tak pernah mengkhianati hasil, yang saya kira hari-hari saya hanya kuliah-kerja kuliah-kerja dan seterusnya, ternyata pada September 2017 saya mengikuti lomba research  tingkat nasional. Setelah melalui proses dan seleksi dari perguruan tinggi seluruh Indonesia akhirnya saya dan tim berhasil menjadi 10 besar dan bersanding dengan tim-tim dari perguruan tinggi negeri.

Bagi saya yang menjalani kuliah sambil kerja itu adalah pencapaian yang sangat tinggi, itu adalah suatu kebanggaan meskipun banyak yang mengatakan itu hanya keberuntungan. Saya yakin jika kita tetap berdoa dan berusaha kita akan menjadi orang-orang yang beruntung.

Saat ini saya adalah mahasisiwi semester tingkat akhir dan karyawan kontrak di suatu perusahaan dan saat ini saya masih berusaha mengikuti perlombaan-perlombaan tingkat nasional. Semoga saya selalu beruntung. Terima kasih mama dan bapak.

Jangan pernah takut dengan miskin jangan pernah takut dengan direndahkan, kau harusnya senang karena Tuhan telah menempatkanmu di tempat yang spesial. Jika kau sadar betapa beruntungnya keadaanmu tak seharusnya kau merendahkan dirimu. Kenapa ada kotor agar ada bersih, kenapa ada gelap agar ada terang, kenapa ada sulit agar ada mudah kenapa ada miskin agar ada kaya.



(vem/nda)